Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Ganja Di Penjara, Di Tangan Wanita

Ganja juga beredar di kalangan narapidana lp cipinang, terungkap di pengadilan, akhir-akhir ini organisasi pengedar ganja menggunakan orang lemah seperti: gagu, wanita hamil dan mahasiswa. (krim)

11 Desember 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAK lama setelah polisi menemukan 25 hektar kebun ganja di Aceh, tiba-tiba terungkap pula: ganja bisa di perjual-belikan di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cipinang, Jakarta. Dua pengacara dari LBH Jakarta, Luhut Pangaribuan dan Lelyana Yanti Soerowo, yang kini sedang membela Retno alias lacan dan Seger, menuturkan kedua nara pidana yang dituduh membunuh rekannya, Evi Chandra, di LP Cipinang itu, mengaku sedang fly ketika melakukan perbuatan mereka. Hakim tak percaya. Tapi Luhut dan Lelyana lalu memberi Rp 20 ribu kepada kliennya, untuk membuktikan: apa betul di LP bisa dibeli ganja. Ternyata betul. Selasa pekan lalu, kedua pengacara itu mendapat benda yang dijanjikan Retno dan Seger berupa lima amplop ganja dan lima bungkus heroin. Dua orang petugas LP yang dicurigai sebagai pengedar, kini sedang diperiksa. Tapi Kapten Gordon Siadari, Komandan Unit Narkotika, Kodak Metro Jaya, yang menerima laporan pengacara LBH itu tak heran benar. Sekitar tiga bulan lalu, katanya, ia sudah menemui Kepala LP Cipinang, Hari Marsudi, karena mendapat informasi adanya jual beli narkotik di P tersebut. Hanya saja Gordon tak bisa berbuat banyak ia tak punya cukup bukti. Dan bagaimana pula cara menangkap tangan si pengedar dalam dunia yang tertutup untuk orang luar itu? Padahal dalam kasus narkotika, "si pengedar harus tertangkap basah hingga tak bisa mungkir." Kasus di LP Cipinang itu, sekedar contoh berliku-liku penyebaran ganja, narkotik umumnya. Maklum, "perdagangan narkotik selalu diorganisasikan dengan rapi dan kegiatannya tertutup," kata Brigjen Pol. Soehariono, Koman dan Satuan Utama Reserse Narkotik Mabak. Tapi sindikat pedagang narkotik juga cukup kreatif. Mereka selalu berusaha mencari modus operandi baru, untuh mengembangkan jaring-jaringnya. Keuntungan yang bisa diperoleh memang menggiurkan. Sekilo ganja kering yang di pedalaman Aceh berharga Rp 5 ribu, di tingkat grosir di Jakarta,- Bali atau Medan, bisa meloncat jadi Rp 150 ribu sampai Rp 200 ribu. Di tangan pemakai harganya Rp 1.000 per amplop tiap satu gram. Walhasil harga sekilo ganja bisa membengkak menjadi Rp 1 juta. Belum lagi kalau daun ganja asal Aceh, yang dikenal baik mutunya itu dicampur dengan daun kumis kucing, seperti biasa dilakukan sementara pengedar. Menurut pengamatan Gordon, sejak beberapa tahun terakhir ada kecenderungan untuk melibatkan dan memperalat orang yang dianggap "lemah" bagi penyebaran narkotik. Seperti wanita, penderita penyakit kusta, orang yang sudah setengah pikun, bahkan seorang gagu. Tahun lalu, misalnya, polisi Kodak Metro Jaya mendapat informasi dari masyarakat. Ada seorang gagu berusia 25 tahun yang dicurigai memperjual-belikan ganja. Ketika laporan masyarakat terus mengalir, polisi bergerak menuju sasaran. Si gagu ditangkap. Tapi rupanya dia cukup gesit, hingga tak ada barang bukti ditemui pada dirinya. Dan tentu saja polisi tak bisa mengorek keterangan apa-apa, sebab ia tak bisa diajak berdialog. Walhasil ia dilepas. Namun sampai kini iai diduga tetap melakukan pekerjaannya itu. Di tahun 1981 juga, seorang wanita pengedar narkotik berhasil ditangkap berikut barang bukti. Yang membuat polisi tak bisa menekan dan mengorek keterangan sebanyak mungkin, karena wanita itu, Asimah, 30 tahun, lagi hamil tua. Dan dalam status tahanan ia melahirkan bayinya. Orang seperti Asimah menurut Gordon, memang disengaja "agar polisi menaruh belas kasihan, sehingga pemeriksaan tak berkepanjangan." Tujuannya jelas: si pedagang yang ada di belakang mereka tetap aman. Belakangan ini semakin banyak wanita pengedar narkotik yang tertangkap. Dua di antaranya mahasiswi Mar, 21 tahun, kini tengah diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Ditangkap di rumahnya di bilangan Lenteng Agung, Pasar Minggu. Mar kedapatan menyimpan 3,8 kilogram ganja di kolong tempat tidurnya. Rupanya ia terpengaruh ibunya, yang kabarnya pernah dihukum karena kasus yang sama. Satu lagi Ida Masra, 26 tahun. Pekan lalu ia menyatakan naik banding setelah divonis lima tahun penjara di Pengadilan Negeri Medan. Mahasiswi Fakultas Hukum tingkat IV Universitas Sumatera Utara (USU) Medan itu dinyatakan terbukti bersalah menjual ganja dan pil rohypnol, yang kini banyak digandrungi pecandu narkotik. Ditemui TEMPO di LP Tanjungkusta, Medan, Ida tetap merasa tak bersalah. Memang, katanya, ketika rumah orangtuanya di jalan Helvetia Raya, Perumnas Medan 1, digrebek, polisi menjumpai 129 bungkus ganja dan 133 biji pil rohypnol. Namun "itu milik kakak saya." Della, sang kakak, memang diketahui Ida seorang ganjais. "Tapi kan tidak mungkin saya laporkan ke polisi," kata gadis berkulit kuning berdada tipis itu. Della sendiri tak ada waktu rumah digeledah. Jadi, kata Ida, daripada ibunya yang dituduh, anak kelima dari delapan bersaudara itu, lalu mengaku. Ia kini tampak kurus, dan mengaku menelan robypnol bila hendak tidur. Ia sedih mendengar pemecahan dirinya sebagai mahasiswi USU. Pacarnya kini juga tak pernah datang lagi. "Berat saya turun empat kilo," katanya. Adanya mahasiswa yang berjualan narkotik, tak berarti meningkatnya pemakaian narkotik itu di kampus. Sebab seorang mahasiswa Jakarta yang belum lama ini tertangkap, menurut Gordon, menjualnya justru di tempat yang jauh: Cirebon dan Kuningan. Di kampus Institut Kesenian Jakarta (IKJ) yang terletak di lingkungan Taman Ismail Marzuki (TIM) "secara resmi kini ganjais tak ada lagi, ' kata M. Sulebar, dosen jurusan Seni Rupa. Berbeda dengan tahun 1971, ketika 1% mahasiswa, ganjais. Kampus ini memang diapit daerah Kalipasir dan Cikini Kecil, yang dikenal sebagai basis pemasaran narkotik. Menghilangnya ganjais dari IKJ, menurut Suleba, karena mahasiswa pengisap ganja kini sudah tak kuliah lagi. Juga karena sejak 1975, mahasiswa yang mendaftar diharuskan membawa surat keterangan bebas narkotik dari dokter. Di Universitas Indonesia (UI), khususnya Kampus Rawamangun, menurut sebuah sumber, "keadaannya seperti dulu-dulu juga." Artinya, hanya ada sekitar belasan orang. Itu pun bukan ganjais kelas berat. Namun secara umum, jumlah kasus ganja terus meningkat. Di Jakarta tahun 1980 ada 151 perkara yang melibatkan 264 tersangka. Tahun 1981, 150 perkara dengan 272 pelaku. Dan tahun ini, sampai dengan bulan Oktober, jumlah kasus yang ditangani Kodak VII Jaya, 214 dan melibatkan 338 tersangka. Di Medan, sampai November lalu polisi menangani 112 kasus narkotik. Ada kenaikan dibanding tahun lalu yang hanya 90 kasus. Angka-angka itu memang tak menjadi ukuran bahwa jumlah pecandu narkotik meningkat. Itu bisa saja karena pihak polisi aktif sehingga banyak yang tertangkap. Sebaliknya, menurut Gordon, angka bisa menurun pada saat operasi mengendur karena polisi menggarap tugas lain yang lebih penting, seperti: ikut mengamankan pemilu dan Sidang Umum MPR. Tapi benarkah ganja berbahaya bagi orang-orang muda? Ruddy G. Gantika psikolog tamatan UI tahun 1982, menganggap ganja tak berbahaya bila digunakan dengan batas-batas tertentu. Ia mendasarkan pendapatnya pada studi kasus dalam menyusun skripsinya berjudul "Motivasi Dalam Menggunakan Marijuana." Ia memilih empat ganjais mahasiswa dan empat lagi penganggur muda tamatan SLA. Prestasi mahasiswa yang ditelitinya, ternyata tak terpengaruh karena mengisap ganja. Mereka tetap giat belajar, aktif dah bergaul normal. Tapi memang, motivasi mereka mengisap ganja semata karena "ingin mencari pengalaman yang lain." Sehingga mereka tetap bisa mengontrol diri. Jika menghadapi ujian, misalnya, mereka tak akan mengisap ganja sebab tahu akibatnya tak akan bisa berkonsentrasi dengan baik. Kecuali di waktu senggang, ketika hendak pergi menonton atau ingin lebih menikmati musik, kepulan asap ganja mereka perlukan. Kelompok mahasiswa itu berbeda dengan kelompok penganggur, yang motivasinya ingin melepaskan diri dari persoalan yang dihadapi. Dan karena tak berhasil, "mereka pun terjerat dalam lingkaran setan." Jadi, menurut Ruddy, asal saja penggunaannya "tepat" seperti dilakukan mahasiswa itu, ganja tak akan menimbulkan pengaruh negatif. Namun diakui, simple kecil yang ditelitinya, "tidak dapat digeneralisasikan pada setiap pemakai ganja." Sulebar, misalnya, justru mendapati mahasiswa ganjais di IKJ tahun 1971-an kebanyakan drop out di tahun kedua. "Mereka juga jadi tertutup dan merasa rendah diri," kata dosen yang dikenal sebagai pembimbing korban narkotik itu. Sulebar memang sedih melihat mahasiswa yang sampai terjerumus menjadi ganjais. Apalagi kalau sampai berurusan dengan polisi dan masuk penjara. Padahal, di penjara ganja juga bisa dibelil!

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus