Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Status tak mengenakkan itu akhirnya tersandang juga oleh Lilik Sri Haryanto. Setelah hampir setahun dia mengundurkan diri dari jabatan Direktur Perdata di Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum, dua pekan lalu Kejaksaan Agung menetapkan dirinya sebagai tersangka.
Lilik menjadi tersangka lantaran birokrat senior di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia itu diduga terlibat persekongkolan dalam urusan pengangkatan calon notaris. Dengan posisinya itulah Lilik diduga memeras para notaris dan calon notaris yang ingin mendapat surat pengangkatan atawa wilayah kerja di Ibu Kota. "Kami tak melihat kasus ini sebagai penyuapan. Calon notaris terpaksa membayar untuk pengangkatan mereka," kata Kepala Subdirektorat Tindak Pidana Korupsi Kejaksaan Agung Sarjono Turin, Kamis pekan lalu.
Lilik terseret perkara ini karena laporan calon notaris yang mengaku menjadi korban pemerasan ke Inspektorat Jenderal di Kementerian Hukum dan HAM. Ketika menggeledah tempat tinggal Lilik di Apartemen Kalibata City pada 5 Oktober 2013, pukul 03.45, tim Inspektorat menemukan uang tunai Rp 95 juta, yang diduga "setoran" korbannya.
Kasus ini lantas dibawa Kementerian ke Kejaksaan Agung. Semula Kejaksaan hanya menetapkan Nur Ali, Kepala Subdirektorat Notariat di Kementerian, sebagai tersangka. Kini Lilik dan Nur Ali sama-sama dijerat dengan Pasal 12 huruf e Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.
TAK lama setelah dilantik sebagai Wakil Menteri Hukum dan HAM pada 2011, Denny Indrayana meminta Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum memberlakukan sistem online dalam pendaftaran calon notaris. Tujuannya: selain demi mempermudah proses pendaftaran, untuk menutup peluang terjadinya pungutan liar. Namun usul Denny ini tak kunjung dikerjakan. Sejumlah alasan dilontarkan. "Setelah kasus (pemerasan) terbongkar, sistem online baru berjalan," ujar Denny, Selasa pekan lalu.
Nah, sejak awal 2014, layanan pendaftaran dan perpindahan notaris kini sepenuhnya dilakukan secara online. Calon notaris tak perlu lagi repot-repot antre di loket pendaftaran Kementerian. Mereka tinggal mengklik situs www.ahu.web.id. Di situs tersebut, selain tercantum prosedur pendaftaran, terpampang daerah penempatan notaris.
Sebelum sistem online berlaku, informasi soal daerah penempatan notaris disimpan rapat di kalangan internal Direktorat Administrasi Hukum Umum. Padahal, sesuai dengan Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor M.HH-02.AH.02.01 Tahun 2011, setiap tahun biasanya ada kesempatan penambahan jabatan (formasi) notaris di daerah tertentu, dari lima sampai sepuluh persen. "Tak adanya publikasi itu disalahgunakan para pelaku," kata Denny.
Menurut Sarjono, dari penelusuran tim penyelidik, jual-beli informasi dalam pengangkatan dan perpindahan notaris melibatkan banyak pihak. Nur Ali, yang menjabat Kepala Subdirektorat Notariat selama tiga tahun dengan pangkat Pembina (golongan IV-A), memiliki peran penting dalam kejahatan ini. Dia menjadi simpul yang mengkoordinasikan anak buahnya. Uang yang ia terima dari calon notaris sebagian disetorkan kepada Lilik.
Kepada jaksa, seorang calon notaris—sebut saja namanya Amelia—menggambarkan bagaimana komplotan jual-beli formasi notaris itu "menjaring"-nya. Pada Mei 2013, Amelia berkenalan dengan Nurcahyanto di sebuah seminar di Gedung SMESCO, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan.
Amelia mengeluhkan rumitnya pengajuan pengangkatan notaris untuk Kabupaten Sleman. Berkas yang ia ajukan bolak-balik dinyatakan tak lengkap. Kala itu, Nurcahyanto mengaku bisa membantu melalui temannya di Kementerian Hukum. Nurcahyanto menyerahkan nomor teleponnya kepada Amelia.
Beberapa hari kemudian, keduanya bertemu kembali. Dalam pertemuan kedua, Nurcahyanto menawarkan bantuan dengan biaya Rp 120 juta. Amelia menawar. Akhirnya kesepakatan pun terjadi di angka Rp 85 juta. Nurcahyanto memberi jaminan: uang akan kembali bila surat keputusan pengangkatan notaris Amelia tak terbit. Amelia pun mentransfer uang ke rekening BCA milik Nurcahyanto.
Nurcahyanto kemudian menghubungi Bagas, calo di Kementerian Hukum. Hampir tiap hari Bagas wira-wiri di Kementerian Hukum, antara lain di Ruang Arsip Notariat dan kantin. Kepada Amelia, Nurcahyanto mengaku telah menyerahkan uang Rp 80 juta kepada Bagas. Kepada Tempo, Sarjono Turin menyatakan sejumlah jaksa kini tengah menguber Bagas. "Dia menjadi buron. Kami sudah melacak jejaknya," kata Sarjono.
Menurut penelisikan jaksa, Bagas memang memiliki banyak koneksi di Kementerian Hukum. Salah satunya Nurul Istiqomah, anggota staf di Seksi Perpanjangan dan Pemberhentian Notaris. Nurul diangkat Nur Ali untuk membantu pembuatan konsep surat keputusan Menteri Hukum dan HAM tentang pengangkatan notaris.
Nurul beberapa kali bertemu dengan Bagas di Ruang Arsip Notariat. Setelah menerima "orderan" dari Bagas, Nurul menghubungi atasannya, Misgolda, Kepala Seksi Pengangkatan dan Perpindahan Notaris. Misgolda-lah yang menyampaikan permohonan pengangkatan notaris kepada Nur Ali. Selanjutnya, Nur Ali yang menentukan "harga" berdasarkan formasi yang tersedia. Nilainya mengikuti "pasar". Semakin basah dan padat daerah yang diminta, semakin tinggi harganya.
Dua pekan setelah mengetahui harga yang diminta Nur Ali, Bagas menyerahkan uang Rp 80 juta kepada Nurul di dalam lift kantor Kementerian Hukum di gedung Sentra Mulia, Kuningan, Jakarta Selatan.
Uang itu tak berlama-lama di tangan Nurul. Dia menyerahkannya kepada Misgolda. Dari Misgolda, duit itu sampai ke Nur Ali. Pada tahap ini, jumlahnya berkurang menjadi Rp 70 juta.
Ketika diperiksa tim Inspektorat dan penyidik Kejaksaan, Nur Ali mengaku beberapa kali menerima uang dari Misgolda. Namun dia mengaku tak mengenal Bagas.
Menurut Nur Ali, uang dari Misgolda ia serahkan kepada Lilik di ruang kerjanya. "Diatur saja, Mas," ujar jaksa mengutip keterangan Nur Ali saat ia menyerahkan uang kepada Lilik.
Tak semua fulus itu diserahkan Nur Ali kepada bosnya tersebut. Dia mengutip 10-15 persen sebagai jatah untuknya dan anak buahnya. Dari Rp 70 juta yang diterimanya dari Misgolda, Nur Ali mengambil Rp 20 juta: Rp 10 juta untuk dirinya dan Rp 10 juta ia bagikan kepada anak buahnya, antara lain Misgolda dan dua kepala seksi, masing-masing Rp 2 juta. Sisanya ia bagikan kepada beberapa anggota staf, yang masing-masing menerima Rp 200-300 ribu.
Saat diperiksa tim Inspektorat Kementerian Hukum, Nur Ali mengaku baru 12 kali mengerjakan "proyek" pengangkatan notaris. Total uang yang terkumpul dari "proyek" itu, menurut dia, sekitar Rp 500 juta. Dari jumlah itu, ia mengaku hanya mendapat jatah sekitar Rp 50 juta. "Dia mengaku uangnya sudah habis," ucap Sarjono.
Ketika jaksa mengkonfirmasi keterangan Nur Ali ini, Lilik—yang menjabat Direktur Perdata sejak 2012—menampik. Dia menegaskan tak pernah menerima uang sebagai imbalan pengangkatan notaris. Ia mengakui hanya sekali menerima uang dari Nur Ali. Uang itu dimasukkan ke dalam tas yang diletakkan di ruang tempat salat di kantornya. Lantas uang itu dibawanya ke Apartemen Kalibata City, Jakarta Selatan, tempat tinggalnya. Duit itulah yang ditemukan tim Inspektorat.
Lilik mengakui memang pernah suatu kali menemukan amplop cokelat berisi uang di ruang kerjanya. Dia mengatakan tidak tahu berapa jumlah uang itu dan siapa pengirimnya. Duit itu, kata Lilik, ia berikan kepada anggota stafnya.
Selasa pekan lalu, Kejaksaan memeriksa sejumlah anggota staf Kementerian Hukum yang diduga terlibat atau mengetahui perihal "jaring-jemaring" setoran duit dari calon dan para notaris itu. Kejaksaan juga meminta bantuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan menelisik rekening para tersangka. Melihat tingginya animo para notaris ingin masuk Jakarta dan banyaknya calon notaris, tim penyelidik menduga duit notaris itu mengalir ke mana-mana alias tak berhenti hanya pada Lilik.
Beberapa notaris senior di Jakarta yang diwawancarai Tempo menyebutkan perputaran uang dalam jual-beli "formasi" notaris terhitung sangat tinggi. Harga yang ditawarkan para "makelar" formasi berbeda-beda, tergantung nilai strategis wilayah tersebut.
Di kalangan notaris, wilayah kerja notaris lazim dibagi dalam tiga kategori: A, B, dan C. Para notaris muda selalu bermimpi ditempatkan di kota besar atau wilayah kategori A. Kota-kota itu, misalnya, Jakarta, Bandung, Surabaya, Semarang, dan Medan.
Jumlah penduduk yang banyak, pertumbuhan ekonomi yang pesat, dan nilai transaksi keuangan yang jumbo di kota-kota besar itu menjadi faktor penarik, bak gula yang menarik kawanan semut. "Penghasilan notaris wilayah yang ramai pasti lebih besar," ucap seorang notaris kepada Tempo.
Tapi bukan berarti izin untuk membuka kantor notaris di kota-kota kecil, misalnya di sebuah kabupaten di Sulawesi atau Nusa Tenggara Timur, juga gampang keluar. Semua ada angkanya. Praktek kongkalikong itu yang kini diselidiki Kejaksaan.
Denny Indrayana sendiri, yang kini tinggal menghitung hari menduduki jabatan sebagai Wakil Menteri Hukum dan HAM, berharap Kejaksaan bisa membongkar kejahatan di instansinya itu sampai ke akar-akarnya.
Yuliawati, Febriyan, Robby
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo