Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KATA ”demokrasi” dan ”hak asasi manusia” masih saja menjadi ancaman di kawasan ini. Paling tidak itulah kesan yang terasa selama Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN ke-13 berlangsung pekan lalu di Singapura.
Setelah pertemuan yang diwarnai ancaman, akhirnya Piagam ASEAN (ASEAN Charter) ditandatangani 10 negara anggota, termasuk Indonesia. Ini momen bersejarah, tepat ketika ASEAN berusia 40 tahun. Piagam ini diharapkan mengubah perhimpunan tersebut menjadi organisasi regional dengan pemimpin dan struktur lebih jelas. Bahkan dengan mencantumkan kata ”demokrasi” dan ”hak asasi manusia” dalam Piagam, jelas langkah penting bagi perkembangan demokratisasi di kawasan Asia Tenggara.
Namun ASEAN masih perlu membuktikan kepada dunia bahwa dirinya bukan macan kertas. Drama yang terjadi selama konferensi menunjukkan konsep demokrasi dan hak asasi manusia sebetulnya belum diterima dengan tangan terbuka. Pertama, pertemuan Ibrahim Gambari dengan para pemimpin ASEAN akhirnya batal. Padahal wakil khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa itu semula akan membahas soal Burma. Perdana Menteri Burma Letnan Jenderal Thein Sein protes dengan menyatakan Gambari seharusnya melapor ke Dewan Keamanan PBB, bukan ke ASEAN. Para pemimpin ASEAN semula ingin mendengarkan pandangan Gambari, yang baru berkunjung ke Burma setelah pengeroyokan atas biksu dan warga sipil pada September lalu.
Drama kedua adalah alotnya proses merancang isi piagam. Pihak Filipina sempat mengancam tak akan ikut meratifikasi piagam itu jika Burma tidak berkomitmen membebaskan Aung San Suu Kyi dan kembali ke jalur demokrasi. Setelah debat antar-kepala negara, piagam selesai dirancang dengan mencantumkan kata ”demokrasi” dan ”hak asasi manusia”. Bahkan ada rencana pembentukan sebuah badan hak asasi manusia.
Tapi, celakanya, dalam piagam itu ada embel-embel ASEAN tak akan mencampuri urusan domestik masing-masing negara dan tidak menjatuhkan sanksi untuk negara yang melanggar hak asasi. Sikap gamang begini memperlihatkan bahwa pemerintahan di kawasan Asia Tenggara masih gerah dengan demokratisasi, kebebasan berekspresi, atau oposisi politik. Burma adalah contoh yang sangat nyata.
Negara-negara ASEAN yang lain juga belum bersinar dalam menjalankan demokrasi. Penggunaan Internal Security Act di Malaysia dan Singapura, yang mengizinkan penangkapan warga tanpa pengadilan untuk jangka waktu tak jelas, adalah satu bukti. Umumnya negara ASEAN masih memiliki angka merah dalam penanganan hak asasi manusia. Jika untuk urusan domestik saja negara ASEAN menerapkan gaya tangan besi demi membungkam suara berbeda, tentu menggelikan bila diharapkan ASEAN menghukum anggotanya yang melanggar hak asasi.
Dalam bersikap terhadap kebrutalan di Burma, negara anggota bukan hanya lunak, melainkan sangat akomodatif terhadap pemerintah Burma yang ngambek selama pertemuan Singapura. Bahkan para negosiator mengakui bahwa terjadi kompromi besar dalam proses penyusunan piagam itu untuk mengakomodasi Burma, dengan alasan ASEAN adalah sebuah keluarga (baca rubrik Luar Negeri, Anak Bengal di Dalam Keluarga).
Jika ASEAN ingin dianggap organisasi bergigi seperti Uni Eropa, seharusnya tak perlu membelai anak manja seperti Burma, termasuk menerima dalihnya bahwa serangan atas biksu dan warga sipil adalah isu domestik. Pertemuan di Singapura sesungguhnya merupakan momen yang tepat, tapi sayang berlalu tanpa tekanan berarti terhadap sang pelanggar hak asasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo