Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Tim Advokasi Penegakan Hak Asasi Manusia (TAP-HAM) menyoroti putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Stabat yang membebaskan eks Bupati Langkat Terbit Rencana Perangin Angin alias Cana dalam kasus kerangkeng manusia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Pertama, kami menilai adanya kejanggalan saat persidangan," kata Koordinator Komisi Untuk orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Dimas Bagus Arya Saputra dalam keterangan resmi pada Jumat, 12 Juli 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebagai informasi, KontraS adalah salah satu anggota TAP-HAM. Selain itu, ada pula KontraS Sumatera Utara dan Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI).
Dimas mengungkap daftar kejanggalan itu:
Pertama, penundaan sidang sebanyak 13 kali. Di antaranya ada penundaan pembacaan tuntutan yang sebanyak lima kali.
"Bahkan terdapat justifikasi untuk melakukan penundaan pembacaan surat tuntutan, dengan alasan tuntutan belum siap sehingga tidak dapat dibacakan," tutur Dimas.
TAP-HAM menilai, perilaku jaksa penuntut umum (JPU) yang terus menunda-nunda persidangan jelas mencerminkan sikap tidak profesional. Selain itu, dia menyebut Cana sempat dua kali mangkir saat tuntutan akan dibacakan.
Menurut TAP-HAM, ini bertentangan dengan Pasal 50 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHAP). Beleid itu mengamanatkan agar seorang tersangka atau terdakwa dapat menjalani proses hukum dengan segera tanpa penundaan yang tak beralasan (undue delay).
"Dengan adanya undue delay, pengadilan seakan-akan tidak menganggap serius kasus TPPO," ujar Dimas.
Kedua, TAP-HAM juga menyayangkan putusan hakim yang mengabaikan kondisi korban. Ini terlihat dari tidak dikabulkannya restitusi oleh hakim.
"Kondisi tersebut menambah catatan buruk terkait dengan penegakan hukum TPPO dan juga upaya pemulihan korban oleh negara," kata Ketua PBHI Julius Ibrani.
Ketiga, TAP-HAM mencatat proses persidangan berjalan dengan sangat panjang. Dalam sistem informasi penelusuran perkara atau SIPP Pengadilan Negeri Stabat, disebutkan total persidangan 321 hari.
Padahal, berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2014 tentang Penyelesaian Perkara di Pengadilan Tingkat Pertama dan Tingkat Banding pada Empat Lingkungan Peradilan, penyelesaian perkara pada pengadilan tingkat pertama paling lambat dalam waktu lima bulan.
"Sehingga tidak sesuai dengan asas yaitu contante justitie atau peradilan seharusnya berlangsung cepat, sederhana, dan dengan biaya ringan karena tidak kunjung memberikan kepastian hukum bagi korban," ucap Julius.
Keempat, TAP-HAM menyoroti putusan lain yang berhubungan dengan kasus ini, yakni perkara nomor 467/Pid.B/2022/PN Stb yang melibatkan anak Cana, Dewa Perangin Angin, dan Hendra Subakti. Dalam putusannya, hakim menyatakan keduanya terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan orang lain mati.
Padahal, kata Julius, tindakan yang dilakukan keduanya berada di kerangkeng manusia yang berada di halaman Cana. Apabila melihat dari lokasi kejadiannya, menurut dia, tidak mungkin politikus Partai Golkar ini tidak mengetahui adanya tindakan penganiayaan tersebut.
"Kami menilai bahwa sangatlah ganjil apabila aktor intelektual dari perkara TPPO ini justru diputus bebas," ucap Julius.
Oleh sebab itu, TAP-HAM mendesak agar:
1. Tim Jaksa Penuntut Umum dalam mengajukan upaya hukum kasasi Mahkamah Agung dengan tetap memasukkan substansi mengenai permohonan restitusi korban sebagai salah satu memori pokok dalam memori kasasi;
2. Komnas HAM untuk dapat memberikan pendapat di dalam proses peradilan, karena dalam perkara tersebut terdapat pelanggaran HAM yakni Tindak Pidana Perdagangan Orang yang merupakan bagian dari pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana mandat UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM;
3. Komisi Kejaksaan memanggil dan meminta keterangan kepada Jaksa yang melakukan undue delay serta melakukan pemeriksaan sehubungan dengan perilaku dan/atau dugaan pelanggaran peraturan kejaksaan;
4. Komisi Yudisial dan Badan Pengawas Mahkamah Agung melakukan pemeriksaan kepada Majelis Hakim pemeriksa perkara, serta menyelidiki adanya dugaan pelanggaran etik dalam kasus kerangkeng manusia ini.