Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Timur (Polda NTT) telah melimpahkan berkas perkara kasus kekerasan seksual dan pencabulan terhadap anak di bawah umur dengan tersangka eks Kapolres Ngada AKBP Fajar Widyadharma kepada Kejaksaan. Hal ini diungkapkan Kapolda NTT Irjen Daniel Tahi Monang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Berkas perkara untuk kasus kekerasan seksual dan pencabulan anak sudah tahap satu. Prosesnya terus berjalan saat ini,” ucap Daniel Tahi Monang dikutip dari keterangan tertulis, Ahad, 23 Maret 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Daniel mengatakan penyidik telah memeriksa 19 orang saksi selama penyidikan. Dia juga memastikan proses penanganan perkara ini berjalan secara transparan. “Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban ikut mengawal, dari Komnas HAM juga ada, termasuk pengawasan dari koalisi masyarakat. Jadi semuanya terbuka,” katanya.
Kasus pencabulan anak yang dilakukan oleh eks Kapolres Ngada itu menggegerkan publik. Ini karena kasus tersebut terbongkar setelah pihak kepolisian Australia melakukan operasi di situs pornografi dan menemukan video yang diduga direkam di Indonesia.
Kendati demikian, kasus eks Kapolres Ngada ini bukan kali pertama terjadi. Sebelumnya, sejumlah polisi juga terseret dalam kasus pencabulan anak di bawah umur. Simak rangkuman informasi selengkapnya berikut ini.
Kasus Pencabulan Anak Bripda Alfian
Pada 2022, Brigadir Polisi Dua (Bripda) Alfian Fauzan Hartanto alias AFH terjerat kasus pencabulan anak di Kabupaten Keerom, Papua. Persidangannya berjalan panjang dan vonis hukuman untuk Bripda Alfian baru dibacakan Pengadilan Negeri Jayapura pada Kamis, 23 Januari 2025 lalu.
Pada persidangan yang dipimpin oleh Zaka Talpatty, dengan anggota Korneles Waroi dan Ronald Lauterboom, Majelis Hakim PN Jayapura justru memberikan vonis bebas atas dakwaan kasus pencabulan anak yang dilakukan oleh Bripda Alfian. Putusan itu jauh dari tuntutan jaksa penuntut umum. Jaksa menuntut Bripda Alfian dipidana 12 tahun, serta membayar denda Rp 200 juta subsider kurungan enam bulan.
Atas vonis tersebut, hakim PN Jayapura pun dilaporkan ke Komisi Yudisial (KY). "Iya betul, sudah dilaporkan ke kami di KY Perwakilan Papua," kata Koordinator Penghubung Komisi Yudisial Papua Methodius Kossay saat dikonfirmasi Tempo pada Ahad, 23 Maret 2025.
Methodius menuturkan, laporan itu disampaikan oleh penasihat hukum korban pada Selasa lalu, 18 Maret 2025 di kantor KY Papua. Pihaknya telah menerima laporan tersebut. "Laporan yang kami terima tentunya akan ditelaah dan dianalisis lebih mendalam perihal dugaan pelanggaran kode etik oleh Hakim Pengadilan Negeri Jayapura, Papua," ujar Methodius.
Kasus Pencabulan Bripda BJL di Tanimbar
Seorang anggota polisi berpangkat Brigadir Polisi Dua di Kabupaten Kepulauan Tanimbar, Maluku, ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan pencabulan anak di bawah umur pada 2023 lalu. Melansir dari Antara, pelaku berinisial BJL dilaporkan oleh orang tua korban karena diduga mengajak korban S yang masih duduk di bangku kelas dua SMP untuk datang ke kamarnya pada saat jam sekolah.
Anggota polisi itu kemudian menyediakan minuman keras (miras) jenis sopi untuk diminum bersama dengan korban dan pacar korban, SE, membiarkan korban disetubuhi oleh pacarnya hingga turut melakukan pencabulan dan upaya pemerkosaan dengan tipu dan rayu.
Anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Poengky Indarti mengecam tindakan Bripda BJL, serta merekomendasikan agar oknum anggota Polri tersebut dijerat pasal berlapis. “Kompolnas merekomendasikan kepada Kapolda Maluku agar Bripda BJL diproses pidana dan dijerat pasal-pasal berlapis sehingga nantinya yang bersangkutan dapat dijatuhi hukuman berat,” kata Poengky dikonfirmasi di Jakarta, Kamis, 6 Juli 2023.
Tidak hanya itu, kata Poengky, ia juga merekomendasikan agar Bripda BJL diproses kode etik dan dijatuhi hukuman pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH). Menurut dia kasus kekerasan seksual terhadap anak tersebut tidak boleh diupayakan damai atau restorative justice. “Kasus tersebut adalah kasus yang serius, sehingga harus diproses pidana hingga tuntas,” ujar Poengky.
Kasus Pencabulan Anak oleh Eks Kapolres Ngada
Eks Kapolres Ngada AKBP Fajar Widyadharma ditetapkan Mabes Polri sebagai tersangka kasus pencabulan anak di bawah umur dan penyalahgunaan narkotika. Melansir dari laporan Tempo berjudul “Awal Mula Kejahatan Seksual Kapolres Ngada Terungkap,” berdasarkan hasil penyelidikan Polda NTT, total ada tiga anak perempuan yang menjadi korban pencabulan Fajar.
Mereka adalah korban pertama yang kini berusia enam tahun, korban kedua berusia 13 tahun, dan korban ketiga berusia 16 tahun. Pada awalnya, polisi menyebut SHDR alias F sebagai korban AKBP Fajar. Namun setelah penyelidikan, ternyata F yang mempertemukan Fajar dengan korban yang saat itu berusia lima tahun.
Akibat perbuatannya, Fajar mendapatkan sanksi pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) dalam sidang etik yang digelar pada Senin, 17 Maret 2925. Menurut Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal Trunoyudo Wisnu Andiko, Fajar terbukti bersalah berdasarkan hasil sidang etik yang digelar Komisi Kode Etik Polri (KKEP).
"Laporan hasil pelaksanaan sidang KKEP atas nama FWLS, diputuskan pemberhentian tidak dengan hormat dari anggota Polri," kata Trunoyudo kepada awak media di Gedung TNCC Mabes Polri, Senin, 17 Maret 2025.
Selain itu, berkas perkara kasus kekerasan seksualnya juga telah dilimpahkan ke Kejaksaan. Kapolda NTT Irjen Daniel Tahi Monang pun menyatakan proses penanganan perkara ini berjalan secara transparan.
Selain mengawal proses hukum terhadap tersangka, dia juga mengingatkan agar publik turut mengawasi proses penanganan korban. “Korban juga perlu mendapatkan perhatian serius dari semua pihak,” katanya.
Nandito Putra, Amelia Rahima Sari, Antara berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan Editor: Teror Kepala Babi dan Tikus yang Terpenggal