BULAN purnama, di sebuah dangau di, sawah yang sejuk, seorang perempuan teraniaya: diperkosa beramai-ramai. Lalu, oleh pemerkosa terakhir yang minta "tambah", ia dibunuh. Maka, gegerlah warga Desa Pataruman, Ciamis, 19 Desember lalu. Kesembilan tersangka termasuk Samin-yang selain dituduh memperkosa juga dituduh membunuh-telah ditangkap. Kini mereka ditahan di kepolisian Ciamis. Yang masih menjadi ganjalan bagi polisi ialah, korban "antrean" yang kemudian dibunuh itu belum juga diketahui identitasnya. "Kami tidak tahu ia dari mana, dan siapa namanya. Tak ada yang mengaku familinya di desa ini," ujar E. Ruhaemi, polisi desa di Pataruman. Yang diketahui, beberapa hari sebelum mayatnya kedapatan terapung di saluran irigasi, perempuan ltu muncul di desa itu. Dan tak seorang pun mempedulikannya. Maklum, meski parasnya lumayan, wanita itu berpakaian kumuh. Tingkah lakunya pun seperti orang kurang waras. "Ia tidak bisa berbahasa Sunda atau Indonesia," tutur Ruhaemi lagi. Adalah Koko, 20, yang mula-mula menaruh "iba" kepada orang itu, yang lagi mandi di sebuah kolam, tak berapa jauh dari rumahnya. Pemuda itu mengulurkan "jasa baik"-nya. Katanya, "Dia saya beri kaus dan celana pendek." Setelah mandi dan berganti pakaian, tuEur Koko, perempuan yang tampak kurang waras itu bersalin rupa: kelihatan cantik. Ia memang berkulit kuning, tingginya sedang, rambutnya hitam sebatas bahu, umurnya sekitar 19 tahun. Maka, Koko dan kawan-kawan tak merasa turun gengsi benar mengajak cewek itu berjalan-jalan. Kebetulan, malam itu, ada tontonan wayang golek di Mulyasari, desa tetangga yang berjarak sekitar satu kilometer. "Dia menurut saja ketika kami ajak," kata Koko kemudian di tahanan polisi, pekan lalu. Malam itu Koko mengajak Dahlan, Wawan, Rahwan, dan Hendi. Melewati persawahan, setan pun mulai pegang peranan. Koko seperti diingatkan bahwa sore itu ia telah "berbuat baik". Apa salahnya ia lalu meminta balas jasa? Dari pemeriksaan polisi, dapat dirangkaikan kisah berikut: Mereka mampir di sebuah dangau, di tengah sawah, sekitar 200 meter dari jalan desa. Si perempuan, menurut Koko, seperti tahu saja apa yang dikehendaki Koko. Tanpa kesulitan sedikitpun, konon Koko melampiaskan nafsunya. "Saya heran, dia tidak meronta atau menjerit... dia tak perawan lagi," katanya. Ketika Wawan, Hendi, Rahwan, dan Dahlan "mencicipi" bergantian pun, katanya, gadis itu diam saja. Ketika itu, bulan bersmar terang. Tak heran bila Hendi kemudian memutuskan untuk tetap berdua ketimbang ikut teman-temannya nonton wayang. Itulah yang menimbulkan malapetaka lanjutan bagi teman kencannya. Sebab, Eeng, yang Juga hendak nonton wayang, lewat di situ dan mehhat Hendi bersanding dengan perempuan asing. Akhirnya, Eeng menarik perempuan itu kembali ke dangau. Setelah itu, muncul pula Muin, ayah Wawan, yang menjabat ketua RT di Pataruman. la ikut-ikut pula. Begitu juga Endang, yang datang kemudian, tak menyia-nyiakan kesempatan. Ia membuat gadis yang sudah kewalahan itu bertambah lelah, tak bertenaga. Tapi, apa mau dikata, ketika Hendi hendak mengajak wanita itu pergi, muncul dua sepeda motor. Seseorang meloncat turun. Lelaki itu, Samin, menuntun perempuan itu ke dangau. Dua orang temannya, Tatang dan Tisna, rupanya tak ingin terlibat. Mereka, juga Hendi, meneruskan perjalanan ke MuIyasari untuk menyaksikan wayang golek. Perempuan muda yang sudah melayani para lelaki itu, rupanya, sudah benar-benar lelah. Maka, ia menolak ketika Samin sekali lagi mengajaknya, dan ia berusaha lari. Nafsu Samin saat itu, agaknya, belum terpuaskan benar. Maka, "saya jadi kalap dan mata gelap," kata Samin di kantor polisi. Mudah saja bagi Samin menangkap kembali wanita yang memang sudah tak bertenaga itu. Samin langsung mengirimkan jotosan sebanyak dua kali, sampai wanita itu terjerembab di tepi saluran irigasi. Ia semakin panik, begitu pengakuannya kemudian, ketika korban ternyata tak bisa bangun lagi. Korban segera diseret dan diceburkan ke saluran irigasi. Tamatlah riwayat gadis malang yang tak diketahui namanya itu. Perbuatan Samin hampir menjadi rahasia. Tatang dan Tisna, beberapa saat setelah meninggalkan Samin, ternyata kembali lagi kedekat dangau. Di sana mereka melihat apa yang dilakukan Samin dan mencoba hendak menolong korban. Tapi Samin mencegah. "Kami juga diancam agar tidak menceritakan kejadian itu kepada siapa pun," kata Tatang, Namun, mereka toh buka mulut juga, akhirnya, ketika kasus itu ditelusuri dan ujung-ujungnya mengarah kepada Samin sebagai "juru kunci"- orang terakhir yang menemani perempuan malang itu. Semua yang terlibat, menurut polisi, mengakui perbuatannya. Samin juga mengaku. "Saya memang bersalah telah memperkosa dan membunuh. Apapun hukumannya nanti akan saya terima," katanya kepada TEMPO. Tinggallah komandan reserse polisi Ciamis, Letnan Aripin, geleng-geleng kepala. "Kasus perkosaan memang sudah biasa terjadi. Tapi yang ini, paling sadistis ...."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini