Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam bukunya One-Dimensional Man, Herbert Marcuse menguraikan secara memikat proses dalam masyarakat kapitalis yang membuat orang mau tak mau berpikir dan bertindak dalam satu dimensi. Dalam pandangannya, manusia dan masyarakat yang sehat akan berpikir dan bertindak secara dua dimensi, yang dimungkinkan oleh adanya tesis dan antitesis yang membuat proses dialektik tetap berjalan. Dialektik ini bisa ditunjukkan dalam tiga jenis ketegangan. Pertama, ketegangan antara yang aktual dan yang potensial, yaitu antara yang sungguh-sungguh terjadi sekarang dan yang belum terwujud tetapi mungkin diwujudkan. Kedua, antara situasi yang real sebagaimana terdapat dalam Realpolitik di DPR atau partai-partai politik dan kriteria rasional menyangkut alasan-alasan yang dapat membenarkan suatu keputusan dan tindakan politik. Ketiga, antara kehidupan menurut insting-insting yang ada dalam pembawaan biologis manusia (pleasure principle) dan kehidupan dalam kebudayaan yang sudah diatur menurut norma-norma moral (reality principle).
Kesenian, misalnya, dalam pandangan Marcuse memainkan peranan ganda. Di satu pihak ia mewujudkan secara estetis apa yang tak dapat dicapai secara sosial-politik dan sosial-ekonomis, semacam kompensasi dalam kawasan keindahan untuk berbagai kehilangan dalam bidang politik dan ekonomi. Di lain pihak, kesenjangan yang diciptakan oleh kesenian di antara dunia artistik dan kenyataan sosial akan mengingatkan orang pada ketegangan dialektis antara realitas sebagaimana yang terwujud dan apa yang seharusnya dapat diwujudkan tetapi tidak dimungkinkan dalam struktur masyarakat kapitalis. Maka, kesenian yang berhasil, dalam pandangan Marcuse, akan menciptakan unhappy consciousness, semacam perasaan tak-kunjung-sampai, suatu kegelisahan yang suci.
Ada alienasi di sana, suatu Verfremdungseffekt dalam artian Bertolt Brecht, ketika suatu pertunjukan teater menimbulkan perasaan bahwa apa yang dipentaskan di panggung bukanlah kenyataan tempat orang dapat mengidentifikasi diri, melainkan tempat orang merasa terasing karena tak dapat melihat dirinya di sana. Ditafsirkan secara politik, maka dua dimensi pada Marcuse akan menjelma menjadi dua syarat dalam kehidupan demokratis menurut J. Habermas, yaitu ketegangan di antara kuantitas partisipasi dan kualitas wacana.
Kalau ketegangan itu direduksi menjadi hanya satu dimensi, kita akan terperosok ke dalam salah satu dari dua kemungkinan. Pertama, kejatuhan ke dalam kebodohan yang diramalkan Sokrates (karena orang-orang yang berkuasa secara politik bukanlah calon-calon terbaik yang dapat mewakili rakyat, melainkan mereka yang berhasil mengumpulkan sebanyak mungkin tanda tangan yang mendukungnya). Kedua, kejatuhan ke dalam elitisme (karena mereka yang berkuasa adalah orang-orang yang menguasai wacana, yaitu para elite yang mengalami pendidikan yang baik).
Hubungan di antara kedua syarat itu bersifat asimetris. Penguasaan kualitas wacana membuka akses kepada partisipasi politik (karena seseorang yang baik artikulasi politiknya dapat menarik dan memperebutkan dukungan politik). Sebaliknya, partisipasi yang meluas dapat menurunkan kualitas wacana, sebagaimana yang terjadi dalam politik Indonesia saat ini (tempat banyak orang yang tanpa pendidikan politik dan tanpa pengalaman politik menduduki jabatan penting di DPR dan DPRD semata-mata karena mereka anggota partai politik yang besar). Demokrasi yang sehat adalah situasi dua dimensi.
Model Habermas mengandaikan bahwa politik berjalan sebagai pertandingan antara alasan-alasan rasional sehingga yang akhirnya diterima adalah pendapat yang lebih unggul berdasarkan the criteria of better argument. Model tersebut sama sekali tidak memperhitungkan bahwa akses kepada partisipasi politik bisa diciptakan melalui jalan yang lain sama sekali, yang tidak ada hubungannya dengan argumentasi yang lebih baik, tetapi dengan menekankan terpenuhinya kepentingan yang lebih praktis, sebagaimana terdapat dalam money politics. Dalam money politics, tukar-menukar dan kontestasi argumentasi dalam parlemen menjadi identik dengan tawar-menawar harga arloji di pasar loak. Pengertian lobby, yang semula berarti penggunaan retorika dan persuasi untuk mempengaruhi keputusan politik, dalam praktek di Indonesia diartikan sebagai praktek dagang sapi di antara politikus.
Politik uang adalah satu hal, tetapi akibat yang ditimbulkannya dalam alam pikiran adalah hal yang lain. Tercipta pemikiran satu dimensi bahwa uang dapat menyelesaikan segala-galanya. Dalam arti itu, pemilik modal yang mempunyai kelebihan uang mengembangkan hobi menerbitkan surat kabar atau tabloid tanpa pengertian bahwa, dalam bisnis majalah dan surat kabar, uang menduduki posisi ke-4 atau ke-5 dan bukannya faktor nomor 1 atau nomor 2. Bisnis seperti ini hanya mungkin hidup kalau di belakangnya ada orang-orang yang sanggup memproduksi gagasan, mempunyai imajinasi, dan sanggup menerjemahkan imajinasinya ke dalam format dan isi majalah yang khas. Di samping itu diperlukan tim redaksi yang terampil menulis, reporter yang cekatan dalam merumuskan, editor yang sensitif dalam menyunting, manajemen yang efisien, saluran distribusi dan pemasaran, dan kesanggupan kerja sama di antara semua staf, yaitu semua hal yang tidak bisa diadakan dengan uang.
Bahwa uang dianggap menentukan segala-galanya terlihat dalam wawancara sebuah stasiun televisi dengan Direktur Jenderal Perhubungan Darat Iskandar Abubakar pada 11 Desember 2002 pagi, sehubungan dengan kecelakaan kereta api yang terjadi setiap tahun. Dengan wajah penuh senyuman penanda tipikal happy consciousness, sang Dirjen pun berpendapat bahwa sebab utama kecelakaan kereta api selama ini adalah kurangnya anggaran pemerintah, di samping lemahnya disiplin pemakai angkutan umum. Yang tidak diungkapkan sama sekali adalah bagaimana keadaan manajemen kereta api sendiri, bagaimana kontrol terhadap keamanan angkutan, bagaimana disiplin para petugas, dan apakah ada cukup perhatian dari para pejabat yang bertanggung jawab atas kondisi kereta api, rel kereta api, serta kinerja dan nasib para petugas.
Pada tingkat yang lebih canggih, pendidikan nasional juga dianggap akan dapat diperbaiki kalau anggaran pendidikan dapat ditingkatkan dari 4 persen menjadi 20 persen. Keinginan ini diajukan tanpa ada pemikiran lebih lanjut jangan-jangan peningkatan anggaran itu akan membiayai lebih banyak penyimpangan dan penyelewengan pendidikan yang sudah berlangsung selama ini kalau tujuan pendidikan nasional itu sendiri tidak ditinjau kembali dengan sungguh-sungguh terlebih dahulu. Alam pikiran satu dimensi ini sangat menakutkan karena sudah jelas bahwa uang tidak akan menimbulkan disiplin lebih ketat, tidak akan menghasilkan etos kerja yang lebih baik, tidak dengan sendirinya menciptakan manajemen yang lebih rapi atau mendorong produktivitas yang lebih tinggi. Semua hal ini tidak bisa diciptakan oleh uang semata-mata, tetapi oleh hal-hal yang tidak bersifat uang, seperti pengawasan, penerapan disiplin, kesungguhan dalam bekerja, dan tanggung jawab terhadap tugas.
Tulisan ini tidak dimaksudkan sebagai kampanye anti-uang, tetapi hanya mengimbau kesadaran bahwa uang pada dasarnya adalah necessary condition (syarat minimum), tetapi bukan sufficient condition (syarat yang mencukupi). Memperlakukan uang sebagai syarat yang mencukupi dinamakan dalam sosiologi sebagai venalisme, yaitu anggapan bahwa segala sesuatu, termasuk tingkah laku manusia, dapat diatur dengan uang. Pada tingkat makro, kita pernah sangat percaya pada anggapan ini ketika, selama Orde Baru, pertumbuhan ekonomi dianggap dengan sendirinya menciptakan segala syarat kehidupan sosial-politik kalau tingkat pertumbuhan tertentu dapat dipertahankan. Keadilan sosial, demokrasi, tata negara yang baik, adalah hal-hal yang akan muncul sebagai hasil sampingan pertumbuhan ekonomi pada berbagai tahap pertumbuhan.
Sekarang ternyata bahwa berkah yang dibawa oleh stages of growth ini mirip dongeng kancil, meskipun yang menuliskannya seorang Rostow. Yang terjadi sekarang adalah berpindahnya kepercayaan makro tersebut ke dalam kawasan yang lebih mikro, yaitu bahwa uang menentukan tingkah laku politik ataupun bekerjanya sistem politik. Terjadi pergeseran dari growth-centered development ke money-centered political behavior. Sebagaimana pada tingkat makro demokrasi dan keadilan sosial dianggap dapat dihasilkan oleh pertumbuhan ekonomi, pada tingkat mikro diandaikan keterampilan politik, integritas, kecerdasan, dan produktivitas kerja adalah hasil sampingan dari sejumlah uang yang dipertaruhkan.
Hal ini merupakan ilusi besar yang cepat atau lambat membawa malapetaka, sekurang-kurangnya karena dua sebab. Pertama, kalau kita harus membayar segala barang dan jasa yang ada dalam masyarakat, kita tidak akan pernah punya cukup uang untuk itu. Kalau saya harus membayar retribusi tiap kali menyetir masuk suatu kompleks perumahan, kalau saya harus membayar tiap orang yang saya tanyai informasi mengenai suatu alamat, kalau saya harus membayar tiap orang yang ingin saya temui, beban keuangan itu menjadi tak terpikulkan. Ekonomi rupanya hanya dapat ditegakkan kalau ada beberapa hal yang harus dibebaskan dari venalisme. Kedua, seandainya pun saya mempunyai cukup uang, tidak segala sesuatu dapat saya peroleh dengan membelinya. Kepercayaan seorang sahabat, kepandaian dalam satu bidang studi, integritas pribadi, pengertian tentang keindahan, atau kesalehan keagamaan tak dapat dibeli, seperti juga kebahagiaan dalam keluarga atau kesenangan bekerja. Pada tingkat politik, legitimasi politik, seperti juga sikap demokratis, tidak dapat dibeli dengan uang.
Pada titik itulah kecenderungan satu dimensi ini patut dibuka kembali untuk pandangan dua dimensi: antara kebanggaan akan hasil pembangunan yang tercapai dan keraguan untuk meneruskannya dengan cara yang sama, antara kepercayaan pada demokrasi dan keraguan tentang pemahaman dan penghayatan demokrasi yang benar, antara kebimbangan terhadap masa sekarang dan harapan terhadap masa depan. Tanpa ketegangan dialektis ini kita akan hanyut ke dalam pandangan dan tingkah laku satu dimensi, yang terjemahannya secara politik adalah sikap totaliter dan terjemahannya secara sosial adalah happy consciousness yang bisa menjadi opium.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo