Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Berita Tempo Plus

Menyanyi itu konstitusional

Tanggapan atas kritik menpen harmoko yang mengecam lagu-lagu cengeng di indonesia. khalayak lebih layak disuguhi lagu-lagu yang liriknya membangkitkan optimisme dalam iklim yang keras dan pengap.

3 September 1988 | 00.00 WIB

Menyanyi itu konstitusional
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
KELEBIHAN manusia atas kuda atau cerpelai karena ia berideologi, bisa bernalar, dan bisa nelangsa. Saya tidak pernah dengar seekor tikus bisa bertimbang rasa dan bisa seminar atau bisa mencari nilai tambah seperti halnya seorang tauke. Kelebihan ini bukan saja terbatas pada ideologi, tapi juga ketawa atau menangis serta menyanyi. Karena kebiasaan menyanyi itu, ia bisa melakukan pilihan sesuai dengan kebutuhan. Ia bisa bersenandung tentang mentari yang hampir tenggelam di ufuk sana, bisa bersenandung tentang kampung halaman yang tata tentram karta raharja, tapi bisa juga mengiba-iba tentang suami yang begajul atau tentang istri yang seperti rompi, depan lain belakang lain, manis di pekarangan tapi main selingkuh di jalanan. Akan halnya lagu dan nyanyi ini, negara sebagai penanggung jawab tertinggi kehidupan suatu bangsa dianggap berhak punya pilihan atas lagu-lagu, seperti halnya berhak menentukan arus kendaraan di jalan raya. Jika Hitler menghendaki rakyatnya berjalan tegak dan tidak merayap-rayap seperti kepinding, maka pada mereka disajikan irama-irama mars dan bukan gesekan biola yang merengek-rengek. Di Indonesia, negarawan pertama yang menginginkan lagu itu tidak merintih-rintih dan membikin orang tetes air mata adalah Bung Karno. Ia mencela habis irama ngak-ngik-ngok yang dianggapnya vulgar dan tidak berkepribadian, merancu jiwa dan melemahkan semangat. Jangan jadi bangsa tempe yang melempem, jadilah rajawali yang terbang jauh di angkasa. Jangan punya jiwa kintel yang merunduk-runduk di depan orang, melalnkan berkata dengan tandas "Ini dadaku, mana dadamu". Tentu saja Menteri Harmoko tidak dipengaruhi Bung Karno, dalam gerak tangan ketika pidato maupun seleranya atas lagu-lagu. Tapi kritiknya atas lagu-lagu cengeng sedikit banyak ada kemiripannya. Bukan hanya Harmoko yang mengecam lagu-lagu yang berurai air mata jatuh ke bantal, Bung Karno sudah lebih dulu menuding sambil menggesek gigi dengan gigi akibat geram. Orang bersedih atau meratap kesialan diri memang masih konstitusional, karena bermuram durja belumlah dianggap mengganggu kestabilan nasional. Tapi sikap itu sedikitnya menampakkan sontoloyo dan tidak tegar, kumuh dan tidak kreatif, tidak berpotongan tinggal landas kecuali duduk termangu tak tahu apa yang dilakukan. Tiada kerja maupun harapan. Dan bukan sekadar lagu lagu ratapan yang mesti diberantas demi membikin jiwa bangsa itu berdiri tegak, tapi juga dongeng-dongeng dan pepatah-petitih yang sering dilestarikan, padahal sebenarnya itu barang lapuk yang mesti ditinggalkan. Jika lembaga resmi semacam TVRI menayangkan cerita dongeng tentang negeri antah berantah, yang putra mahkotanya terlahir keluar dari balik kulit kerang seperti ditonton orang bulan Mei yang lalu, apa bukannya cerita model begitu hanya layak jadi tertawaan anak-anak zaman sekarang yang sudah makin kritis dan tidak sekadar menelan apa yang lalu di depan hidung? Ini serupa dengan pepatah seperti Alon-alon asal kelakon, yang kedengaran ganjil di kuping mereka. Apa maksudnya dalam zaman yang memerlukan cepat dan dinamis ini? Jangankan alon-alon, cepat-cepat pun belum tentu berhasil. Jika seorang istri cekcok keras dengan suaminya sehingga kena tampar, tak perlulah cerita itu dinyanyikan di muka umum, karena masalah itu seyogyanya bisa diselesaikan secara musyawarah mufakat bulat di balik pintu tertutup. Khalayak lebih layak disuguhi lagu-lagu yang liriknya membangkitkan optimisme dalam iklim yang keras serta pengap, bagaimana menaikkan tingkat kehidupan secara jujur tanpa mencuri, bagaimana isi pikiran dapat tersalur tanpa rasa waswas yang tidak perlu, bagaimana menunda kekalahan tanpa menjadi setengah gila atau putus tali jantung. Komponis bebas menentukan pilihan, apakah ia menyenandungkan bunga mawar merah di kaki jendela rumah yang bersofa, atau tetes keringat seorang pekerja yang terbungkuk-bungkuk menyambung hidup. Komponis juga bebas menentukan pilihan, apakah ia menyenandungkan tangis yang melolong-lolong dari seorang perawan yang kena bujuk seorang buaya, atau rintihan orang kecil yang nyaris gepeng digencet kehidupan tak kenal ampun. Masalah pilihan dengan sendirinya jadi ukuran seberapa jauh wawasan seorang atas sekelilingnya, masalah sikap tanggap terhadap arus pokok persoalan sosial yang dihadapi, yang dengan sendirinya menentukan corak dan tingkat budaya yang bersangkutan. Sistem politik mana pun tentu tidak berurusan dengan rambut yang tergerai atau dengan bibir yang merekah. Pejabat negeri tidak ambil pusing apakah orang berlesung pipit atau menambal pantatnya hingga memikat. Ia cuma berurusan dengan kepatuhan penduduk, dengan jumlah setoran pajak tiap tahun, dengan kerja seperti kesetanan membuat barang-barang untuk dijual ke negeri seberang. Soalnya, maksud itu tidak akan kesampaian jika penduduk dari pagi hingga petang disiram dengan lagu-lagu yang irama serta liriknya membikin dia pilu, mengajaknya duduk tercenung di bawah kerambil, bahkan menggodanya supaya ambil seutas tali dan gantung diri saja.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus