PERAMPOKAN gaji pegawai sudah biasa sampai-sampai perampok
menembak mati korbannya. Yang agak luar biasa terjadi di Medan.
Semula orang menyangka bahwa dua orang "korban perampokan"
dibakar hidup-hidup dalam mobilnya. Dan yang benar-benar luar
biasa adalah ketika polisi mengumumkan bahwa kejadian tersebut
hanya "sandiwara". "Ini kelicikan terbesar tahun ini," ujar
Kadapol Sumatera Utara, Brigjen Pol. Drs. Soenaryo. Konyolnya si
pelaku utama "sandiwara" membakar diri itu, Subari, meninggal
dunia akibat luka-luka bakar.
Sandiwara yang semula dikira perampokan sungguhan itu sempat
membuat polisi kerja keras. Dua hari dua malam setelah kejadian
itu, Senin pekan lalu, Kota Medan diblokade polisi. Sebab
kawanan perampok dikabarkan, meninggalkan jip Willys BB 343 yang
sedang terbakar di kebun tembakau milik PTP IX di Desa Amplas
Binjai (sekitar 15 km dari Medan), setelah menggondol uang gaji
pegawai Dinas Kesehatan Kabupaten Deli Serdan sebesar Rp 37
juta. Bendaharawan kantor dinas itu, Subari (44 tahun), terbakar
hidup-hidup bersama sopirnya, Iriyanto (35 tahun), di dalam
mobil terkunci.
Kedua "korban" berhasil keluar dari mobil yang sedang terbakar.
Subari segera terjun ke parit yang ada di tempat kejadian.
Sopirnya Iriyanto, yang kebetulan hanya terbakar sampai lutut,
lari sejauh dua kilomeeer meminta pertolongan. Bantuan pertama
diberikan oleh anggota Koramil terdel kat. Kedua korban
dilarikan dengan sepeda motor ke Rumah Sakit Pirngadi, di Medan.
Kejadian tersebut hampir meyakinkan polisi. Betapa tidak. Subari
ternyata terluka parah akibat kebakaran itu. Apalagi ia sampai
meninggal empat hari kemudian.
Iriyanto, yang lukanya tak begitu parah, mula-mula menuturkan
cerita kepada polisi seperti berikut. Siang itu, katanya, ia
mengantarkan Subari ke Bank Pembangunan Daerah Sumatera Utara di
Jalan Imam Bonjol untuk mengambil gaji karyawan sebesar Rp 37
juta. Di ruang tunggu bank itu, kata Iriyanto, Subari masih
sempat membayar utang instansinya kepada seorang pemborong, H.P.
Sijabat, sebanyak Rp 6,5 juta. Dari bank, Subari mengantarkan
seorang bawahannya, Husni Lubis, ke Pelabuhan Udara Polonia.
Dari situ, barulah mereka menuju kantor di Lubuk Pakam, sekitar
40 km dari Medan. Persis di lampu merah di depan Hotel Danau
Toba, mobil berhenti. Dua orang pemuda, yang kata Iriyanto
seperti orang baik-baik, meminta tumpangan. "Mobil kami mogok di
depan sana, tolonglah kami sampai di tempat itu," konon ujar
salah seorang pemuda yang membawa jeriken berisi bensin.
Sampai di Jalan Sudirman, menurut Iriyanto, kedua pemuda itu
mengeluarkan pisau. Iriyanto dipaksa mengemudikan mobilnya
berkeliling kota sebelum akhirnya dipaksa berhenti di perkebunan
tembakau. Setelah merampas uang gaji dari tangan Subari, begitu
cerita dikarang, kedua perampok melarikan diri dengan sepeda
motor bersama dua orang temannya yang sudah menunggu di tempat
itu. Rapi, kan?
Tapi, "sejak hari pertama saya sudah curiga, karena ceritanya
tidak logis," ujar Kadapol Soenaryo. Sebab, menurut Soenaryo,
selama berkeliling kota itu kok tidak ada perlawanan atau usaha
apa pun dari "korban". Tapi Iriyanto, ketika ditanya polisi,
tetap mencoba meyakinkan ceritanya.
Namun polisi tidak gampang percaya. Ada kesan Iriyanto
membikin-bikin agar sakitnya tampak gawat. Misalnya dengan cara
mengerang-erang bila didekati polisi. Tapi segera diam begitu
polisi membelakanginya. Yang lebih penting lagi, saksi-saksi
yang melihat mobil terbakar, tidak melihat ada dua motor yang
melarikan diri seperti yang diceritakan Iriyanto.
Rabu pekan lalu, polisi sudah bisa memastikan apa yang disebut
perampokan, ternyata sandiwara belaka. Sebab Iriyanto dan
beberapa tersangka lainnya yang diperiksa, seperti Husni Lubis,
belakangan mengakui kebenaran dugaan polisi. Ternyata pembakaran
mobil disengaja Subari sebagai alibi. Toh kendaraan tersebut
dibelinya dari lelang dengan harga hanya Rp 200 ribu. Hari itu,
kata Iriyanto kepada TEMPO kemudian, Subari sendiri yang
menyiramkan bensin ke mobilnya. Semula bensin itu ditumpahkan di
jok mobil yang langsung mengenai pula celana Iriyanto. Setelah
itu baru Subari menyiram dirinya sendiri. "Keluar kau cepat,"
perintah Subari begitu ia menyulut korek api. Iriyanto segera
melompat keluar dengan api membakar ujung celananya. Malang bagi
Subari - hal itu rupanya di luar skenario - ketika itu pula
bensin yang masih tersisa tumpah ke badannya. Api segera
menjilatnya sehingga Subari terpaksa pontang-panting terjun ke
parit.
Skenano sandiwara gila itu, dirancang di rumah Subari di Jalan
Cemara, Medan. Menurut pengusutan polisi, selain tuan rumah dan
Iriyanto, hadir juga Husni Lubis. Menurut Iriyanto, Husnilah
yang merancang semua kejadian itu. "Saya hanya mengangguk-angguk
mengiyakan," kata sopir itu. Untuk perannya sebagai pembantu,
Iriyanto malam itu juga menerima bagian Rp 1 juta.
Pohsi menduga, perbuatan nekat tersebut dilakukan Subari itu
karena terdesak oleh utang-utang yang diperbuatnya. "Tapi sejauh
mana dan berapa besarnya masih harus diselidiki, ujar seorang
polisi yang mengusut kasus itu.
Subari, yang mempunyai masa dinas selama 17 tahun, meninggalkan
istri dan delapan anak yang masih kecil-kecil di rumah yang
sederhana. "Kami tidak akan berhenti mengusut walau ia
meninggal," ujar Dansatserse Komtabes Medan, Kapten Paimin A.B.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini