KEMELUT" di tubuh Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Kodya Bogor, Jawa Barat, tak kunjung surut. Pertikaian, yang bermula karena bekas calon anggota DPRD Kodya Bogor - Zamzawir dan Mardizon - merasa kehilangan hak menjadi wakil rakyat di sana, semakin menjadi-jadi ketika wali kota Bogor melantik dua anggota lain sebagai pengganti, 14 Maret 1983. Karenanya, dua pekan silam, Zamzawir dan Mardizon lantas mengajukan gugatan melalui Pengadilan Negeri Bogor kepada wali kota Bogor, selaku ketua Panitia Pemilihan Daerah Tingkat II, empat orang anggota DPRD Kodya Bogor dari F-PP, dan seorang dari DPC PPP Kodya Bogor. Sebenarnya, menghadapi Pemillu 1982, DPC PPP Bogor telah menyiapkan 10 orang calon. Zamzawir dan Mardizon termasuk dalam nomor urut 5 dan 6. Dari hasil penghitungan suara, PPP ternyata berhasil meraih enam kursi. Namun, menjelang pelantikan anggota DPRD, mereka tak kunjung diberi formulir EG-2, formulir kesediaan untuk dilantik dan menerima jabatan sebagai anggota DPRD. Menurut Mardizon, 47, formulir yan dikeluarkan PPD Tingkat Il itu telah ditahan Drs. Moch. Anis Thalib, selaku ketua DPC PPP. Namun, Anis Thalib, terguat II, menunjuk "adanya kesepakatan" tidak memberikan formulir itu kepada kedua pengugat, yang baru aktif di PPP menjelang Pemilu. Mereka, katanya, diragukan loyalitasnya terhadap organisasi dan pernah melakukan tindakan yang tak dapat dipertanggung-jawabkan. Berbagai upaya dilakukan Zamzawir dan Mardizon untuk mendapatkan formulir itu. Karena tak berhasil, mereka akhirnya men'cari fotocopy formulir itu, mengisi, dan mengirimkannya kepada wali kota Bogor. Tentu saJa, formuhr semacam itu tak digubris sang wali kota karena tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Untuk mengisi kekosongan, DPC PPP Kodya Bogor menunjuk H. Rajuddin Attauruk, menggantikan Zamzawir, dan Usman Abidin Akhyar, menggantikan Mardizon. Dalam daftar calon tetap Pemilu 1982, Rajuddin Attauruk berada di urutan 7, sedangkan Usman Abidin Akhyar di urutan 9. Urutan 8, Suratma Anwary, yang seharusnya menjadi anggota pengganti, mengundurkan diri karena "alasan kesehatan". Belakangan diketahui, pengunduran diri itu disertai perjanjian khusus. Perjanjian yang ditandatangani Suratma dan Usman menyebutkan adanya imbalan bagi pengunduran diri Suratma berupa "bantuan pengobatan" sebesar Rp 100.000 perbulan. Bantuan itu diberikan selama lima bulan, terhitung sejak Usman menerima honornya sebagai anggota DPRD. Hingga saat ini, Suratma, yang mengaku menderita tekanan darah tinggi, belum menerima sepeser juga. Ia, katanya, memang tak ingin duduk sebagai anota DPRD. "Saya puas sebagai guru agama saja," kata Suratma. Tapi, bagi Zamzawir dan Mardizon, Suratma telah memberi peluang bagi Usman untuk menduduki hak mereka. "Perjanjian dengan imbalan bantuan itu tak benar," kata Mardizon sewot. Paling tidak, dengan tindakan itu, Mardizon, yang pernah mcnjabat sekretaris II DPC PPP Kodya Bogor, menduga ada persekongkolan untuk mengambil hak mereka. Baik Zamzawir,43, maupun Mardizon tetap bersikeras bahwa mereka masih mempunyai hak sebagai wakil rakyat di DPRD Kodya Bogor. "Kami belum pernah mengundurkan diri," kata Mardizon. Dengan gugatan itu, mereka ingin agar pelantikan dua anggota pengganti itu dinyatakan tidak sah. Selam itu, mereka menuntut gaji sebagai anggota DPRD, sejak pelantikan hingga saat ini, sebesar Rp 165.000 per bulan. Hanya saja, wali kota Bogor, sebagai tergugat I, merasa heran gugatan itu baru diajukan sekarang. Tugasnya selaku ketua PPD Tingkat II telah berakhir bulan November 1982. Sedangkan masa jabatannya sebagai wali kota pun segera berakhir. Zamzawir merasa telah berkorban banyak selama masa kampanye. Bekas penusaha bahan bangunan di Bogor itu kehirangan truknya - rusak dipakai kampanye. Ternyata, setelah terpilih, "kami tidak pernah mengecap hasilnya," kata Zamzawir sendu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini