Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BETAPA mudah penegak hukum merasa terhina di negeri ini. Bahkan ketika ”hinaan” itu datang dari sebuah kolom di media massa dan penulis artikel itu hanya mengutip sebuah kisah.
Itulah yang terjadi pada wartawan Bersihar Lubis. Kolomnya di Koran Tempo 17 Maret 2007 yang berjudul ”Kisah Interogator yang Dungu” membuatnya harus menghadap meja hijau. Bersihar dikenai pasal pencemaran nama baik dan penghinaan—beleid peninggalan kolonial yang bisa membuat ia dibui satu setengah tahun.
Padahal ”Kisah Interogator” adalah kritik Bersihar terhadap pembakaran buku sejarah. Oleh kejaksaan, buku-buku yang dipakai untuk siswa sekolah menengah itu dibredel dengan alasan tidak mencantumkan Partai Komunis Indonesia dalam frasa Gerakan 30 September. Bersihar, seperti beberapa sejarawan, menilai soal siapa di belakang G30S masih bisa diperdebatkan. Kejaksaan rupanya berpendapat, keterlibatan PKI sudah final.
Dalam kolomnya, Bersihar mengutip cerita Joesoef Isak, pimpinan penerbit buku Hasta Mitra. Pada April 2004, Joesoef dianugerahi penghargaan Jeri Laber Pour La Liberte De l’edition oleh Perhimpunan Penerbit Amerika karena berani menerbitkan karya Pramoedya Ananta Toer ketika pemerintah Indonesia melarangnya. Dalam pidato Isak ketika menerima hadiah itulah kisah yang belakangan dikutip Bersihar ini muncul.
Syahdan, pada 1981 Joesoef pernah diperiksa kejaksaan karena menerbitkan dua novel Pramoedya: Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa. Kejaksaan menuduh karya itu sastra Marxis.
Joesoef meminta agar kejaksaan menyelenggarakan simposium untuk memastikan tuduhannya. Jaksa ngotot menyatakan ”sudah bisa merasakan” nilai-nilai Marxisme dalam bacaan itu tanpa menyelenggarakan seminar. Belakangan, ketika Isak diminta meneken berita acara pemeriksaan, seorang jaksa malah minta dikirimi satu eksemplar buku itu lagi. Jaksa itu mengaku kagum pada Pram dan menyatakan pemeriksaan Joesoef ia lakukan hanya karena perintah atasan. Dalam konteks itu, Joesoef Isak menyebut interogatornya dungu.
Di negeri ini betapa mudahnya penegak hukum merasa terhina. Bahkan, jikapun kata ”dungu” itu datang dari Bersihar Lubis sendiri, kata itu tak bisa dengan sendirinya menyeret mantan wartawan Tempo ini ke depan hakim.
Apa yang dilakukan Bersihar adalah mengkritik pemerintah yang sejauh ini belum menyelenggarakan kajian serius tentang prahara G30S. Pemerintah malah memaksa siswa sekolah agar percaya bahwa hanya PKI-lah satu-satunya dalang insiden 1965. Ini sungguh menggelikan, karena pelbagai buku yang mengungkap sejumlah versi G30S sudah beredar luas di masyarakat.
Melarang buku sejarah berarti mengajari siswa menjadi hipokrit. Dari pelbagai buku lain mereka mengetahui bahwa G30S adalah tragedi dengan banyak versi, tapi di kertas ujian sekolah mereka harus menjawab bahwa PKI-lah aktor tunggal G30S.
Penggunaan pasal karet pencemaran nama baik dan penghinaan kepada Bersihar juga menunjukkan masih adanya pejabat yang suka main beslah terhadap pendapat yang berbeda. Hanya negara otoriter yang memberlakukan praktek semacam ini.
Di bekas Uni Soviet dulu, saking takutnya orang mengkritik pemerintah, sempat muncul anekdot. Seorang lelaki ditangkap intelijen negara karena berteriak-teriak di Lapangan Merah: ”Khrushchev sudah gila! Khrushchev sudah gila!” Oleh pengadilan ia dihukum 13 tahun. Setahun karena menghina pemerintah, sisanya: karena terbukti membocorkan rahasia negara!
Bersihar tak sedang menghina, ia mengkritik untuk membela kebebasan berpendapat yang dijamin konstitusi. Ia tentu tidak dungu, apalagi membocorkan rahasia negara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo