Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kasus polisi peras polisi menjadi viral pasca pengakuan anggota Provos Polsek Jatinegara, Brigadir Polisi Kepala atau Bripka Madih, beredar di media sosial. Dalam video tersebut, dia menyampaikan, ada polisi yang meminta uang Rp 100 juta dan sebidang tanah seluas seribu meter persegi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Uang pelicin dan tanah tersebut adalah syarat agar laporan Madih soal dugaan penyerobotan tanah milik orang tuanya segera diproses. Tanah itu berlokasi di Kelurahan Jatiwarna, Pondok Melati, Bekasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Ane ini sebagai pihak yang dizalimi, pihak pelapor bukan orang yang melakukan pidana. Kecewa, kenapa orang tua ane, hampir satu abad melaporkan penyerobotan tanahnya ke Polda Metro Jaya," ucap dia dalam video tersebut.
Tempo merangkum fakta-fakta seputar kasus yang menimpa Bripka Madih. Simak selengkapnya berikut ini.
Janji Polda Metro Jaya
Polda Metro Jaya berjanji akan mendalami pernyataan Bripka Madih. Kabid Humas Polda Metro Komisaris Besar Trunoyudo Wisnu Andiko mengatakan, pihaknya telah mengetahui pernyataan Madih yang beredar luas di media sosial tersebut.
"Benar ada pernyataan yang disampaikan oleh yang bersangkutan (Bripka M)," kata dia seperti dilansir dari Antara, Kamis, 2 Februari 2023.
Trunoyudo menjelaskan saat ini Polda Metro Jaya masih mendalami lebih lanjut sehubungan dengan pengakuan ihwal permintaan tanah dan uang pelicin oleh oknum penyidik.
"Ada pernyataan diminta tanah seribu meter oleh penyidik, sedangkan sisa tanahnya hanya 761,5 meter persegi," jelas dia.
Bripka Madih akan dikonfrontasi dengan oknum penyidik
Trunoyudo mengatakan akan mempertemukan anggota penyidik kepolisian dengan Bripka Madih. Polda Metro bakal melakukan konfrontasi perihal dugaan pemerasan dalam bentuk uang dan tanah saat penyidik mengurus kasus sengketa tanah milik orang tua Madih.
"Akan melakukan konfrontasi antara Bripka M dan penyidik berinisial TG yang saat ini sudah purna tugas," ucap dia di Jakarta, Jumat, 3 Februari 2023.
Dari hasil penyelidikan, Trunoyudo menjelaskan, luas bidang tanah yang dipermasalahkan Bripka Madih mencapai 1.600 meter persegi. Akan tetapi, dia mengaku memiliki tanah seluas 3.600 meter persegi.
Menurut Trunoyudo, ayah Madih telah menjual tanah tersebut dalam rentang waktu 1979 hingga 1992. "Telah terjadi jual beli sembilan AJB dengan sisa tanahnya dari girik 191 seluas 4.411 meter persegi. Jadi yang telah diikatkan dengan AJB seluas 3.649,5 meter persegi, sehingga sisanya hanya 761,5 meter persegi," terang dia.
Melapor ke Polda Metro
Bripka Madih mendatangi Polda Metro Jaya pada Ahad, 5 Februari 2023. Dia akhirnya melaporkan kasus tanah milik orang tuanya ke Polda Metro.
Madih didampingi istri, adik, dan seorang lelaki paruh baya yang menyatakan turut melaporkan kasus penyerobotan tanah, tapi untuk objek lahan yang berbeda.
“Kami diundang. Kalau yang lalu kami dikonfrontir dengan pihak yang tidak profesional saat bekerja,” ucap Madih di Polda Metro.
Satu pelapor yang bernasib sama seperti Madih mengaku mengalami penyerobotan tanah pada 2015. Pelapor yang sempat disangka preman ini bernama Martono Sufaat, 55 tahun.
“Saya mencari keadilan, sama-sama enam tahun,” kata Martono di lobi Gedung Kriminal Umum Polda Metro Jaya, Ahad, 5 Februari 2023.
Madih dan Martono saling kenal. Mereka bertemu di Komisi Hak Asasi Manusia yang kala itu sama-sama tengah mengurus kasus diduga penyerobotan tanah.
Menurut Martono, rumah orang tuanya di Indramayu dirusak orang tak dikenal. Dia lantas menerima tawaran Madih untuk bersama-sama memperjuangkan tanah mereka.
Selanjutnya tentang Bripka Madih diduga melanggar beberapa pasal
Bripka Madih diduga melanggar beberapa pasal
Kepala Bidang Profesi dan Pengamanan Polda Metro Jaya Komisaris Besar Fransiskus Xaverius Bhirawa Braja Paksa menyampaikan, Madih diduga melanggar beberapa regulasi. Fransiskus rupanya adik bungsu Panglima TNI periode 2021-2022 Jenderal TNI (Purn) Muhammad Andika Perkasa.
Aturan pertama yang dilanggar adalah Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Polri. Bunyinya, “Dalam rangka memelihara kehidupan bernegara dan bermasyarakat anggota Polri dilarang melakukan hal-hal yang dapat menurunkan kehormatan dan martabat negara, pemerintah atau Kepolisian Republik Indonesia.”
Kemudian, dia juga disebut melanggar Pasal 13 huruf E ayat 1 paragraf 4 Peraturan Kepolisian Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi Polri dan Komisi Kode Etik Profesi Polri.
Pasal tersebut berbunyi, “Setiap pejabat Polri dalam etika kepribadian dilarang menggunakan sarana media sosial dan media lainnya untuk aktivitas kegiatan mengunggah, mem-posting, dan menyebarluaskan berita yang tidak benar dan atau ujaran kebencian."
Dituduh membuat gaduh
Bripka Madih menyatakan, akibat mempermasalahkan tanah ini, dirinya harus menghadapi sidang kode etik. Dia dinilai telah membuat kerusuhan dengan memasang plang dan mendatangkan massa.
Padahal, kata Madih, saat mendirikan plang, dia hanya membawa empat orang. “Katanya ricuh. Padahal, di situ cuma empat orang. Ane enggak terima dikatakan bikin ricuh, mengusir ahli waris,” ucap dia.
Pemasangan plang itu dilakukan bersama Martono yang juga melaporkan dugaan penyerobotan tanah ke Polda Metro. Martono sempat disangka preman saat mendirikan plang di lahan kawasan Jatiwarna, Bekasi.
Madih akhirnya mengajak Martono ke Polda Metro guna mengklarifikasi soal stigma preman tersebut. “Ini yang dibilang massa atau preman," ujar Madih. "Dia berjuang sama-sama rumahnya dibongkar."
“Datang ke Polda Metro Jaya menjelaskan bahwa wajah seperti ini seperti preman. Saya sama-sama gerak mencari keadilan, karena enggak bisa bayar pengacara,” ucap Martono.
Madih mengaku, dirinya pernah dikeroyok orang tak dikenal pada 2011 sehubungan dengan perkara sengketa tanah. Akibatnya, kepala Madih benjol dan membekas hingga kini.
Selanjutnya tentang Bripka Madih mengajukan pengunduran diri
Bripka Madih mengajukan pengunduran diri
Dia memutuskan mundur dari Korps Bhayangkara pasca pelbagai persoalan tanah dan ancaman sanksi kode etik yang menghantuinya. Permohonan mundur telah diajukan dua bulan lalu.
Madih mengatakan telah bertemu dengan Kapolres Jakarta Timur Komisaris Besar Budi Sartono untuk memproses pengunduran dirinya. Namun, Budi meminta Madih terlebih dulu mempertimbangkan keputusan tersebut.
"Ada atensi dari pimpinan, perhatian sama kami. Pimpinan minta permohonan pengunduran diri tidak dikirim saat ini, karena masih dalam kondisi emosional. Mohon doanya,” tutur Bripka Madih yang terseret perkara polisi peras polisi ini.
Baca juga: Mengaku Diperas Sesama Polisi, Bripka Madih Kini Dilaporkan Warga Jatiwarna Bekasi ke Polda Metro
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.