Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Doktor Kucing

4 Juli 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Eko Budihardjo
  • Rektor Universitas Diponegoro, Semarang

    Fenomena "doktor kucing" telah merebak hampir di segenap pelosok dunia. Majalah Reader's Digest edisi Amerika Serikat, Mei 2005, mengangkatnya sebagai berita utama. Dikisahkan tentang tawaran gelar Doktor (HC) PhD MSc MBA dan semacamnya bagi siapa saja yang berminat hanya dengan mengisi formulir dan membayar ongkos administrasi beberapa ratus dolar.

    Seorang yang sekadar iseng mengisi formulir dengan nama kucing piaraannya dan mengirimnya beserta selembar cek 200 dolar. Ternyata berhasil, ijazah doktor buat si kucing diperolehnya dalam waktu singkat. Dari kisah inilah muncul istilah "doktor kucing".

    Di Indonesia, kejadian serupa telah cukup lama berlangsung. Pejabat tinggi pemerintah, pengusaha besar, direktur konsultan, tokoh masyarakat, wakil rakyat, jenderal, ketua yayasan, pimpinan pondok pesantren, rektor perguruan tinggi, hampir semuanya dapat tawaran untuk memperoleh gelar. Jenis gelarnya boleh memilih sendiri, mulai dari BSc, BBA, MA, MPA, MPL, MHA, MBA, MSc, DBA, PhD, Dr (HC) bahkan sampai profesor. Saya sendiri tidak paham gelar seperti MBL dan MHA itu dalam bidang keilmuan apa.

    Yang jelas, gelar-gelar dari lembaga yang menamakan dirinya sebagai Global University, World University, atau International University itu diterima dengan gegap gempita oleh berbagai kalangan yang membutuhkan pengakuan sebagai akademisi, pemikir, ilmuwan, pakar atau cendekiawan.

    Kita bisa menengarai, tokoh-tokoh pemimpin di puncak pemerintahan, ulama tersohor, dai kondang, penyanyi terkenal, pengusaha sukses, bupati atau wakil bupati yang memperoleh gelar profesor, doktor, master atau bachelor itu sama sekali tidak merasa bersalah. Bahkan tampak sekali mereka amat bangga dengan gelar barunya. Apalagi yang mewisuda mereka adalah, antara lain, dua orang doktor dari mancanegara, yang memberi sambutan dalam bahasa Inggris dengan amat meyakinkan.

    Acara penganugerahan gelar yang disebut dengan International Graduation pun memang mirip sekali dengan acara wisuda resmi yang berlangsung di perguruan tinggi resmi. Ada sambutan oleh senat guru besar, orasi ilmiah oleh salah seorang penerima gelar, pembacaan surat keputusan, prosesi pelantikan, dan diakhiri dengan doa. Para penerima aneka gelar itu sungguh bangga. Katanya, mereka dinilai tidak secara akademik, tapi berdasarkan karier dan profesi mereka selama ini. Mereka tidak merasa rugi membayar belasan atau puluhan juta untuk biaya penyelenggaraan yang dinyatakan oleh panitia sebagai "acara resepsi seremonial akbar". Harap dicermati, yang saya tulis di antara tanda kutip itu persis seperti apa yang tercantum dalam surat panitia yang saya dapat.

    Selain menerima ijazah lengkap dengan transkrip akademik yang mewah, setiap penerima gelar memperoleh satu buklet alumni "Inauguration: Professor, Doctor, Master, Bachelor" dan satu buku berjudul Jalan Pintas Meraih Gelar karangan seorang anggota senat guru besar yang mencantumkan gelar Prof, PhD, Minst, MSc di depan dan di belakang namanya.

    Dalam kata pengantar buku yang memperkenalkan gagasan "Non-Traditional Study" itu dijelaskan bahwa penggunaan kata "jalan pintas" mengandung konotasi yang positif dalam arti mencari alternatif dari yang bersifat tradisional atau turun-menurun atau adat, dengan bentuk, sifat, dan metode yang lain atau nontradisional dengan tujuan dan sasaran yang sama. Agar dapat memperoleh gelar dengan cara "nontradisional" terdapat petunjuk dengan mengisi daftar isian konsultasi untuk dikirim ke penulis buku itu.

    Saya ambil contoh dua butir isian. Pertama: "Gelar apa yang menjadi minat Anda? Pilih satu atau dua dari empat pilihan ini: Associate, Bachelor, Master, Doctor." Kedua, "Berapa lama (paling lama) Anda siap meluangkan waktu untuk memperoleh gelar? Atau berapa lama waktu yang anda inginkan sampai memperoleh gelar? 1-2 bulan, 2-6 bulan, 6-12 bulan, lebih dari 18 bulan." Gila betul.

    Kiranya sudah saatnya Menteri Pendidikan Nasional beserta Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi bertindak tegas. Jangan sampai fenomena doktor kucing terus merebak, karena menurut laporan sudah ada kurang lebih 15 ribu alumni di Indonesia yang memperoleh gelar melalui jalan pintas semacam ini. Bahkan ada beberapa penerima gelar dari negara jiran kita, Malaysia. Salah satunya di bulan Juni 2005, seorang CEO dari perusahaan perparkiran yang mengambil gelar PhD. Bayangkan bila sampai tersebar luas di Malaysia bahwa PhD di Indonesia bisa ditempuh hanya dalam waktu satu-dua bulan.

    Yang sudah telanjur, apa boleh buat, karena mereka (para penerima gelar) mungkin tidak tahu seluk-beluk proses pendidikan di perguruan tinggi. Tapi dengan adanya Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional, tidak ada lagi alasan untuk memberi toleransi atas penyimpangan dan pelanggaran yang telah terjadi selama ini. Kecuali kita ingin pemegang doktor asli yang dengan susah payah menempuh studi normal selama minimum tiga tahun disamakan dengan orang yang bergelar doktor kucing.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus