Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
REKAMAN pembicaraan selalu bikin heboh. Dulu, rekaman mirip suara Jaksa Agung Andi Ghalib dan Presiden B.J. Habibie membuat jaksa agung itu diterpa isu suap. Lantas rekaman pertemuan terpidana Tommy Soeharto dan Presiden Abdurrahman Wahid juga mencuatkan sinyalemen adanya kompromi.
Kini rekaman pembicaraan pada kasus korupsi dana nonbujeter Bulog juga menjadi urusan hukum. Rekaman pembicaraan di Hotel Gran Mahakam, Jakarta Selatan, pada 10 Oktober 2001 itu diungkapkan oleh Pengacara Trimoelja D. Soerjadi, yang membela terdakwa Rahardi Ramelan, di persidangan.
Rekaman acara di Gran Mahakam menjadi penting karena dianggap sebagai pintu utama bagi skenario aliran dana nonbujeter ke Yayasan Raudatul Jannah, bukan ke Golkar. Di pita rekaman ada suara pelan Akbar Tandjung, yang hanya mengatakan, "Yayasan, ya, Pak Rahardi… yayasan." Selebihnya berisi perdebatan antara pengacara Akbar, Hotma Sitompoel, dan Rahardi. Dalam rekaman itu pula Rahardi menolak skenario Raudatul Jannah.
Karena itu, agaknya relevan bila rekaman pembicaraan pada pertemuan di Hotel Gran Mahakam tersebut dijadikan alat bukti. Hal ini juga akan memperkuat dugaan bahwa kisah aliran dana ke Raudatul Jannah cuma rekayasa belaka. Setelah itu, tinggal melacak ke mana sebenarnya dana nonbujeter tersebut—yang diduga mengalir ke kas Golkar.
Tapi Jaksa Kemas Yahya Rahman di perkara Rahardi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pagi-pagi sudah menolak bila kaset rekaman dijadikan barang bukti. "Tidak bisa. Kaset rekaman dan fotokopi tak bisa digunakan sebagai barang bukti," ujar Kemas.
Menurut sang Jaksa, suara gampang ditiru. "Gatot Sunyoto, misalnya, bisa meniru suara semua orang. Kan, bisa kacau bila dijadikan barang bukti," katanya. Tak cuma Gatot, si raja monolog Butet Kertarajasa juga bisa meniru suara bekas presiden Soeharto atau Habibie.
Pendapat senada diutarakan ketua majelis hakim Amiruddin Zakaria, yang mengadili Akbar di Hall C Arena Pekan Raya Jakarta. "Kalau kaset rekaman dijadikan barang bukti, nanti secara hukum malah bisa ditertawai," katanya. Menurut Amiruddin, paling banter rekaman pembicaraan itu bisa untuk menambah wawasan hakim. Itu pun "kalau jaksa mengusulkan," ujarnya.
Jaksa dan hakim rupanya berpegang pada aturan tentang alat bukti, sebagaimana dijabarkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Berdasarkan aturan ini, alat bukti hanya terdiri atas keterangan saksi, ahli, dan terdakwa, serta surat dan petunjuk. Rekaman suara tak bisa dijadikan bukti, menurut ketua majelis hakim Lalu Mariyun, yang menyidangkan Rahardi, karena rekaman bisa direkayasa lewat teknologi tinggi.
Namun, Lalu Mariyun sependapat bila kaset rekaman tadi hanya dijadikan bukti tambahan. Tapi, "Tetap saja orang yang suaranya ada dalam rekaman itu harus dihadirkan ke persidangan untuk mengecek benar-tidaknya itu suara dia," kata Lalu Mariyun kepada Diah Ayu Candraninggrum dari Tempo News Room.
Tentu saja Trimoelja D. Soerjadi setuju dengan argumentasi Lalu Mariyun. Apalagi, sebelumnya, ia sudah meminta kepada majelis hakim agar menghadirkan mereka yang ikut dalam pertemuan di suite room Hotel Gran Mahakam itu. Paling tidak, "Orang itu sadar bahwa suaranya direkam, sehingga ia mau memberikan keterangan sejujurnya di bawah sumpah," ujar Trimoelja.
Kalau begitu, kenapa para jaksa tak segera menghadirkan mereka yang terlibat pembicaraan di pertemuan Gran Mahakam itu? Apalagi, menurut Undang-Undang Anti-korupsi yang terbaru (tahun 2001), rekaman data atau informasi dikategorikan pula sebagai alat bukti.
AT, Agus Hidayat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo