Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Karen Agustiawan divonis 9 tahun penjara dalam kasus korupsi pengadaan gas alam cair.
Direksi BUMN bukan peramal yang bisa memastikan adanya keuntungan dari sebuah kebijakan.
Vonis bersalah untuk Karen Agustiawan berpotensi memperlemah upaya direksi BUMN membuat terobosan.
EKS Direktur Utama PT Pertamina (Persero), Galaila Karen Kardinah alias Karen Agustiawan, divonis 9 tahun penjara dalam kasus korupsi pengadaan gas alam cair atau liquefied natural gas (LNG). Majelis hakim tindak pidana korupsi (tipikor) juga menghukum Karen membayar denda Rp 500 juta subsider 3 bulan kurungan. Karen dinilai bersalah dalam keputusannya bekerja sama dengan korporasi Amerika Serikat, Corpus Christi Liquefaction (CCL) LLC. Akibat keputusan itu, negara mengalami kerugian hingga US$ 113,8 juta atau sekitar Rp 1,77 triliun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Vonis majelis hakim ini lebih rendah dibanding tuntutan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi yang menuntut hukuman 11 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan. Majelis hakim tipikor juga tidak mengabulkan dakwaan jaksa yang menyebutkan Karen memperkaya diri senilai Rp 1,09 miliar dan US$ 104.016 atau setara dengan Rp 1,62 miliar.
Hakim berpendapat kerja sama antara Pertamina dan CCL menyimpang dari ketentuan. Perusahaan asal Amerika itu tidak seharusnya mendapat keuntungan. Adapun Karen, menurut hakim, tidak ikut menikmati hasil korupsi itu. Uang yang diterima Karen adalah pendapatannya yang sah. Karena itu, pengembalian kerugian negara hanya dibebankan kepada CCL dan anak perusahaannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam surat dakwaan, jaksa, antara lain, menyebutkan Karen telah memberikan persetujuan pengembangan bisnis gas beberapa kilang LNG potensial di Amerika tanpa pedoman pengadaan yang jelas. Karen juga disebut tidak meminta tanggapan tertulis kepada Dewan Komisaris Pertamina dan persetujuan rapat umum pemegang saham (RUPS) sebelum penandatanganan perjanjian dengan LNG CCL Train 1 dan Train 2.
Selain itu, Karen dinilai memutuskan sendiri memberikan kuasa kepada Senior Vice President Gas and Power Pertamina 2013-2014, Yenni Andayani; dan Direktur Gas Pertamina 2012-2014, Hari Karyuliarto. Padahal saat itu belum semua direktur Pertamina menandatangani risalah rapat direksi untuk sales and purchase agreement LNG CCL Train 1 dan tanpa didukung persetujuan direksi untuk sales and purchase agreement LNG SPA CCL Train 2.
Yenni Andayani. TEMPO/Tony Hartawan
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, mengatakan, dalam menjalankan aktivitas bisnis, direksi BUMN bisa saja terjerembap dalam praktik korupsi. Namun praktik-praktik itu tidak selalu kentara seperti dalam kasus-kasus korupsi pada umumnya.
Dalam kasus korupsi di korporasi, kata Zaenur, modus-modus yang lazim terjadi antara lain melakukan tindakan di luar peraturan perundang-undangan atau berbuat curang untuk menguntungkan pihak lain. Ada juga motif pribadi dengan menerima kick back berupa suap. "Kalau peraturannya diikuti, tidak punya motif pribadi, tidak berbuat curang, tapi masih terjadi kerugian, jawabannya bukan tindak pidana. Itu murni kerugian bisnis," ujarnya, Kamis, 27 Juni 2024.
Intinya, kata Zaenur, apabila dalam kasus Karen tidak ditemukan unsur perbuatan melawan hukum, keputusannya sebagai pemimpin korporasi tidak bisa dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi.
Dalam persidangan, Karen menyatakan keputusan bekerja sama dengan perusahaan Amerika itu tidak melanggar ketentuan dalam Pasal 23 Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor 1 Tahun 2011 dan Nomor 9 Tahun 2012 tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik pada BUMN seperti yang dituduhkan jaksa KPK. "Tuduhan jaksa tidak masuk akal karena saya dijadikan terdakwa bukan karena saya menerima penghasilan yang tidak sah," ucapnya saat membacakan tanggapan atas replik penuntut umum pada 20 Juni lalu.
Wakil presiden ke-10 dan ke-12 Indonesia, Jusuf Kalla, yang hadir dalam persidangan sebagai saksi, menegaskan bahwa kerugian negara yang muncul dalam kerja sama antara Pertamina dan CCL murni permasalahan bisnis. "Untung atau rugi itu biasa aja. Kalau semua harus untung, ya, bukan bisnis namanya," tuturnya dalam persidangan pada 16 Mei lalu.
Menurut Kalla, sebagai Dirut Pertamina, Karen hanya menjalankan tugas dari presiden untuk memenuhi pasokan cadangan energi di atas 30 persen. "Saya juga bingung kenapa dia jadi terdakwa, padahal hanya menjalankan tugas?" ujarnya.
Wakil Presiden RI ke 10, Jusuf Kalla, mengikuti sidang lanjutan pemeriksaan keterangan saksi dengan terdakwa mantan Direktur Utama PT. Pertamina (Persero) periode 2009-2014, Karen Agustiawan, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, 16 Mei 2024. TEMPO/Imam Sukamto
Pengadaan LNG yang dilakukan Karen, kata Kalla, didasarkan pada Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional Tahun 2010, yang ditujukan kepada PT Pertamina. Dalam aturan itu, Pertamina diinstruksikan memenuhi sasaran kebijakan energi nasional. Instruksi itu antara lain mewujudkan energi (primer) mix yang optimal pada 2025 dengan peran gas bumi menjadi lebih dari 30 persen terhadap konsumsi energi nasional. Instruksi tersebut juga sejalan dengan Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional. "Saya ikut membahas hal ini karena kebetulan masih di pemerintahan saat itu," ucapnya.
Bila semua perusahaan yang mengalami kerugian harus dihukum, Kalla mengimbuhkan, semua BUMN karya bakal kena. "Ini bahaya. Orang tidak akan mau bekerja di perusahaan negara, tidak ada lagi orang berani berinovasi," katanya.
Pakar hukum dari Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, mengatakan direksi BUMN tidak akan berani membuat terobosan apabila keputusan bisnisnya dibayang-bayangi kriminalisasi. "Mereka (direksi BUMN) akan membuat keputusan datar-datar saja, tak mau ambil risiko," ujarnya. "Direksi ini bukannya (menjadi) risk taker, melainkan risk averse. Dia menghindari risiko."
Tanpa terobosan, kata Hikmahanto, tak akan ada inovasi dan ekspansi yang dibutuhkan untuk mendapat dividen yang signifikan. Karena itu, aparat penegak hukum harus berhati-hati mendakwa eksekutif BUMN. Namun, jika memang ditemukan bukti-bukti adanya penyelewengan, tentu tidak bisa dibiarkan.
Hikmahanto sepakat kerugian yang dialami BUMN bagian dari risiko bisnis selama tidak ada aturan yang dilanggar. Direksi tentu membuat keputusan dengan berbagai pertimbangan, termasuk melibatkan profesional dan didasari simulasi. "Tapi direksi bukan peramal," katanya. "Bisa saja setelah dia ambil keputusan tiba-tiba terjadi perang atau ada serangan wabah penyakit."
Kuasa hukum Karen Agustiawan, Luhut Pangaribuan, mengatakan, dalam persidangan terungkap bahwa keputusan bisnis kliennya untuk bekerja sama dengan CCL memberi keuntungan sebesar US$ 90,94 juta. "Ya, salah satu barang bukti dan diterangkan saksi juga," ucapnya.
Vice President Corporate Communication Pertamina Fadjar Djoko Santoso tidak membantah dan tak membenarkan perihal keuntungan yang diperoleh Pertamina dari hasil kerja sama dengan CCL itu. "Silakan dari hasil pengadilan saja, ya," katanya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
DEFARA DHANYA PARAMITHA dan ADIL AL HASAN berkontribusi dalam penulisan artikel ini.