Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Bila Mengajar Dianggap Kriminal

Nurlaila bertahan terus mengajar di SMP yang harus digusur. Orang tua murid pun mendukung.

26 Juli 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sekitar 100 bocah tanggung itu berbaris rapi. Mengikuti aba-aba, serempak mereka memberikan salut, mengangkat tangan ke kening. Di depan, di bawah tiang bendera, dua anak mengerek Sang Merah Putih dengan takzim. Upacara selesai. Bocah-bocah itu dengan tertib masuk kelas.

Itulah suasana hari pertama tahun ajaran baru di halaman SMP Negeri 56 di kawasan Blok M, Jakarta Selatan, Senin lalu. Lebih dari separuh murid yang masuk masih berseragam SD. Maklum, seragam SMP baru bisa dibagikan setelah upacara bendera selesai. "Kami menerima 98 siswa baru," kata Ketua Komite Sekolah SMPN 56 Melawai, Joni R. Elian.

Inilah sekolah yang dalam beberapa bulan terakhir menjadi sengketa dan bakal digusur. Tapi tak tampak kecemasan di mata siswa-siswa baru itu. "Saya diminta sekolah di sini. Ibu saya bilang, biar sekolahnya tak digusur," kata Ali Sobri, murid baru lulusan SD Negeri Bintaro 01. "Saya ingin sekolah di sini, apalagi kakak saya dulu juga di sini," kata Ari Mahfudin, lulusan SDN Grogol 07 pagi.

Keceriaan anak-anak itu seolah menantang ancaman Gubernur DKI Sutiyoso. "Orang tua jangan memasukkan anaknya ke SMPN 56. Kami sudah mengingatkan, risiko ditanggung sendiri," kata Sutiyoso, Selasa lalu, melihat banyak orang tua masih berkeras menyekolahkan anaknya di situ.

Dan itu bukan ancaman kosong. Pada hari pertama tahun ajaran baru itu juga, Nurlaila, satu-satunya guru yang masih bertahan mengajar di sana, digelandang polisi Polda Metro Jaya. Ia dituduh melanggar Pasal 62 ayat 1 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003, menyelenggarakan pendidikan tanpa izin pemerintah atau pemerintah daerah.

Ancaman hukuman bagi Nurlaila cukup berat: 10 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar. Menurut Kepala Satuan Tindak Pidana Korupsi Direktorat Reserse Kriminal Khusus, Ajun Komisaris Besar Anton Wahono, penyelenggaraan pendidikan harus didaftarkan ke Departemen Pendidikan Nasional. "Kalau tidak, bisa dianggap sekolah liar," ujarnya.

Inilah puncak ketegangan yang sudah berlangsung hampir empat tahun. Pada akhir tahun 2000, Departemen Pendidikan Nasional dan PT Tata Disantara, anak perusahaan Abdul Latief Corporation, menandatangani perjanjian tukar guling. Dengan kesepakatan ini, gedung dan lahan SLTP Negeri 56 Melawai ditukar dengan lahan di Jeruk Purut, sekitar 5 kilometer dari Melawai.

Perjanjian inilah yang dituding para guru dan orang tua murid berbau korupsi. Apalagi lahan di Melawai hanya dihargai Rp 5 juta per meter, padahal nilai jual obyek pajak tahun 2000 sudah mencapai Rp 9,5 juta per meter.

Sejak itu, genderang perlawanan mulai ditabuh. Orang tua murid, guru, dan lembaga advokasi pendidikan mengajukan gugatan pembatalan ruilslag itu ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Gugatan ditolak. Belakangan, pada Desember 2003, Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengeluarkan surat yang menyatakan kasus SMPN 56 Melawai dalam keadaan status quo.

Penggugat kemudian menyatakan banding. Tapi, sementara proses hukum berjalan, guru dan siswa terus ditekan. Teror berdatangan, termasuk ancaman pemecatan guru dan penghentian gaji. Dengan ancaman seperti itu, memang tak banyak yang berani bertahan. Satu per satu guru dan murid bersedia pindah ke Jeruk Purut. Tinggallah Nurlaila, satu-satunya pegawai negeri sipil yang masih bertahan, dibantu beberapa guru dan sukarelawan.

Seusai pemeriksaan, Nurlaila mengaku tidak paham mengapa ia menjadi tersangka. Polisi menambah tuduhannya dengan menyebut Nurlaila memalsukan rapor serta kartu uang sekolah. Dalam rapor dan kartu pembayaran uang sekolah itu, Nurlaila mencantumkan dirinya sebagai PJS Kepala Sekolah SLTP 56. "Tapi kalimat PJS kepala sekolah bukan singkatan 'pejabat sementara' namun 'penanggung jawab sementara'. Saya tak merasa mengangkat diri sebagai kepala sekolah," kata Nurlaila. Soal rapor yang dia tanda tangani pun, katanya, adalah hasil kesepakatan guru dengan orang tua murid.

Masih ada tuduhan lain, yaitu tindak pidana memasuki pekarangan milik orang lain tanpa izin. Munir, kuasa hukum Nurlaila, mengecam perlakuan pada kliennya itu sebagai cara-cara rezim Orde Baru. "Tuduhan melakukan pemalsuan dan penyerobotan sudah kuno," kata Munir.

Entah bagaimana nasib Nurlaila nantinya. Kini, hiburan bagi Nurlaila adalah masuknya sejumlah murid baru di sekolah itu. Di mata Munir, masuknya murid baru menunjukkan bahwa sekolah itu masih mendapat pengakuan masyarakat. "Masa, inisiatif masyarakat menyelenggarakan pendidikan bisa dituduh sebagai tindakan kriminal," kata Munir.

Ahmad Taufik, Yophiandi (TNR)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus