Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Mahkamah Megah demi Elza

Pertama kali sidang kode etik pengacara dibuka untuk umum dengan megah dan meriah.

6 Mei 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETELAH lama seperti tertidur, kalangan pengacara kini menggebrak. Pada tahun 1990, para advokat pernah punya pesta yang hiruk-pikuk dengan adu tinju di Hotel Horison, Jakarta Utara. Dua belas tahun kemudian, Jumat malam pekan lalu, hajatan para pembela hukum itu lebih seru, yakni persidangan kode etik di Hotel Sahid Jaya. Inilah pertama kali sidang kode etik untuk mengadili penyimpangan perilaku pengacara yang terbuka untuk umum.

Acaranya megah dan meriah, mirip perhelatan kaum selebriti. Ballroom hotel bintang lima di kawasan elite Jalan Sudirman, Jakarta, itu disulap menjadi ruang pengadilan. Seperti layaknya persidangan, hadirin pun diminta berdiri tatkala lima orang majelis dewan etik Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI) masuk ke ruangan. Lima orang itu terdiri dari tiga pengacara HAPI, seorang akademisi, serta seorang anggota DPR.

Di posisi jaksa penuntut umum, ada Ketua HAPI A.Z. Arifien Syafei, yang disebut sebagai pengadu. Di pihak terdakwa, duduklah pengacara Elza Syarief, yang Wakil Sekretaris Jenderal HAPI. Ia didampingi lima pembela, antara lain Gayus T. Lumbuan.

Elza, pengacara asal Minang yang menjadi pengacara Tommy Soeharto, dituduh menyuap dua saksi dalam perkara Tommy. Kedua saksi itu adalah Rahmat Hidayat dan Tatang Somantri, anggota satpam Apartemen Cemara. Keduanya mengaku diberi uang masing-masing Rp 1 juta oleh Elza untuk memberi kesaksian palsu di persidangan Tommy.

Belakangan Rahmat dan Tatang ditahan polisi dengan tuduhan memberi keterangan bohong. Berikutnya, Elza juga dijadikan tersangka oleh polisi dan akan diperiksa pada Senin pekan ini.

Namun, sebelum Elza dipanggil polisi, ternyata sejumlah pengacara senior yang dimotori oleh Adnan Buyung Nasution melakukan gerakan tandingan. Buyung yang juga pengacara Elza dalam kasus penyuapan tadi meminta polisi tak mencampuri urusan profesi advokat. Menurut Buyung, seorang pengacara yang diduga melakukan praktek menyimpang saat menangani sebuah kasus harus diadili lebih dulu oleh majelis kode etik organisasi profesinya.

Karena itu, Buyung dengan komite kerja advokat Indonesia segera membentuk tim pemeriksa. Ia mengancam akan mengadili Elza bila HAPI sebagai organisasi tempat Elza bergabung tak mengadili Elza. Kontan HAPI membentuk majelis kode etik yang diketuai Yan Apul Girsang—yang sebenarnya tokoh di organisasi pengacara lain, yakni Asosiasi Advokat Indonesia.

Di hadapan majelis etik pimpinan pengacara senior Yan Apul, Elza dituduh telah melanggar kode etik. Sebab, Elza dianggap membujuk atau memengaruhi saksi-saksi dari pihak lawan yang akan memberi keterangan di persidangan. Elza juga disangka melakukan perbuatan yang merugikan kebebasan dan martabat profesi hukum.

Dengan tuduhan serius begitu, mungkinkah majelis etik menghukum Elza dengan mengusulkan Menteri Kehakiman atau Ketua Pengadilan Tinggi Jakarta untuk mencabut surat izin Elza selaku pengacara? Sekurangnya Elza dikenai skorsing untuk tak bisa menjalankan praktek pengacara selama enam bulan atau bahkan setahun?

Memang, persidangan majelis etik masih berlanjut sampai Senin pekan ini. Namun Jumat malam pekan lalu majelis etik menelurkan putusan sela (sebelum vonis akhir) yang memerintahkan agar Elza untuk sementara jangan membela Tommy Soeharto di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Putusan itu juga disampaikan ke Polda Metro Jaya, yang akan memeriksa Elza sebagai tersangka dalam kasus penyuapan Rahmat dan Tatang. Demikian pula ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat selaku pengawas pengacara di lingkungannya. ”Kami mohon agar Polda Metro Jaya jangan memeriksa Elza dulu. Biarlah kami menyelesaikan persidangan kode etik ini,” kata Yan Apul, yang sepanjang karirnya juga acap diterpa isu miring sebagai pengacara ”jago ber-main”.

Biar putusan sela itu seperti melindungi Elza, wanita pengacara ini mengaku tak bisa menerima putusan sela tadi. ”Kok, cara kerja majelis etik yang baru kali ini dibentuk seperti penyidikan,” ujarnya.

Buat Polda Metro Jaya, sebagaimana dikatakan Kepala Dinas Penerangan, Komisaris Besar Polisi Anton Bahrul Alam, permintaan Yan Apul tak akan berpengaruh terhadap proses penyidikan Elza. ”Mereka ya mereka. Kami ya kami. Polisi akan tetap memeriksa Elza sebagai tersangka,” kata Anton.

Sementara itu, Paulus R. Mahulete dari Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, dan praktisi hukum Luhut M.P. Pangaribuan, mengaku geli dengan sidang majelis etik terhadap Elza. ”Masa, para pengacara senior itu tak bisa membedakan pelanggaran etika dengan tindak pidana,” ujar Paulus. Maksudnya, kasus Elza sudah masuk wilayah tindak pidana penyuapan, bukan lagi sekadar urusan etika advokat.

Ahmad Taufik, Sapto Pradityo, dan Deddy Sinaga (TNR)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus