Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Rancangan Undang-undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) akan memasuki usia ke-21 pada tahun ini. RUU ini pertama kali diusulkan pada 2004 silam oleh Jaringan Advokasi Nasional Pekerja Rumah Tangga atau JALA PRT.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Tidak ada alasan bagi DPR dan pemerintah untuk tidak mengesahkan RUU PPRT menjadi undang-undang, 21 tahun sudah terlalu lama,” kata Jumisih, salah satu anggota Jala PRT, Jumat, 14 Februari 2025.
Jumisih berharap draf RUU PPRT yang saat ini sudah berada di Badan Legislasi segera dibahas untuk diambil keputusan pengesahannya. Bila hal itu tidak memungkinkan dilakukan di Baleg, kata dia, sebaiknya pembahasan dilakukan oleh Komisi HAM DPR.
“Kami berharap draf RUU PPRT dibahas di komisi XIII untuk diambil keputusan dan dibawa ke paripurna,” kata dia.
Jumisih mengatakan, tidak ada alasan bagi DPR untuk menunda pengesahan RUU ini. Apalagi RUU PPRT masuk dalam daftar program legislasi nasional prioritas tahun 2025. Dia tak ingin RUU ini mengendap lebih lama lagi di DPR. RUU PPRT pertama kali diusulkan pada 2004 dan tahun ini akan memasuki usia ke-21 tahun
Desakan agar DPR segera mengesahkan RUU itu juga datang dari organisasi lintas agama. Mereka kompak menyarankan agar DPR tidak menunda pengesahan RUU PPRT.
Perwakilan Konferensi Waligereja Indonesia, R.D. Marthen Jenarut, mengatakan pengesahan RUU PPRT adalah bentuk penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia. Sebab, kata dia, selama para pekerja rumah tangga masuk kelompok rentan yang kerap terabaikan.
“Gereja Katolik Indonesia siap dan akan selalu hadir memperjuangkan harkat dan martabat manusia, memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan,” kata dia dalam konferensi pers di kantor Komnas Perempuan, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat, 14 Februari 2025.
Dalam kesempatan yang sama, Pimpinan Pusat Aisyiyah Ummu Salamah mengatakan tidak adanya perlindungan bagi pekerja rumah tangga adalah bentuk kezaliman struktural. Dalam hal ini, kata dia, negara mesti bertanggung jawab dengan segera mengesahkan regulasi yang memberikan perlindungan kepada pekerja rumah tangga.
“Ketidakadilan yang dialami pekerja rumah tangga merupakan bentuk kezaliman struktural yang harus dihapuskan lewat kebijakan yang berpihak kepada kelompok rentan,” ujarnya.
Komisioner Komnas HAM Anis Hidayah mengatakan, pada 2024 lembaganya telah menyusun Standar Norma dan Pengaturan (SNP) tentang Hak atas Pekerjaan yang Layak. Dalam SNP tersebut ditegaskan bahwa Pekerja Rumah Tangga merupakan salah satu kelompok rentan yang membutuhkan pengaturan khusus dalam pemenuhan hak atas pekerjaan.
Menurut Anis, hubungan kerja PRT sering kali dikecualikan dari hubungan kerja menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Akibatnya, para PRT kerap menanggung risiko pekerjaan secara mandiri.
Usai dilantik pada akhir Oktober tahun lalu, Ketua Komisi HAM DPR Willy Aditya berjanji akan segera membahas RUU PPRT. Dia juga memastikan Komisi XIII yang membidangi reformasi regulasi dan HAM akan mengawal pembahasan RUU tersebut hingga tuntas.
“Kami memperjuangkan RUU PPRT ini dan kami akan segera membahasnya dalam waktu dekat,” kata Willy.
Menurut dia, tidak ada alasan untuk menunda pengesahan RUU PPRT. Sebab, dia menilai, keberadaan regulasi yang bisa memberikan perlindungan bagi pekerja rumah tangga adalah salah satu wujud pemenuhan hak asasi manusia.
“Pentingnya pengesahan RUU PPRT ini karena menyangkut kepentingan para pekerja rumah tangga yang selama ini kerap mendapatkan kekerasan,” kata dia.
Pilihan Editor: Jokowi Respons Warga Solo yang Unjuk Rasa Minta Dirinya Diadili