Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej mengungkap cerita di balik adanya pasal kohabitasi dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP baru yang disahkan pada Desember 2022. Menurut pria yang akrab disapa Edy Hiariej itu, pasal tentang perzinaan itu adalah yang paling akhir diputuskan oleh pemerintah dan DPR.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kami harus melakukan lobi kurang lebih tiga jam, karena fraksi-fraksi Islam jelas menolak kalau pasal itu tidak ada," kata dia saat acara Kumham Goes to Campus di Universitas Negeri Mataram, Nusa Tenggara Barat, Kamis, 13 Juli 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut dia, saat itu pesannya jelas secara eksplisit disampaikan, kalau pasal tentang kohabitasi dan perzinaan ditiadakan maka dilakukan pending dulu.
Jadi, kata dia, fraksi Islam jelas menolak, sehingga pertanyaan itu timbul dari fraksi-fraksi Islam terhadap fraksi-fraksi yang meminta pasal tentang kohabitasi itu dihapus, yaitu PDI-P, kemudian NasDem, dan Golkar.
"Saya waktu itu sebagai penengah lobi setengah kamar memahami apa yang menjadi keberatan PDIP, NasDem dan Golkar. Karena pasal ini kalau dimasukkan, ada kekhawatiran dari fraksi- fraksi tersebut terjadi apa yang disebut main hakim sendiri," kata Edy Hiariej.
Ia pun menjelaskan setelah terbitnya pasal kohabitasi dan perzinaan itu dalam KUHP baru, banyak pemberitaan dari berbagai negara yang mempertanyakan soal pasal tersebut. Terutama, kata dia dari Duta Besar PBB yang ada di Indonesia, juga dari Dubes Amerika, dan Pemerintah Australia.
Menurut Edy, Presiden Joko Widodo atau Jokowi saat itu melakukan rapat terbatas dengan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi.
"Saya diminta untuk menjelaskan kepada semua dubes negara asing yang ada di Jakarta," kata Edy Hiariej.
Kemudian pada 23 Desember 2022, Edy mengatakan pemerintah memanggil para duta besar tersebut untuk menerima penjelasan soal KUHP baru.
"Dalam pidato kunci, saya sudah katakan bahwa buku 2 KUHP itu adalah universalisme hukum pidana," kata dia.
Tetapi pada kesempatan ini kata Edy Hiariej , dirinya hendak mengatakan bahwa universalisme berlaku di seluruh dunia, kecuali dalam tiga kejahatan.
Kejahatan pertama adalah kejahatan politik, antara satu negara dengan negara lain berbeda. "Bapak, ibu buka KUHP yang lama maupun yang baru, tidak ada satu bab pun yang bertuliskan kejahatan politik. Tetapi di Prancis ada bab itu," katanya di hadapan ratusan mahasiswa, Aparat Penegak Hukum dan Forum Komunikasi Pimpinan Daerah Provinsi NTB.
Kedua, Edy Hiariej mengatakan antara satu dengan negara lain itu berbeda dalam pasal soal penghinaan. "Jadi kalau bicara mengenai penghinaan presiden dan wapres, penghinaan terhadap pemerintah, janganlah membanding-bandingkan dengan Amerika, dengan Jerman, karena itu pasti berbeda antara satu negara dengan negara lain," ujar dia. Sebab, kata Edy, Indonesia memiliki latar belakang sosial budaya yang berbeda dengan negara lain.
Isu ketiga Edy Hiariej menjelaskan yang satu negara dengan negara lain berbeda pengaturannya adalah tentang kejahatan kesusilaan. "Bapak ibu buka KUHP Cina, tidak ada satu pun bab, pasal yang memuat tentang kejahatan kesusilaan," kata dia.
Edy Hiariej mengatakan, bahwa itulah bekal jawaban yang ia berikan pada para dubes di Jakarta pada saat itu. "Karena mereka protes soal kohabitasi dan perzinaan. Saya bilang ini tidak bisa dibandingkan dengan negara Anda," katanya.
Edy menyampakan bahwa pada kesempatan itu dia pun mempertanyakan kenapa PBB, Amerika memprotes Indonesia soal isu tersebut, sementara tidak berani memprotes Rusia yang melarang LGBT dalam KUHP nasionalnya.
"Mengapa Anda tidak mengkritik negara-negara Skandinavia, mulai dari paling utara itu Norwegia, Swedia, Denmark, dan Finlandia yang melegalkan aborsi? Kenapa Anda harus mengkritik Indonesia," ujar Edy menceritakan soal jawabannya kala itu.
Pilihan Editor: Soal Pasal Zina di KUHP Baru, Pemerintah: Delik Aduan Absolut