Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Aksi tolak pengesahan RKUHP (Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) digelar di depan Gedung DPR hari ini, Senin, 5 Desember 2022. Massa aksi dari berbagai kelompok masyarakat sipil mulai berdatangan sekitar pukul 13.00 WIB.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah satu kelompok yang ikut dalam aksi tersebut adalah Federasi Buruh Makanan dan Minuman. Sekretaris Regional Tengah Federasi Buruh Makanan dan Minuman, Ahmad Migunani, mengatakan RKUHP merupakan upaya mengembalikan hukum ke era kolonial. Menurut dia, jika RKUHP disahkan, maka bakal berpotensi membatasi hak-hak buruh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Pastinya kami menolak pengesahan RKUHP dimana akan kembali ke pasal kolonial yang banyak merugikan kami,” kata Ahmad di depan Gedung DPR, Senin, 5 Desember 2022.
Ahmad menyebutkan pasal unjuk rasa dalam RKUHP berpotensi mengkriminalisasi buruh yang menuntut haknya. “Kami khawatir dalam pelaksanaan aksi akan dijerat dengan hukum-hukum yang ada di RKUHP,” kata dia.
Pasal unjuk rasa yang dipermasalahkan buruh
Pasal unjuk rasa menjadi salah satu pasal yang disoroti Aliansi Reformasi KUHP. Dalam draf RKUHP versi 30 November 2022, aturan tentang unjuk rasa termuat dalam pasal 256. Pasal itu berbunyi:
"Setiap orang yang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada yang berwenang mengadakan pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi di jalan umum atau tempat umum yang mengakibatkan terganggunya kepentingan umum, menimbulkan keonaran, atau huru-hara dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II."
Penjelasan dari Komisi Hukum DPR
Anggota DPR Komisi Hukum Taufik Basari, mengatakan delik pasal 256 bukan untuk pihak yang menggelar unjuk rasa, melainkan delik terganggunya ketertiban umum, keonaran, atau huru-hara. Menurut dia, pasal ini dimaksudkan agar tiap unjuk rasa digelar dengan koordinasi bersama pihak aparat untuk tidak mengganggu ketertiban umum, jalannya lalu lintas, hingga kepentingan pihak lain.
“Pasal ini mesti dibaca dengan keseluruhan RKUHP ini, yakni semangat RKUHP bukan semangat punitive, karena KUHP baru ini semangatnya dilandaskan pada upaya restorative justice,” kata Taufik saat dihubungi, Senin, 5 Desember 2022.
Anggota Fraksi Partai NasDem itu mengatakan baik pemerintah maupun DPR perlu mensosialisasikan pasal ini kepada aparat penegak hukum. Tujuannya, kata dia, agar aparat tidak serta merta menerapkan pasal dan lebih selektif dalam implementasinya.
“Jadi sebenarnya yang dipermasalahkan teman-teman bukan substansi pasal, melainkan bagaimana penerapannya,” ujarnya.
Taufik menjelaskan, ada masa tunggu selama 3 tahun sebelum RKUHP berlaku. Menurut dia, masa jeda ini bisa dimanfaatkan untuk mensosialisasikan pasal-pasal RKUHP terhadap aparat penegak hukum untuk menghindari kekhawatiran kelompok masyarakat sipil ihwal pasal ini.
“Problemnya di implementasi, bukan substansi materi. Implementasinya bisa menimbulkan kekhawatiran berdasarkan pengalaman kita selama ini. Nah yang perlu kita perbaiki bagaimana implementasi ini dilakukan dengan pemahaman yang benar,” kata dia.
Komisi Hukum DPR bersama pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM menyepakati RKUHP di tingkat I pada Kamis, 24 November 2022. Keputusan ini diambil usai Komisi Hukum dan pemerintah membahas 23 poin yang dirangkum dari daftar inventarisasi masalah (DIM) fraksi yang diserahkan kepada pemerintah.
Selain federasi buruh, aksi tolak pengesahan RKUHP di depan gedung DPR ini diikuti berbagai lembaga swadaya masyarakat seperti Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS). Trend Asia, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam).