Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Mimpi Ganjil Pahlawan Digital

Film aksi baru yang sepenuhnya menggunakan teknologi digital. Memanjakan mata, tapi kurang menyentuh emosi.

14 Oktober 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Final Fantasy: The Spirit Within Sutradara : Hinorobu Sakaguchi Penulis skenario : Hironobu Sakaguchi, Al Reinert, Jeff Vintar Pengisi suara : Ming-Na Wen, Alec Baldwin, James Woods, Donald Sutherland Produksi : Columbia Pictures dan Square, 2001 PEMANDANGAN ganjil itu selalu hadir dalam mimpi Dr. Aki Ross. Planet merah menyala yang diisi makhluk menyeramkan yang saling membantai. Ia terbangun tanpa bisa merangkai kepingan-kepingan adegan itu. Tak penting. Tengok adegan berikutnya. Di pesawat ruang angkasa, Aki (pengisi suara: Ming-Na Wen) melayang dalam keadaan tanpa bobot. Luar biasa. Tanpa henti, gambar-gambar surealis yang tak kalah memukau selanjutnya mengisi layar: reruntuhan Kota New York, monster transparan, sampai arwah yang terenggut dari tubuh. Final Fantasy: The Spirit Within memang sangat menyajikan sebuah pameran visual yang akbar. Alkisah, Bumi pada tahun 2065 adalah tempat yang menyesakkan bagi umat manusia. Makhluk-makhluk asing ganas yang datang bersama sebuah meteor yang jatuh 34 tahun sebelumnya telah menguasai tiap jengkal daratan. Manusia terpaksa hidup di kota dengan cahaya pelindung. Bersama Dr. Sid (Donald Sutherland), Aki berupaya mencari jalan untuk mencari ketenteraman bagi manusia. Mereka percaya, penyatuan roh terpilih akan menciptakan gelombang yang bisa mengalahkan monster. Namun, usul ini dinilai terlalu lambat oleh Jenderal Hein (James Woods). Perwira yang kehilangan keluarganya karena serangan monster ini ingin menjatuhkan bom nuklir ke sarang alien dengan segera. Berteman Kapten Edwards (Alec Baldwin), Aki bersikeras dengan teorinya mempertaruhkan nyawanya dengan datang ke tempat bom dijatuhkan. Di tempat ini, akhirnya Aki menyadari bahwa mimpi-mimpinya adalah jawaban persoalan besar yang menimpa bumi. Film yang dibuat dengan teknologi animasi komputer hyper-real ini adalah film revolusioner. Untuk pertama kali, tak ada aktor yang digunakan—kecuali suaranya—dalam sebuah film laga. Berbeda dengan film animasi Shrek, misalnya, tokoh-tokoh dalam Final berwujud manusia dalam proporsi yang sebenarnya. Rambut, pori-pori kulit, dan semua detail kecil lain muncul me-yakinkan. Tokoh utama, Aki, bahkan begitu menawan sehingga penonton bisa lupa bahwa ia cuma sosok animasi. Karena penggambaran Aki begitu nyata, ia bisa disebut menang beberapa langkah dari wanita seksi dari dunia animasi lainnya seperti Jessica Rabbit atau Lara Croft. Ming-Na, yang sebelumnya pernah mengisi suara tokoh Mulan dalam film berjudul sama, punya sumbangan besar dalam menghidupkan tokoh utama ini. Petualangan Aki diangkat dari permainan video laris yang dirilis Square, perusahaan yang juga ikut memodali pembuatan film bersama Columbia. Penciptanya adalah Hinorobu Sakaguchi, yang bertindak selaku sutradara sekaligus penulis cerita Final Fantasy. Sejak diperkenalkan pada tahun 1987, permainan videogame ini sudah terjual 33 juta unit di seluruh dunia. Angka ini tak lain adalah penegasan betapa permainan ini memang bagus dan digemari. Sayangnya, kesuksesan di permainan video ini tak menular dalam film Final. Dibuat dengan biaya US$ 137 juta atau sekitar Rp 1,37 triliun, lebih besar ketimbang biaya film Pearl Harbour, film ini hanya sanggup menghasilkan US$ 30 juta (Rp 300 miliar) saat diedarkan di Amerika Utara. Di negara lain, termasuk Jepang yang jadi negara kelahirannya, film ini juga jeblok. Tak mengherankan bila Square menyatakan kapok di dunia film dan berniat kembali menekuni bisnis utamanya. Skenario yang lemah jadi sebab utama kegagalan Final. Sebuah film tak bisa bersandar sepenuhnya pada kekuatan visual. Jalinan cerita begitu mudah ditebak. Tema kekuatan roh atau jiwa yang diangkat dalam film ini tampil menggelikan. Boleh jadi, tema yang sangat kental nuansa budaya Timur ini yang membuat penonton di Amerika tak tergerak. Selain itu, mengingat film ini dimainkan oleh aktor digital, tak ada kejutan dalam akting pemainnya. Padahal, improvisasi atau bahkan kesalahan akting yang tak disengaja bisa membuat satu film lebih punya gereget. Yusi Avianto Pareanom

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus