Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Berbalas Pantun ala Kelantan

Manohara melaporkan tindak pidana yang dialaminya ke Markas Besar Polri. Dinilai sia-sia.

15 Juni 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DIDAMPINGI asisten perempuannya, Selasa pekan lalu, dokter Abdul Mun’im Idris kedatangan pasien istimewa. Ahli forensik Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo itu diminta memvisum istri Pangeran Kelantan, Malaysia, Manohara Odelia Pinot. ”Ditemukan bekas luka di sebelas titik,” kata Mun’im kepada Tempo.

Tanda kekerasan itu tersebar di dada, punggung, dan paha. Di atas alis mata kanan juga terdapat bekas luka. Tanda yang paling jelas kelihatan dan banyak jumlahnya, kata Mun’im, adalah bekas luka berbentuk garis di bagian dada. ”Semua lukanya termasuk derajat dua, yaitu luka serius.”

Menurut pengakuan Mano kepada Tempo, semua bekas luka itu hasil kekerasan suaminya, Tengku Temenggong Mohammad Fakhry, 31 tahun. Kekerasan itu terjadi setiap hari, sejak Maret 2009, di kamar mereka di Istana Kelantan. ”Dia memang tidak normal,” ujar Mano.

Sebelum disiksa, Mano juga kerap diberi obat supaya tak sadar. Untuk menutupi penganiayaan itu, Fakhry menyuntikkan hormon supaya Mano gemuk dan terlihat bahagia. ”Sejak disuntik itu, berat Mano naik 14 kilogram selama empat hari,” katanya.

Soal pemberian hormon dan obat itu, kata Mun’im, masih menunggu hasil laboratorium beberapa pekan mendatang. Namun hasil visum sudah bisa digunakan sebagai barang bukti. ”Bisa langsung digunakan untuk menahan tersangkanya.”

Menurut pengacara Manohara, Hotman Paris Hutapea, hasil visum itu menjadi bukti pendukung laporan kliennya. Satu jam sebelum visum itu, kata Hotman, Mano baru saja selesai melaporkan tindakan kekerasan itu ke Badan Reserse dan Kriminal Markas Besar Kepolisian RI. ”Ini bukti bahwa dia serius,” katanya.

Mano juga melaporkan Raja Kelantan Sultan Ismail Petra, permaisuri Raja Tengku Anis, Muhamamad Soberi Safii (orang kepercayaan Fakhry), Materah (istri Soberi), Azhari (pengawal Soberi), Ichsan (pegawai Istana Kelantan), dan kapten pilot Zakaria Saleh.

Delapan orang itu, kata Hotman, dianggap terlibat melakukan penganiayaan, penculikan, penghinaan, dan kekerasan dalam rumah tangga kepada Manohara. ”Mereka dikenai sebelas pasal dengan total ancaman maksimal 70 tahun” kata Hotman.

Namun, menurut juru bicara Markas Besar Kepolisian, Irjen Abubakar Nataprawira, laporan itu tidak bisa diproses di Indonesia, karena kejadiannya di Malaysia. Mano harus melapor lagi ke Departemen Luar Negeri atau Interpol, supaya bisa diteruskan ke kepolisian Malaysia. ”Kalau tidak melapor, selesai,” katanya.

Juru bicara Departemen Luar Negeri, Teuku Faizasyah, menyatakan Mano atau kuasa hukumnya harus menyampaikan laporan ke Direktorat Perlindungan WNI. Setelah itu, pihaknya akan meneruskan ke kedutaan di Malaysia. ”Mereka yang akan memproses laporan ke polisi Malaysia.”

Kepada Tempo, Duta Besar Indonesia untuk Malaysia, Dai Bachtiar, mengatakan akan memfasilitasi dan membantu proses hukum Mano di Malaysia. Syaratnya, bukti yang dilampirkan harus kuat.

Masalahnya justru muncul di sini. Menurut praktisi hukum di Malaysia, Azman Jaacob, laporan itu tidak bisa ditindaklanjuti di Malaysia. Kalau mau memperkarakan tuduhan itu, kata Azman, Mano harus melapor ke polisi Malaysia. ”Polisi Malaysialah yang menentukan apakah visum dari Indonesia bisa digunakan atau tidak.”

Azman menjelaskan, Mano juga tidak bisa melaporkan Sultan Kelantan dan permaisurinya. Menurut hukum Malaysia, kedua orang itu memiliki kekebalan. Adapun keluarga kerajaan yang lain, termasuk Fakhry, kedudukan hukumnya sama seperti warga biasa.

Mano sendiri menyatakan tak berminat melapor ke Malaysia. Ia mengaku traumatis dan takut diculik lagi oleh Fakhry. Hotman Paris sendiri tidak bisa memaksa kliennya. ”Harapannya ada pada jalur diplomasi,” katanya.

Di Kuala Lumpur, Fakhry sudah lebih dulu melaporkan Mano dan ibunya, Daisy Fajarina, ke polisi, Kamis pekan lalu. ”Keduanya kami laporkan atas tuduhan fitnah,” kata pengacaranya.

Anton Aprianto, Safwan Ahmad (Malaysia)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus