Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Bolong Sebelum Sidang

Berkas Adelin Lis ternyata belum sempurna di tangan jaksa. Berkas prematur itu dipaksa maju ke meja hijau.

26 November 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUASANA tegang menyelimuti kantor Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara di kawasan Pangkalan Mansyur, Medan, pekan lalu. Selama empat hari, sebuah tim dari Kejaksaan Agung memeriksa sejumlah anggota korps baju cokelat tua itu. Pemeriksaan terkait putusan bebas Adelin Lis, terdakwa pembalak kayu yang dituduh merusak lingkungan dan membuat negara rugi hingga Rp 202 triliun.

Ini kedua kalinya tim dari Jakarta memeriksa para jaksa di Medan. Sepekan sebelumnya, tim bagian penuntutan Kejaksaan Agung sudah datang terlebih dulu. Dipimpin M. Ismail, tim tersebut memeriksa tujuh jaksa yang menangani perkara Adelin, yaitu Edyward Kaban, T.R. Limbong, Andi Faisal, Halilah, Tomo Sitepu, Agus Wirawan, R.O. Panggabean, dan Harli Siregar. Tapi, selama dua hari pemeriksaan, tim tak menemukan kesalahan mereka. ”Tidak ada alasan lagi untuk memeriksa jaksa penuntut,” kata Jaksa Agung Muda Pengawasan M.S. Raharjo.

Namun, pemeriksaan itu ternyata mencium aroma tak sedap di bagian lain, yakni saat berkas dakwaan Adelin itu disusun atau di tahap pra-penuntutan. Karena itu, sebuah tim lain dari bagian pengawasan Kejaksaan Agung segera dikirim ke Medan. Tim yang dipimpin jaksa Amrizal Syahrin inilah yang berada di Medan selama empat hari itu.

Hingga kini, total sudah 15 jaksa diperiksa. Selain memeriksa ulang tujuh jaksa penuntut Adelin, tim juga memeriksa sejumlah petinggi kejaksaan di tanah Deli itu, termasuk Teuku Zakaria, mantan Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara. ”Ada penyimpangan dalam penanganan perkara Adelin. Berkas sebetulnya belum lengkap namun dinyatakan selesai atau P-21,” kata Rahardjo. Jika pengakuan Rahardjo benar, artinya jaksa sudah ”membebaskan” Adelin sebelum perkaranya disidang.

Menurut Rahardjo pengesahan berkas prematur ini menyulitkan jaksa. ”Tidak mungkin berkas yang sudah dinyatakan P-21 lalu dibatalkan,” ujarnya tegas. Akibatnya, jaksa menyusun dakwaan dari berkas yang lemah. Dan, terbukti dalam persidangan 5 November lalu, hakim memutus pengusaha kayu asal Sibolga itu bebas.

Menurut Amrizal, yang menandatangani berkas berstatus P-21 itu jaksa Sutan Bagindo Fahmi, mantan Asisten Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara. ”Padahal, berkas itu belum lengkap untuk dibawa ke meja hijau,” kata Amrizal setelah melakukan pemeriksaan di Medan. Tim, untuk sementara, menyimpulkan, ada pelanggaran prosedur dalam penetapan status P-21. Meski begitu, tim menyatakan belum menemukan indikasi suap atau kolusi dalam kasus ini.

Bagindo Fahmi, yang sekarang menjabat sebagai Direktur Ekonomi dan Keuangan Jaksa Agung Muda Intelijen menolak kesimpulan tim itu. ”Saya tanggung jawab, tapi saya tidak bersalah. Enak saja,” katanya. Menurut Fahmi, kala itu status berkas Adelin sudah lengkap secara formil dan materiil. Bahkan sudah dilakukan gelar perkara dengan Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara, Teuku Zakaria. Dalam gelar perkara tersebut, semua pimpinan di Kejaksaan Tinggi hadir, termasuk dirinya. ”Status P-21 yang meneken saya selaku asisten pidana khusus,” katanya. ” Jadi, tidak ada kesalahan prosedur dari saya. Alat bukti pun lengkap.”

Fahmi mengungkapkan, setelah berkas dinyatakan lengkap, ada insiden yang merusak berkas, yakni saat 20 orang saksi dikumpulkan di Hotel Emerald Medan. Mereka serentak menyatakan mencabut keterangan di berkas pemeriksaan. ”Saya tidak tahu alasan pencabutan itu dan siapa yang menyuruh,” ujarnya.

Fahmi menyangkal jika dirinya disebut sengaja membuat dakwaan loyo untuk Adelin.

”Kalaupun memang ada kelemahan, itu tanggung jawab yang membuat,” katanya. ”Pembuatnya adalah tim dari Gedung Bundar.” Gedung bundar adalah sebutan kantor para jaksa pidana khusus Kejaksaan Agung di Jakarta.

Edyward Kaban, salah seorang jaksa penuntut Adelin, juga mempertanyakan hal yang sama. ”Kami berulang kali menyempurnakan dakwaan sebelum diserahkan ke Pengadilan Medan,” katanya. Bahkan, ujarnya, ketujuh jaksa penuntut Adelin sudah melakukan ekspos perkara di ruangan Direktur Penuntutan Pidana Khusus Kejaksaan Agung. ”Dua kali kami ekspos. Setelah Kejaksaan Agung setuju, barulah berkas Adelin dilimpahkan ke pengadilan. Jadi, kenapa Kejaksaan Agung melakukan eksaminasi atas dakwaan dan tuntutan yang disetujui oleh mereka sendiri?” ujarnya.

Rahardjo menegaskan, Fahmi tak berwenang memberi status P-21 terhadap berkas Adelin. Menurut Rahardjo, formulir P-21 diteken Fahmi sesudah dirinya melakukan serah-terima jabatan di Sumatera Barat. ”Jadi, tidak boleh dilakukan karena sudah bukan kewenangannya,” kata Rahardjo. Fahmi saat penyidikan perkara Adelin memang dipromosikan menjadi Wakil Jaksa Tinggi Sumatera Barat. Saat itu ia sempat bolak-balik Padang-Medan dengan dalih penggantinya, jaksa Palty Simanjuntak, belum dilantik. ”Ini yang jadi masalah, sebab tidak seharusnya ia tanda tangani,” kata Rahardjo.

Teuku Zakaria menyatakan, dirinya tidak tahu-menahu yang dilakukan Fahmi. Setelah diperiksa hampir selama 11 jam dan dihujani 25 pertanyaan, Zakaria mengaku lega. Kepada Amrizal, Zakaria mengaku tak tahu status P-21 itu dari Fahmi. ”Setahu saya, status P-21 itu diteken oleh Muchtar Hasan,” katanya. Muchtar adalah Wakil Jaksa Tinggi Sumatera Utara saat itu, sekaligus merangkap Pelaksana Tugas Asisten Tindak Pidana Khusus. Semua pengakuan Zakaria dicatat Amrizal. ”Semuanya akan kami laporkan ke Jakarta,” kata jaksa pengawas ini.

Jaksa Rahardjo mengakui, berdasarkan temuan awal tim pengawasan, didapat perbedaan pernyataan di antara para jaksa. Pernyataan yang berbeda itu akan dikonfrontir lagi kepada para jaksa tersebut. ”Kami akan uji poin per poin siapa yang melanggar,” katanya.

Nasib para jaksa ini tak seberuntung para hakim yang membebaskan Adelin. Tiga hakim tersebut, yakni Jarasmen Purba, Dolman Sinaga dan Ahmad Syema, setelah diperiksa oleh tim eksaminasi Pengadilan Tinggi Sumatera Utara, dinyatakan Mahkamah Agung sebagai telah bertindak benar. ”Tindakan hakim sudah sesuai prosedur vonis,” kata Djoko Sarwoko, Pejabat Wakil Ketua Bidang Pengawasan MA. Kesimpulan ini bahkan mendahului tim eksaminasi Komisi Yudisial yang sempat menyoroti absennya sidang lapangan di kasus lingkungan tersebut.

Kendati secara sepintas temuan Kejaksaan ini seperti ”menjanjikan”, namun sebenarnya masih diliputi sejumlah tanda tanya. Para jaksa mengaku sudah memberkas tersangka Adelin sesuai hasil pemeriksaan polisi. Padahal polisi, seperti diungkapkan Irjen Pol Bambang Hendarso Danuri, Kepala Polda Sumatra Utara saat itu, semula menjerat Adelin dengan tiga sangkaan, yakni korupsi, pembalakan liar, dan pencucian uang. ”Pasti tidak bisa lolos karena kita gunakan sangkaan berlapis,” kata Bambang. Nyatanya, di meja jaksa, dakwaan Adelin cuma tinggal dua: korupsi dan pembalakan liar. Sangkaan pencucian uang kini terpaksa ”dihidupkan” kembali oleh polisi sembari mencari Adelin yang buron setelah bebas.

Dua dakwaan jaksa itu pun tidak sempurna. Ibarat kapal, tak sempat melaju karena keburu karam. ”Bolongnya terlalu banyak. Bagaimana nggak mental di sidang,” kata Sakti Hasibuan, pengacara Adelin. Kelemahan-kelemahan dakwaan ini sudah disampaikan tim kuasa hukum Adelin Lis ke Komisi Yudisial, awal November lalu. ”Supaya Komisi Yudisial tahu mengapa sampai keluar vonis hakim seperti itu,” ujar Sakti. Menurut Sakti, jumlah ”bolong-bolong” itu sekitar 27 poin.

Misalnya saja, jaksa mendakwa Adelin menebang tanpa izin, tapi dalam dakwaan, jaksa mengakui PT Keang Nam memiliki izin Hak Pengusahaan Hutan seluas 58 ribu hektare. ”Secara tidak langsung, jaksa menyatakan penebangan yang dilakukan Adelin sah,” ujar Sakti. Tuduhan melakukan penebangan di luar HPH dan di kawasan Taman Nasional Batang Gadis di Kabupaten Mandailing Natal juga tidak disebutkan dalam dakwaan. ”Jadi, mana bisa hal semacam ini disebut pembalakan liar,” katanya.

Ada pula dakwaan PT Keang Nam Development Indonesia—demikian nama lengkap perusahaan Adelin—mengemplang iuran Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR) selama 2000–2005 sebesar Rp 119 miliar dan US$ 2,9 juta. Sementara itu, ujar Sakti, di persidangan jaksa malah melampirkan bukti-bukti pembayaran PSDH dan DR selama periode tersebut. ”Ini sama saja menuduh orang tidak membayar, tapi kuitansinya nongol di kantongnya,” kata Sakti.

ARK, Sandy Indra P, Sahat S. (Medan)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus