Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Calo Membuat Tommy Bebas?

Dua hakim agung digarap calo terkenal di MA sebelum memvonis Tommy. Untuk menghindari hujatan, Hakim Agung Taufiq lantas berangkat umroh haji.

14 Oktober 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

VONIS peninjauan kembali yang membebaskan Tommy Soeharto ternyata terus diterpa reaksi negatif. Bahkan 15 orang anggota Komisi II DPR, Rabu pekan lalu, mendesak Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan agar membentuk tim eksaminasi. Tim ini kelak akan memeriksa kebenaran proses dan putusan peninjauan kembali (PK) itu, juga "kebersihan" majelis hakim agungnya dari suap. Kalau tudingan miring itu terbukti benar, ketiga hakim agung yang memutuskan PK, yakni Taufiq, German Hoediarto, dan Soeharto, bisa diberhentikan dengan alasan tidak cakap dalam melaksanakan tugas. Menanggapi tuntutan itu, Bagir Manan hanya menyatakan akan segera membentuk tim eksaminasi dimaksud. Sehari sebelumnya, sekitar 500 mahasiswa berdemonstrasi di depan Gedung MA. Mereka mencerca vonis bebas untuk putra bungsu mantan presiden Soeharto itu. Menurut para pengunjuk rasa, vonis tersebut menunjukkan bahwa MA tak mampu menegakkan hukum dan demokrasi. Mengakhiri aksinya, para mahasiswa menjatuhkan empat kantong plastik berisi air seni. Tak bisa dimungkiri, vonis PK yang membebaskan Tommy, tatkala bos kelompok bisnis Humpuss ini buron dan tak peduli pada hukum, amat meresahkan masyarakat. Terlebih lagi, gerakan reformasi acap menuntut agar korupsi diberantas habis di negeri ini dan pelaku korupsi semasa Orde Baru segera dihukum. Memang, tak dapat pula disangkal, proses perkara Tommy dalam kasus korupsi ruilslag (tukar-menukar tanah) antara Bulog dan PT Goro Batara Sakti cukup menggambarkan betapa masih buruknya penegakan hukum antikorupsi. Tilik saja beberapa contoh fenomena ini. Kedua terdakwa kasus korupsi itu, Tommy dan Ricardo Gelael, masing-masing sebagai mantan Komisaris Utama dan Direktur Utama Goro, tak ditahan oleh jaksa. Aset mereka pun tak ada yang disita. Sudah begitu, jaksa cuma menuntut kedua terdakwa dalam kasus yang mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp 76,7 miliar itu masing-masing dengan hukuman 18 bulan penjara. Dan pada 14 Oktober 2000, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memvonis bebas kedua terdakwa. Menurut majelis hakim yang diketuai Sunarto, perkara itu perdata, bukan korupsi. Majelis hakim malah menganggap Bulog diuntungkan pada proses ruilslag tersebut. Belakangan, pada 22 September 2000, majelis kasasi di MA yang diketuai Syafiuddin Kartasasmita meralat vonis bebas tersebut. Menurut majelis kasasi, proses ruilslag itu mengandung rangkaian perbuatan melawan hukum alias korupsi. Berdasarkan itu, Tommy dan Ricardo masing-masing dihukum 18 bulan penjara. Setelah vonis itu, Syafiuddin tewas ditembak oleh—menurut polisi—orang suruhan Tommy. Tak dinyana, pada 1 Oktober 2001, vonis kasasi dirombak total oleh majelis PK. Majelis yang diketuai Taufiq membebaskan Tommy. Alasannya, majelis kasasi keliru menganggap vonis bebas Tommy di pengadilan tingkat pertama sebagai vonis bebas tidak murni, sehingga bisa dikasasi. Padahal, "Vonis itu bebas murni, yang berarti tak bisa dikasasi," ujar Hakim Agung German Hoediarto. Selain itu, sebagaimana pernah dikatakan Hakim Agung Taufiq, majelis PK juga mengakui ada novum (bukti baru), yakni Tommy bukan lagi Komisaris Goro ketika kasus korupsi terjadi. Kalaupun Tommy masih komisaris, berdasarkan Undang-Undang Perseroan Terbatas Tahun 1995, ia tak bisa dituntut ikut bertanggung jawab atas perbuatan Ricardo selaku direktur utama. Tentu saja dalil majelis PK berdasarkan Undang-Undang Perseroan Terbatas, yang mulai berlaku sejak 7 Maret 1996, itu terkesan janggal. Seharusnya, jangankan komisaris, pemegang saham pun bisa dituntut turut bertanggung jawab atas tindak pidana yang dilakukan direksi. Apalagi untuk kasus ruilslag Bulog-Goro, yang menyangkut transaksi besar. Pada 10 Juli 2001, majelis kasasi yang diketuai Syafiuddin juga pernah membenarkan dalil tentang tanggung jawab komisaris per-usahaan. Majelis kasasi mengukuhkan vonis banding Mohammad "Bob" Hasan, yang dihukum enam tahun penjara dalam kasus korupsi pemetaan hutan melalui pemotretan udara. Ketika kasus korupsi terjadi, Bob Hasan menjadi komisaris utama sekaligus pemilik PT Mapindo Parama. Kini, si Raja Hutan yang kroni dekat Soeharto itu mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Nusakambangan. Bagi Jaksa Agung M.A. Rachman, banyak hal bengkok dalam vonis PK bebas Tommy. Soal Tommy bukan Komisaris Goro lagi, menurut Rachman, bukan novum. Sebab, hal itu sudah dibahas baik di pengadilan pertama ataupun kasasi. Lagi pula, "Tidak benar bila Tommy dianggap tak komisaris lagi. Ia yang menjadi penjamin pinjaman Goro ke Bank Bukopin," kata Rachman kepada Andari Karina Anom dari TEMPO. Pinjaman sewaktu kasus itu terjadi tak lain dimaksudkan untuk membeli tanah ruilslag yang dijanjikan Goro. Tapi, pengacara Tommy, Elza Syarief, membenarkan bahwa soal Tommy tak lagi menjadi Komisaris Goro tergolong novum. Dulu, di persidangan, kata Elza, fakta tersebut hanya berdasarkan keterangan 35 orang saksi. Belakangan, tim pengacara memperoleh akta rapat umum pemegang saham Goro tanggal 9 September 1996 dari notaris Sucipto tentang pergantian komisaris utama dari Tommy ke Isa Danubrata. Akta itulah, tutur Elza kepada wartawan TEMPO Darmawan Sepriyossa, yang diajukan sebagai novum dalam PK. Sementara itu, German Hoediarto menandaskan bahwa pertimbangan paling pokok dalam vonis PK Tommy adalah soal kekhilafan hakim kasasi tentang vonis bebas Tommy di pengadilan pertama. "Soal novum itu tidak dipertimbangkan, kok," ucapnya. Lo, bagaimana German bisa berbeda dengan Taufiq? Sayangnya, Taufiq tak bisa dikonfirmasi lantaran ia dan istrinya keburu melaksanakan ibadah umrah haji sejak Kamis pekan lalu. Yang jelas, German meyakinkan bahwa vonis PK Tommy tidaklah diburu-buru dan jadi prioritas utama MA. "Majelis PK mengerjakan perkara itu secara rutin. Normal-normal saja, kok," katanya. Ia juga meluruskan anggapan yang menghubungkan vonis PK dengan buronnya Tommy. "Buron itu kan urusan Tommy. Mungkin ia takut karena ada masalah lain yang bakal dikenakan padanya. Itu sama sekali tak terkait dengan perkara PK ini," ia menambahkan. German tak lupa menegaskan bahwa vonis PK Tommy benar-benar berdasarkan hukum, tanpa pengaruh dari siapa pun. Toh, ada isu bahwa vonis itu diketuk setelah German beberapa kali dihubungi seorang calo perkara terkenal di MA. Calo ini, Yopie Darmono, 45 tahun, kabarnya membawa "order" agar vonis PK Tommy dipercepat dan memenangkan Tommy. Di kalangan MA, santer diberitakan bahwa Yopie dikenal amat dekat dengan almarhum Syafiuddin. Ia juga teman German bila bermain tenis. Sejak masa Ketua MA Sarwata, pria bertubuh tinggi dan berpenampilan parlente itu sudah "berbisnis perkara" di MA. Orang-orang di MA sudah hafal dengan mobil Yopie, yang biasa diparkir di MA. Yopie punya mitra khusus, yakni empat pejabat non-hakim agung di MA. Kabarnya pula, mobil sedan Honda CRV tiga pejabat itu serta Syafiuddin diperoleh dari Yopie. Sebagaimana dulu diberitakan, Syafiuddin diberondong tembakan oleh dua pelaku ketika sedang mengendari sedan Honda CRV warna silver, pada 26 Juli 2001. Belum jelas dari siapa Yopie menerima "order" vonis PK Tommy. Namun, setelah dihubungi Yopie, German berkompromi dengan Taufiq. Itu sebabnya, ketika tiga hakim agung PK melakukan voting, suara German senada dengan Taufiq: membebaskan Tommy. Sementara itu, Soeharto berpendapat agar permohonan PK Tommy ditolak. Tentu suara Soeharto kalah melawan suara Taufiq dan German. Menanggapi kabar itu, German langsung menepisnya. "Lillahi ta'ala, sama sekali ndak ada hal yang begituan. Saya tetap berprinsip tidak pernah mau dipengaruhi siapa pun dalam membuat putusan. Orang lain boleh omong apa saja. Toh, mereka cuma menduga-duga," kata German. Ia mengaku mengenal Yopie, tapi tak begitu dekat. "Kalau Yopie dikatakan banyak berbisnis perkara di MA, itu urusan dia. Saya sih enggak ikut-ikut," German menandaskan. Bantahan keras juga dilontarkan Yopie, yang berkulit putih dan berkacamata. Ia mengaku tak tahu-menahu proses perkara PK Tommy, apalagi mengurusnya ke majelis PK. "Sumpah. Kalau saya melakukan itu, biarlah saya enggak dapat rezeki seumur hidup," ujar Yopie, yang juga mengaku sebagai pengusaha perkebunan mangga di Probolinggo, Jawa Timur. Menurut Yopie, ia kenal dekat dengan Syafiuddin sejak 1993. Ketika itu, perkara Yopie, yang dituduh menggelapkan barang niaga berupa cat, sedang ditangani MA. Ia akhirnya divonis bebas oleh MA. Sejak itu, Yopie, yang juga punya bisnis rumah kos di Kelapagading, Jakarta Utara, menganggap Syafiuddin seperti ayah angkat. Memang, Yopie mengaku pernah beberapa kali menyodorkan perkara banyak kenalannya ke Syafiuddin. Tapi, "Beliau menolak mengurusnya. Almarhum memang orang yang lurus dan bersih," tutur Yopie. Ia juga pernah menyodorkan perkara ke German, yang dikenalnya sejak tahun 1980-an. Lagi-lagi German juga tak mau memprosesnya. Sejak itu pula, kata Yopie, ia tak pernah mengurus perkara dengan Syafiuddin ataupun German. Yopie juga membantah sinyalemen yang mengabarkan bahwa sedan Honda CRV di tangan Syafiuddin dan tiga pejabat MA itu merupakan "kado" mengurus perkara darinya. "Wong kredit mobil Audi saya saja belum lunas, kok malah membelikan mobil orang lain," tutur ayah tiga anak yang juga men-jalankan bisnis jual-beli mobil itu. Happy S., Rommy Fibri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus