Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pleidoi setebal 18 halaman itu dibacakan Gayus Halomoan berapi-api di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin pekan lalu. Diberi judul cukup puitis, ”Indonesia Bersih... Polisi Risih... Saya Tersisih”, isinya menohok ke mana-mana: kepolisian, kejaksaan, pengacaranya, juga ”almamater”-nya, Direktorat Jenderal Pajak.
Gayus, misalnya, menuding polisi tak serius mengusut sejumlah informasi yang sudah ia beberkan. Menurut Gayus, kasus yang menjerat dirinya itu juga tergolong kecil dibanding kasus lain di Ditjen Pajak. Penyelewengan itu ada yang melibatkan sejumlah pejabat dan merugikan negara hingga triliunan rupiah. ”Sepertinya ada setting melokalisasi perkara hanya pada perkara saya,” ujarnya.
Gayus membeberkan lima modus permainan pajak yang kerap terjadi, di antaranya negosiasi Surat Ketetapan Pajak. Negosiasi, ujar Gayus, terjadi di tingkat tim pemeriksa pajak dengan tujuan meningkatkan dan menurunkan nilai pajak. ”Surat Ketetapan Pajak tak mencerminkan nilai yang sebenarnya.”
Modus lain, kata Gayus, terjadi di tingkat penyidikan pajak. Dalam kasus ini, wajib pajak akan ditakut-takuti untuk dijadikan tersangka oleh penyidik. ”Yang ujung-ujungnya adalah uang,” dia menambahkan. Ketiga, modus penyelewengan fiskal luar negeri di bandar-bandar udara internasional. Keempat, modus penghilangan berkas surat permohonan keberatan wajib pajak. Dan kelima, jual-beli saham antarperusahaan satu grup. Pembelian saham ini, menurut dia, sering diklaim sebagai kerugian investasi sehingga kerugian itu dibebankan sebagai biaya.
Gayus mengkritik pedas tim independen pimpinan Matius Salempang, yang memeriksa dirinya pada April 2010. Gayus menyatakan dirinya menyesal mengikuti permainan tim independen.
Menurut Gayus, kasus PT Surya Alam Tunggal merupakan skenario yang dibuat tim Matius untuk menjerat atasannya, Bambang Heru Ismiarto, Direktur Keberatan dan Banding Ditjen Pajak. ”Karena Bambang Herulah kunci dikabulkannya kasus-kasus besar di direktorat tersebut,” katanya. Jika kunci ini dibuka, ujarnya, kasus penyelewengan pajak kelas kakap di direktorat itu bisa terungkap.
Tapi, kata Gayus, ternyata semua berbalik dan justru dirinya dan rekannya, Humala Napitupulu, jadi tersangka. Padahal, menurut Gayus, sesungguhnya tak ada permainan pajak dalam kasus PT Surya Alam. ”Saya bersumpah demi Tuhan dan demi ibu yang melahirkan saya, serta anak saya yang sangat saya sayangi, keberatan PT Surya Alam Tunggal seribu persen sesuai dengan prosedur,” kata Gayus.
Gayus juga menyatakan kecewa atas janji tim independen dalam kasus hakim Muhtadi Asnun. Awalnya, kata dia, tim ini berjanji akan menjerat Asnun dengan pasal pemerasan asal dirinya bersedia buka mulut soal pemberian uang terhadap hakim itu. Belakangan penyidik mengenakan pasal penyuapan dalam kasus ini. Maka dirinya pun jadi tersangka penyuap.
Bekas pengacaranya, Haposan Hutagalung, juga dituding Gayus telah mempermainkan dirinya. Dalam menangani kasus korupsi dan pencucian uang pada 2009, ujarnya, Haposan minta uang operasional Rp 20 miliar untuk dibagi-bagikan kepada polisi, jaksa, hakim, dan Haposan sendiri. Alasannya, uang itu untuk memuluskan perkara agar ia tak ditahan, rumahnya tak disita, dan rekening keluarganya tak diblokir .”Faktanya, tak ada pejabat yang diperiksa terkait dengan pemberian uang itu,” ujar Gayus.
Menurut Gayus, ia baru sadar ditipu Haposan setelah berbincang dengan mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Komisaris Jenderal Susno Duadji, saat sama-sama menjadi tahanan di Markas Komando Brigade Mobil. Ia mengaku sejak awal ditakut-takuti Haposan dirinya akan ditahan serta harta bendanya akan disita.
Gayus menyebut sejumlah petinggi polisi yang mestinya juga dimintai pertanggungjawaban dalam kasus Surya Alam ini. Mereka adalah Brigadir Jenderal Edmon Ilyas, mantan Direktur Ekonomi Khusus Bareskrim Markas Besar Kepolisian RI, Brigadir Jenderal Raja Erizman—juga bekas Direktur Ekonomi Bareskrim—serta Komisaris Besar Pambudi Pamungkas, mantan Kepala Unit Pencucian Uang. Mereka, menurut dia, yang antara lain berperan mengubah status Robertus Antonius, konsultan pajak yang sebelumnya tersangka seperti dirinya, menjadi saksi. Termasuk memerintahkan pemeriksaan di luar kepolisian.
Baik Ditjen Pajak maupun kepolisian menampik tudingan yang dilemparkan Gayus dalam pleidoi itu. ”Institusi kami terbuka. Tapi harus jelas mana penyelewengannya,” kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Iqbal Alamsyah. Adapun Kepala Bagian Penerangan Umum Mabes Polri Komisaris Besar Boy Rafly Amar menyatakan kasus Gayus ini belum seluruhnya tuntas. Sejumlah barang bukti yang diserahkan Gayus, ujarnya, tetap akan dipakai kepolisian. ”Penyidikan masih terus dilakukan.”
Jaksa memandang yang disampaikan Gayus tak lebih dari upaya pegawai pajak yang kini sudah dipecat sekadar membela diri. ”Dalil yang disampaikan tidak berfokus pada upaya mematahkan pembuktian atas dakwaan,” ujar jaksa Kuntadi. Dalam pembacaan replik—sebagai jawaban atas pleidoi Gayus—Kuntadi menyatakan yang diungkapkan Gayus tentang mafia pajak merupakan indikasi awal adanya tindak pidana lain yang tidak ada hubungannya dengan perkara yang didakwakan terhadap dirinya.
Gayus kini menghadapi empat dakwaan. Pertama, tuduhan memperkaya diri sendiri atau orang lain berkaitan dengan dikabulkannya keberatan pajak PT Surya Alam Tunggal; kedua, gratifikasi, yaitu memberikan sejumlah duit kepada polisi; ketiga, penyuapan terhadap hakim Muhtadi Asnun; dan keempat, upaya menghalang-halangi penyidikan berkaitan dengan duit miliaran rupiah yang diakui Gayus milik Andi Kosasih. Atas empat dakwaan ini, Gayus pekan lalu dituntut 20 tahun penjara.
Di luar itu, sejumlah kasus kini juga menunggu untuk dijeratkan kepada pria 31 tahun ini. Misalnya, kasus uang miliaran rupiah dalam rekeningnya yang kini di tangan penyidik Polri, kepergiannya nonton tenis di Bali, dan kini bertambah lagi, soal pemalsuan paspor dan pelesirannya ke Makau, Kuala Lumpur, serta Singapura.
Ramidi, Febriyan, Dianing Sari
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo