Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wajahnya seperti bukan tipe kriminal. Rahangnya yang kelihatan kukuh menandakan dia orang yang teguh pendirian. Tidak ada kesan khawatir atau takut ketika dia harus berhadapan dengan orang nomor satu di jajaran kepolisian. Bahkan ada kelakar di sana. Dialah Amrozi. Sebelumnya kita tidak pernah mendengar nama itu disebut orang, tapi tiba-tiba saja dia menjadi sangat terkenal. Jika anda berpapasan di jalan, Anda pasti tidak akan mengira dia cukup berperan dalam ledakan bom berkekuatan dahsyat itu.
Tapi itulah manusia makhluk Allah yang memang sulit ditebak. Ada yang kelihatannya pemurung tapi ternyata humoris. Ada yang tampaknya penyabar ternyata pemarah. Ada yang tampilannya kiai ternyata playboy. Apalagi di "zaman akhir" ini orang makin cerdas saja, dia sangat lihai membaca "pasar", dia semakin pandai mengatur penampilan. Dengan demikian akan bertambah sulit saja ditebak. Kita pun kemudian tidak heran jika orang kuno bikin pemeo "musang berbulu domba".
Maka, akhlak pun menjadi sangat penting artinya. Namun, apa lacur, ketika "akhlak" itu didefinisikan, dia menjadi sangat sulit dideteksi ada pada diri seseorang. Sebab, itu tadi, orang dapat mengatur penampilannya. Padahal akhlak lebih sebagai "sikap hati yang lahir dari suatu perbuatan, baik atau buruk". Dari sini, perbuatan tentu hanya akan "berhenti" pada terminal yang mengeluarkan simpul: terpuji atau tercela. Biasanya simpul yang keluar dari sikap hati akan menciptakan kesejukan, kedamaian, dan rida. Beda dengan buah isi kepala, jika membias sedikit saja dari alur lurus norma kemanusiaan, ia bisa jadi—istilah pesantrennya—fitnah.
Haruslah diingat bahwa hanya agamalah yang "mengajarkan" bagaimana hati harus bersikap. Agama apa saja. Apalagi agama yang dibawa oleh Kanjeng Nabi Muhammad, Islam. Beliau mengatakan: "Innama bu'itstu li utammima makaarima al-akhlaaq." Aku sebenarnya hanya diutus untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak, moral, budi pekerti. Esensi itu tidak berubah sampai akhir zaman. Jika sekarang timbul kegundahan oleh ulama atas yang dilakukan terhadap Islam, meski dengan embel-embel "garis keras", itu hanyalah karena mencari gampangnya mengucapkan. Bukan—barangkali—sebuah tuduhan yang berdasar.
Namun, jika yang diucapkan itu berangkat dari sikap nggebyah uyah podo asine (generalisasi), itu perlu disesalkan. Mesti dijelaskan, keras itu yang bagaimana. Sekeras apa pun aliran dalam Islam, harus tidak boleh keluar dari koridor rahmatan lil a-lamin. Tidak boleh membias dari misi dan format "innama bu' itstu… " tadi. Sebab, itu adalah prinsip keagamaan (langit) dan keislaman (keras ataupun lunak). Jadi, jika koridor dan format itu yang teracu, pasti tidak ada dan tidak dikenal "kekerasan" dalam Islam.
Jika ada keras dan juga ada lunak pada sebuah wadah (bisa dibaca: agama/Islam), itu lantaran pemeluknya menggeret wadah tersebut ke arah keras atau lunak itu. Sebab, manusia pemeluk agama bisa sangat rentan terhadap faktor "luar" yang mempengaruhinya (QS. XVIII: 45), atau bahkan oleh "nafsu"-nya sendiri yang telah terbentuk dan terbangun oleh latar belakang (atsar). Latar belakang itu boleh jadi bernama pendidikan, lingkungan, kondisi sosial, atau terbentuknya ketika makhluk manusia masih menjadi bakal janin. (Hadis Nabi: Apa saja yang tumbuh dari haram, neraka lebih pantas baginya.)
Syahdan, ketika terbetik berita adanya perkumpulan yang bernama "Jamaah Islamiyah" yang dikumandangkan oleh polisi dunia, Amerika Serikat, saudara saya, Kang Jalil, ngedumel: "Jangan-jangan perkumpulan yang dibentuk oleh orang-orang Islam—yang notabene disebut Jamaah Islamiyah itu—termasuk kumpulan tahlilan, dicurigai dan harus dibubarkan. Jangan-jangan isu Jamaah Islamiyah itu hanya sekali tiga uang saja dengan Komando Jihad dulu itu."
Kegerahan saudara saya itu bisa saya mengerti. Budaya Melayu tidak akan dapat menafikan tuntutan pepatah "ada ubi ada talas". Mewujudkan "talas" antara lain adalah upaya membuat puas pihak yang telah memberi "ubi". Diciptakanlah "kambing hitam". Lalu, terbangunlah opini yang berujung pada tidak pernah selesainya akar tikai di mana-mana. Muncul kecurigaan yang menghalangi sikap yang akan menepiskan ikhtiar menanam kasih sayang; yang bisa mengobrak-abrik tatanan ketetanggaan. Yang kena getah nangka "opini" itu kemudian adalah makhluk sederhana yang sudah ada sejak ratusan tahun silam sejak Wali Songo mengajak ke jalan Allah. Itulah pesantren.
Pesantren, yang sudah punya pengalaman dijadikan sasaran tembak sebuah logika "Untuk memunculkan simpul mana yang benar, harus ada yang dituding salah (atau dipersalahkan)", tidak perlu gumun, sedih, atau panik. La wong Abu Bakar Ba'asyir, Zarkasyi, Amrozi, dan sebagainya itu diciduk dari sana. Sampai-sampai sejumlah pengasuh pesantren memerlukan sowan ke hadapan Bapak Kapolri untuk klarifikasi. Tentu saja sambil mempersembahkan data-data bersih diri, tidak terlibat pengeboman, tidak tersentuh oleh Jamaah Islamiyah-nya Bin Ladin, dan setia sampai sumsum kepada Republik yang dikemudikan oleh pemimpin dari putra-putri terbaik Indonesia.
Seorang kiai, pengasuh sebuah pesantren kecil di daerah saya, dengan wajah merona cemas mendatangi saya. Dia curahkan kekhawatirannya dan kegerahannya terhadap sindiran sebagian tetangga: "Apakah harus sesulit ini menjadi warga 'merdeka' dari sebuah negara merdeka?" Rupanya virus isu "pesantren sarang teroris" telah merusak ke urat nadi masyarakat. Saya berkata kepada kiai itu: "Tenang saja, Yi. Biarkan saja mereka berbuat sesuka hati terhadap pesantren kita. Becik ketitik, olo ketoro. Yi, zaman penjajah dulu malah ditembaki. Sabar. Inna-Allaha ma'ash shobirin. Gusti Allah beserta orang-orang yang sabar kan, Yi."
Saudara, sudahlah. Apakah sampean ingin menyaksikan air mata Ibu Pertiwi hingga bercampur darah? Apakah sampean tidak ingin mencicipi kedamaian di ranah sendiri? Apakah sampean tega melumat habis benang kusut-masai krisis multidimensi ini dengan cara menzalimi keluarga sendiri? Wah….
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo