Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Duduk Perkara Eksekusi Lahan ber-SHM di Cluster Setia Mekar Bekasi Menurut Menteri ATR

Penghuni cluster Setia Mekar, Bekasi, menolak proses eksekusi karena memiliki SHM

7 Februari 2025 | 19.33 WIB

Menteri Transmigrasi Muhammad Iftitah Sulaiman (kiri) dan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan  Nusron Wahid (kanan) memberikan keterangan pers di Kementerian ATR/BPN pada Rabu, 5 Februari 2025. TEMPO/Riri Rahayu
Perbesar
Menteri Transmigrasi Muhammad Iftitah Sulaiman (kiri) dan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nusron Wahid (kanan) memberikan keterangan pers di Kementerian ATR/BPN pada Rabu, 5 Februari 2025. TEMPO/Riri Rahayu

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

TEMPO.CO, Bekasi - Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nusron Wahid mengungkap duduk perkara kasus sengketa lahan yang terjadi di Desa Setia Mekar, Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi. Wilayah ini tengah menjadi perbincangan lantaran sejumlah bangunan digusur meskipun warga atau pemilik bangunan telah memiliki sertifikat hak milik (SHM) yang sah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Nusron Wahid menjelaskan, kasus sengketa lahan ini bermula pada 1976 saat seseorang bernama Djudju Saribanon Dolly menjual tanah miliknya seluas 3,6 hektare kepada Abdul Hamid. Tanah tersebut telah ber-SHM dengan nomor 325. 

Adapun Abdul Hamid merupakan orang tua dari penggugat dalam kasus ini, yakni Mimi Jamilah. “Problemnya adalah ketika habis jual beli itu Abdul Hamid (saat ini) sudah almarhum, tidak langsung membalik nama,” kata Nusron saat meninjau Desa Setia Mekar, Kabupaten Bekasi, Jumat, 7 Februari 2025.

Seiring berjalannya waktu, pada tahun 1982, diduga Djudju Saribanon Dolly melakukan kecurangan dengan menjual kembali tanah seluas 3,6 hektare yang sebelumnya telah dibeli Abdul Hamid. “Tahun 1982, enam tahun kemudian tanah itu dijual lagi kepada orang lain namanya Kayat,” ujarnya.

Oleh Kayat, sertifikat dengan nomor 325 itu kemudian dipecah menjadi empat sektifikat dengan nomor 704, 705, 706, dan 707. Dua dari empat sertifikat itu kemudian dijual Kayat kepada Tunggul dengan nomor 704 dan 705.

Tunggul kemudian menjual sertifikat dengan nomor 705 kepada Abdul Bari. Sertifikat dengan nomor 705 itu kemudian dibuat perumahan oleh Bari dengan nama Cluster Setia Mekar Residence 2.

Pihak Abdul Hamid, melalui ahli warisnya yakni Mimi Jamilah, menganggap sertifikat yang dimiliki Kayat tidak sah. Pada 1996 Mimi Jamilah akhirnya menggugat Kayat, Djudju Saribanon Dolly, dan Abdul Bari ke pengadilan dengan dasar akta jual beli (AJB) milik orang tuanya pada 1976. “Kemudian Mimi Jamilah menggugat ke PN sampai ke MA menang,” ucap Nusron.

Setelah dinyatakan menang di tingkat Mahkamah Agung, Mimi Jamilah kemudian melakukan permohonan eksekusi lahan ke Pengadilan Negeri Cikarang Kelas II. Proses eksekusi lahan kemudian dilakukan dengan merujuk putusan Pengadilan Negeri Bekasi dengan nomor, 128/PDT.G/1996/PN.BKS tertanggal 25 Maret 1997.

Saat PN Cikarang melaksanakan eksekusi lahan, sejumlah warga yang memiliki bangunan di atas lahan seluas 3,6 hektare di Desa Setia Mekar, Tambun, Kabupaten Bekasi itu menolak proses eksekusi. Sebab, mereka pun memegang SHM atas tanah yang mereka miliki.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus