Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Berebut di Lahan Basah

29 September 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rezeki" notaris bergantung pada ramai-tidaknya aktivitas bisnis di wilayah kerjanya. Semakin banyak transaksi bisnis di sebuah daerah, perannya, juga fulus yang mengalir ke koceknya, semakin deras. Karena itu, tak mengherankan bila Jakarta adalah wilayah "impian" para notaris. "Dua wilayah yang paling diincar adalah Jakarta Pusat dan Selatan," ujar seorang notaris kepada Tempo.

Ia berbisik soal angka rupiah yang harus disiapkan seorang notaris jika ingin menembus birokrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia agar turun izin "memasang" papan namanya di Ibu Kota. "Harus siapkan ratusan juta rupiah, bahkan bisa lebih dari setengah miliar," katanya. Praktek suap tersebut berkaitan dengan izin notaris yang kini tengah disidik Kejaksaan Agung.

Berbeda dengan izin notaris untuk kota-kota lain, notaris yang ingin berpraktek di Jakarta mesti mendapat rekomendasi dari Menteri Hukum dan HAM. Prosesnya juga tidak bisa dilakukan online seperti ketika meminta izin di kota lain, termasuk jika ingin "masuk" ke Medan, Surabaya, atau Semarang. "Jakarta itu wilayah khusus, paling tinggi terjadi transaksi bisnisnya. Di sini banyak perusahaan multinasional. Tidak masuk kategori A itu," kata sumber Tempo yang juga bekas pengurus Ikatan Notaris Indonesia (INI) itu.

Menurut data INI, saat ini ada 13 ribu notaris di seluruh Indonesia. Dari angka itu, 60 persen berada di Jawa. Adapun di Jakarta berjejalan sekitar 1.200 notaris. Menurut Ketua Bidang Hukum dan Perlindungan INI Syafran Sofyan, jumlah itu dinilai terlalu banyak. Dengan penduduk sekitar 10 juta orang, menurut dia, Jakarta idealnya hanya membutuhkan sekitar 500 notaris.

Ketatnya persaingan itu ujung-ujungnya menghasilkan praktek tak sehat. Syafran mengatakan praktek banting harga hingga melakukan hal yang tak sesuai dengan kode etik kerap terjadi demi menggaet klien. Syafran mengaku pernah menjadi korban praktek seperti itu. "Saya sudah keluar modal untuk melobi, entertain klien, eh ternyata enggak jadi karena ada yang nawarin harga lebih murah," ujar pria yang sudah berpraktek selama 16 tahun itu.

Tarif jasa notaris sebenarnya sudah ditetapkan dalam Pasal 36 Undang-Undang Jabatan Notaris. Untuk akta dengan nilai kontraknya hingga Rp 100 juta, seorang notaris bisa mematok harga hingga 2,5 persen dari nilai kontrak itu. Sementara itu, untuk kontrak bernilai Rp 100 juta-1 miliar, batas atas yang diperbolehkan oleh undang-undang sebesar 1,5 persen. Di atas Rp 1 miliar, tarif terbesar hanya 1 persen dari nilai kontrak.

Peraturan ini, menurut Syafran, memiliki kelemahan. Tidak adanya ketentuan batas bawah tarif notaris kerap membuat banyak rekan seprofesinya banting harga hingga di luar nalar demi menggaet klien. "Ada yang berani menerima cuma 0,01 persen. Ratusan ribu rupiah saja. Itu kan enggak sehat. Akta boleh murah, tapi jangan jadi murahan," ujarnya, kesal.

Selain banting harga, Syafran menambahkan, praktek notaris saat ini kerap diwarnai pelanggaran hukum dan etika. Misalnya soal pembacaan akta yang sudah selesai dibuat oleh notaris. Merujuk pada Pasal 16 ayat 1 huruf l Undang-Undang Jabatan Notaris, pejabat pembuat akta itu berkewajiban membacakan akta tersebut di hadapan kedua belah pihak yang bersangkutan. Namun pada prakteknya banyak notaris yang tak melakukan hal ini. "Ada notaris yang bisa membikin 100 akta sehari. Apa mungkin itu dibacakan semua? Kalau satu akta butuh 30 menit untuk membacakannya, 100 akta 24 jam enggak akan cukup," ujarnya.

Praktek banting harga seperti itu juga diakui notaris senior M.J. Widijatmoko. Prinsip dagang murah untuk mendapatkan "pembeli", menurut dia, memang tak jarang terjadi. Tapi, pada akhirnya, notaris seperti itu tak akan banyak mendapatkan kepercayaan masyarakat. "Karena masyarakat akan menilai kualitas pelayanan notaris itu juga," ujar pria yang sudah 18 tahun bergelut di dunia notariat itu.

Bagi notaris yang cukup punya nama, menurut dia, perburuan klien tak lagi didasari kualitas berapa akta yang bisa diselesaikannya dalam sehari, tapi lebih pada nilai kontrak "jumbo". Untuk memperbaiki persaingan di dunia notaris, Widijatmoko mengusulkan pemerintah harus memperketat pengawasan dan menindak tegas para notaris bandel tersebut. Selama ini, kata dia, pengawasan terhadap notaris sangat longgar. "Pelanggaran itu jarang sekali ditindak tegas sampai pencabutan izin. Bahkan teguran pun sangat jarang," ujarnya.

Febriyan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus