Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Harga Eksekusi Di Cianjur

Pembatalan eksekusi masalah sengketa tanah ahli waris bin wira, penduduk desa sukaharja, kabupaten cianjur, jawa barat. (hk)

7 Januari 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PATOK-PATOK kayu bercat merah masih terlihat di sela rerumpunan padi di atas sawah seluas 6 ha di Desa Sukaraharja, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Tapi patok tadi, yang semula berfungsi membagibagi areal itu sesuai dengan penetapan pengadilan, sekarang sudah tak punya arti hukum. Melalui sebuah surat penetapan, 21 Noember 1983, ketua Pengadilan Negeri Cianjur membatalkan eksekusi yang dilaksanakan tiga bulan sebelumnya. "Eksekusi yang diperoleh setelah 38 kali bersidang di Pengadilan Negeri, malah diperkuat Pengadilan Tinggi Jawa Barat dan Mahkamah Agung, kok batal cuma lewat surat penetapan ketua pengadilan," kata Eman Sulaiman, kuasa yang menangani perkara itu, meragukan wewenang surat penetapan. Apa benar begitu? "Bloon benar gue, kalau penetapan itu tidak sah," kata Syafruddin Nitikusumah, S.H., ketua Pengadilan Negeri Cianjur kepada TEMO. Kata R.M. Hidayat, panitera kepala di pengadilan itu, "pihak yang kurang senang dengan surat penetapan itu, silakan menuntut pengadilan." Sengketa yang sudah berumur puluhan tahun itu, tampaknya, kian kusut-masai saja. Alkisah, pada tahun 1940-an, ada seorang petani kaya di Desa Cijura, Sukabumi, Emad bin Wira namanya. Dia punya kebun teh, ratusan domba, rumah besar, dan ladang serta sawah puluhan hektar. Ketika meninggal dunia, 1946, si Emad, meninggalkan delapan anak, dan semua harta peninggalannya diurus Engkmg, anak sulung Almarhum. Di situlah sengketa mulai. Rupanya, putra sulung ini keberatan membagi harta peninggalan sesuai dengan adat Sunda, seperti yang dituntut adik-adiknya: semua peninggalan dibagi sama. Kebetulan, sampai tiga tahun setelah kepergian sang ayah, lima dari tujuh adik Engking menyusul, meninggal dunia. Maka, Engking pun cuma memberi sebagian dari sawah pusaka, kepada dua adiknya yang masih hidup. Sementara itu, putra-putri kelima adiknya yang sudah meninggal dunia tak dipedulikannya. Tentu saja mereka menuntut hak. Karena tuntutan belakangan tambah gencar, 2 November 1963, semua pewaris harta Emad bin Wira bermusyawarah di Kantor Desa Gegerbitung, Cianjur, disaksikan pamong desa itu. Musyawarah memutuskan Engking harus membagikan sawah pusaka masing-masing 4,055 ha kepada kelima adiknya itu. Karena mereka sudah meninggal, sawah itu diberikan kepada anak-anak mereka. Sengketa belum berakhir karena, belakangan, Engking tak konsekuen pada hasil musyawarah tadi. Kepada anak Almarhum Santubi, misalnya, Engking cuma memberi sawah 2,565 ha, begitu pula kepada lainnya. "Padahal, yang kami tuntut cuma sawah itu. Harta pusaka yang lain, sudahlah..."ujar Sukardi, 42, putra Ojon (anak ketiga Emad). Singkat cerita, Sukardi dan 14 cucu Emad lainnya yang senasib membawa sengketa ini ke Pengadilan Negeri Cianjur, pada 1976. Mereka meminta agar harta peninggalan Emad dibagi rata. Setelah 38 kali sidang, dua tahun kemudian, perkara itu putus: gugatan ditolak. Pengadilan menganggap bahwa pembagian harta versi musyawarah Gegerbitung sudah cukup sah. Keputusan ini kemudian diperkuat Pengadilan Tinggi Jawa Barat, bahkan juga oleh Mahkamah Agung yang mengadili perkara kasasi para penggugat, Januari 1983. Merasa upaya sudah menemui jalan buntu, Eman Sulaiman dan N. Opit, kuasa dari Sukardi dan saudara-saudaranya, meminta ketua Pengadilan Negeri Cianjur mengeksekusi keputusan final dari MA itu: pembagian sawah itu menurut musyawarah Gegerbitung 1963. Artinya, meski selaku pihak yang kalah, Sukardi dan saudaranya masih harus diberi lagi oleh Engking, sawah seluas 6,005 ha. Itu untuk mencukupi pembagian sawah masing-masing 4,055 ha kepada lima anak Emad bin Wira seperti diputuskan musawarah yang sudah disebut. Permohonan eksekusi itu dikabulkan pengadilan dan, 7 Mei 1983, petugas pengadilan mengeksekusi putusan itu. Tapi di sana mereka mendapat protes dari Haji Sujai dan tujuh temannya, yang mengaku pemilik sawah itu. Rupanya, begini: Sementara perkara berlangsung, Engkmg meninggal duma, dan anaknya, Adang, menjuali tanah yang disengketakan itu. Dan kemudian, pada 1982, Adang pun meninggal dunia pula. Tentu saja, jual-beli itu tak sah karena dilakukan pada saat tanah sengketa itu dalam status disita pengadilan. Karena itu, akhirnya, tiga bulan kemudian, 13 Agustus 1983, petugas pengadilan turun lagi ke Desa Sukaraharja, kali ini ditemani oleh camat, komandan sektor, dan danramil setempat, untuk eksekusi itu. Kali ini berhasil. Tanah itu pun diberi patok-patok merah. Cuma, tiga bulan kemudian, pengadilan membatalkan eksekusi. Menurut Syafruddin Nitikusumah, S.H., surat penetapan eksekusi itu tidak punya dasar hukum: "mulai dari keputusan Pengadilan Negeri sampai Mahkamah Agung tak ada diktum untuk melakukan eksekusi." Penetapan eksekusi itu dibikin oleh Abdul Kadir Ruslan, S.H., ketua pengadilan yang lama. Akhirnya, sengketa ini mulai berbau tak sedap. Setelah tanah itu kembali dikuasai Haji Sujai dan pembeli lainnya, 26 November lalu, N. Opit, selaku kuasa pihak yang dikalahkan, membuat surat pengaduan kepada Menteri Kehakiman. Isi surat, selain memprotes pembatalan eksekusi, juga mengeluhkan kerugian yang mereka derita untuk eksekusi. Untuk biaya eksekusi itu antara lain untuk mengundang tripida setempat dan biaya keamanan - mereka harus memberikan uang Rp 1,4 juta kepada panitera kepala, R.M. Hidayat. Biaya ini harus ditambah Rp 300.000 untuk eksekusi kedua (13 Agustus). Belum cukup, katanya, sang ketua pengadilan masih minta sebuah pesawat televisi. R.M. Hidayat dengan sengit membantah tuduhan. "Untuk ongkos eksekusi itu kami cuma minta biaya Rp 400.000," ujarnya lewat telepon kepada TEMPO. Pesawat televisi, menurut dia, diberikan kepada ketua pengadilan secara sukarela, tanpa diminta. "Tentu saja, Pak Syafruddin bilang syukur," kata Hidayat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus