TAK lama setelah polisi menemukan 25 hektar kebun ganja di
Aceh, tiba-tiba terungkap pula: ganja bisa di perjual-belikan
di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cipinang, Jakarta. Dua pengacara
dari LBH Jakarta, Luhut Pangaribuan dan Lelyana Yanti Soerowo,
yang kini sedang membela Retno alias lacan dan Seger,
menuturkan kedua nara pidana yang dituduh membunuh rekannya, Evi
Chandra, di LP Cipinang itu, mengaku sedang fly ketika
melakukan perbuatan mereka.
Hakim tak percaya. Tapi Luhut dan Lelyana lalu memberi Rp 20
ribu kepada kliennya, untuk membuktikan: apa betul di LP bisa
dibeli ganja. Ternyata betul. Selasa pekan lalu, kedua pengacara
itu mendapat benda yang dijanjikan Retno dan Seger berupa lima
amplop ganja dan lima bungkus heroin. Dua orang petugas LP yang
dicurigai sebagai pengedar, kini sedang diperiksa.
Tapi Kapten Gordon Siadari, Komandan Unit Narkotika, Kodak Metro
Jaya, yang menerima laporan pengacara LBH itu tak heran benar.
Sekitar tiga bulan lalu, katanya, ia sudah menemui Kepala LP
Cipinang, Hari Marsudi, karena mendapat informasi adanya jual
beli narkotik di P tersebut. Hanya saja Gordon tak bisa berbuat
banyak ia tak punya cukup bukti. Dan bagaimana pula cara
menangkap tangan si pengedar dalam dunia yang tertutup untuk
orang luar itu? Padahal dalam kasus narkotika, "si pengedar
harus tertangkap basah hingga tak bisa mungkir."
Kasus di LP Cipinang itu, sekedar contoh berliku-liku penyebaran
ganja, narkotik umumnya. Maklum, "perdagangan narkotik selalu
diorganisasikan dengan rapi dan kegiatannya tertutup," kata
Brigjen Pol. Soehariono, Koman dan Satuan Utama Reserse Narkotik
Mabak. Tapi sindikat pedagang narkotik juga cukup kreatif.
Mereka selalu berusaha mencari modus operandi baru, untuh
mengembangkan jaring-jaringnya.
Keuntungan yang bisa diperoleh memang menggiurkan. Sekilo ganja
kering yang di pedalaman Aceh berharga Rp 5 ribu, di tingkat
grosir di Jakarta,- Bali atau Medan, bisa meloncat jadi Rp 150
ribu sampai Rp 200 ribu. Di tangan pemakai harganya Rp 1.000 per
amplop tiap satu gram. Walhasil harga sekilo ganja bisa
membengkak menjadi Rp 1 juta. Belum lagi kalau daun ganja asal
Aceh, yang dikenal baik mutunya itu dicampur dengan daun kumis
kucing, seperti biasa dilakukan sementara pengedar.
Menurut pengamatan Gordon, sejak beberapa tahun terakhir ada
kecenderungan untuk melibatkan dan memperalat orang yang
dianggap "lemah" bagi penyebaran narkotik. Seperti wanita,
penderita penyakit kusta, orang yang sudah setengah pikun,
bahkan seorang gagu.
Tahun lalu, misalnya, polisi Kodak Metro Jaya mendapat informasi
dari masyarakat. Ada seorang gagu berusia 25 tahun yang
dicurigai memperjual-belikan ganja. Ketika laporan masyarakat
terus mengalir, polisi bergerak menuju sasaran. Si gagu
ditangkap. Tapi rupanya dia cukup gesit, hingga tak ada barang
bukti ditemui pada dirinya. Dan tentu saja polisi tak bisa
mengorek keterangan apa-apa, sebab ia tak bisa diajak berdialog.
Walhasil ia dilepas. Namun sampai kini iai diduga tetap
melakukan pekerjaannya itu.
Di tahun 1981 juga, seorang wanita pengedar narkotik berhasil
ditangkap berikut barang bukti. Yang membuat polisi tak bisa
menekan dan mengorek keterangan sebanyak mungkin, karena wanita
itu, Asimah, 30 tahun, lagi hamil tua. Dan dalam status tahanan
ia melahirkan bayinya.
Orang seperti Asimah menurut Gordon, memang disengaja "agar
polisi menaruh belas kasihan, sehingga pemeriksaan tak
berkepanjangan." Tujuannya jelas: si pedagang yang ada di
belakang mereka tetap aman.
Belakangan ini semakin banyak wanita pengedar narkotik yang
tertangkap. Dua di antaranya mahasiswi Mar, 21 tahun, kini
tengah diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Ditangkap
di rumahnya di bilangan Lenteng Agung, Pasar Minggu. Mar
kedapatan menyimpan 3,8 kilogram ganja di kolong tempat
tidurnya. Rupanya ia terpengaruh ibunya, yang kabarnya pernah
dihukum karena kasus yang sama. Satu lagi Ida Masra, 26 tahun.
Pekan lalu ia menyatakan naik banding setelah divonis lima tahun
penjara di Pengadilan Negeri Medan. Mahasiswi Fakultas Hukum
tingkat IV Universitas Sumatera Utara (USU) Medan itu dinyatakan
terbukti bersalah menjual ganja dan pil rohypnol, yang kini
banyak digandrungi pecandu narkotik.
Ditemui TEMPO di LP Tanjungkusta, Medan, Ida tetap merasa tak
bersalah. Memang, katanya, ketika rumah orangtuanya di jalan
Helvetia Raya, Perumnas Medan 1, digrebek, polisi menjumpai 129
bungkus ganja dan 133 biji pil rohypnol. Namun "itu milik kakak
saya." Della, sang kakak, memang diketahui Ida seorang ganjais.
"Tapi kan tidak mungkin saya laporkan ke polisi," kata gadis
berkulit kuning berdada tipis itu.
Della sendiri tak ada waktu rumah digeledah. Jadi, kata Ida,
daripada ibunya yang dituduh, anak kelima dari delapan
bersaudara itu, lalu mengaku. Ia kini tampak kurus, dan mengaku
menelan robypnol bila hendak tidur. Ia sedih mendengar pemecahan
dirinya sebagai mahasiswi USU. Pacarnya kini juga tak pernah
datang lagi. "Berat saya turun empat kilo," katanya.
Adanya mahasiswa yang berjualan narkotik, tak berarti
meningkatnya pemakaian narkotik itu di kampus. Sebab seorang
mahasiswa Jakarta yang belum lama ini tertangkap, menurut
Gordon, menjualnya justru di tempat yang jauh: Cirebon dan
Kuningan.
Di kampus Institut Kesenian Jakarta (IKJ) yang terletak di
lingkungan Taman Ismail Marzuki (TIM) "secara resmi kini ganjais
tak ada lagi, ' kata M. Sulebar, dosen jurusan Seni Rupa.
Berbeda dengan tahun 1971, ketika 1% mahasiswa, ganjais. Kampus
ini memang diapit daerah Kalipasir dan Cikini Kecil, yang
dikenal sebagai basis pemasaran narkotik. Menghilangnya ganjais
dari IKJ, menurut Suleba, karena mahasiswa pengisap ganja kini
sudah tak kuliah lagi. Juga karena sejak 1975, mahasiswa yang
mendaftar diharuskan membawa surat keterangan bebas narkotik
dari dokter.
Di Universitas Indonesia (UI), khususnya Kampus Rawamangun,
menurut sebuah sumber, "keadaannya seperti dulu-dulu juga."
Artinya, hanya ada sekitar belasan orang. Itu pun bukan ganjais
kelas berat.
Namun secara umum, jumlah kasus ganja terus meningkat. Di
Jakarta tahun 1980 ada 151 perkara yang melibatkan 264
tersangka. Tahun 1981, 150 perkara dengan 272 pelaku. Dan tahun
ini, sampai dengan bulan Oktober, jumlah kasus yang ditangani
Kodak VII Jaya, 214 dan melibatkan 338 tersangka. Di Medan,
sampai November lalu polisi menangani 112 kasus narkotik. Ada
kenaikan dibanding tahun lalu yang hanya 90 kasus.
Angka-angka itu memang tak menjadi ukuran bahwa jumlah pecandu
narkotik meningkat. Itu bisa saja karena pihak polisi aktif
sehingga banyak yang tertangkap. Sebaliknya, menurut Gordon,
angka bisa menurun pada saat operasi mengendur karena polisi
menggarap tugas lain yang lebih penting, seperti: ikut
mengamankan pemilu dan Sidang Umum MPR.
Tapi benarkah ganja berbahaya bagi orang-orang muda? Ruddy G.
Gantika psikolog tamatan UI tahun 1982, menganggap ganja tak
berbahaya bila digunakan dengan batas-batas tertentu. Ia
mendasarkan pendapatnya pada studi kasus dalam menyusun
skripsinya berjudul "Motivasi Dalam Menggunakan Marijuana." Ia
memilih empat ganjais mahasiswa dan empat lagi penganggur muda
tamatan SLA.
Prestasi mahasiswa yang ditelitinya, ternyata tak terpengaruh
karena mengisap ganja. Mereka tetap giat belajar, aktif dah
bergaul normal. Tapi memang, motivasi mereka mengisap ganja
semata karena "ingin mencari pengalaman yang lain." Sehingga
mereka tetap bisa mengontrol diri. Jika menghadapi ujian,
misalnya, mereka tak akan mengisap ganja sebab tahu akibatnya
tak akan bisa berkonsentrasi dengan baik. Kecuali di waktu
senggang, ketika hendak pergi menonton atau ingin lebih
menikmati musik, kepulan asap ganja mereka perlukan.
Kelompok mahasiswa itu berbeda dengan kelompok penganggur, yang
motivasinya ingin melepaskan diri dari persoalan yang dihadapi.
Dan karena tak berhasil, "mereka pun terjerat dalam lingkaran
setan."
Jadi, menurut Ruddy, asal saja penggunaannya "tepat" seperti
dilakukan mahasiswa itu, ganja tak akan menimbulkan pengaruh
negatif. Namun diakui, simple kecil yang ditelitinya, "tidak
dapat digeneralisasikan pada setiap pemakai ganja."
Sulebar, misalnya, justru mendapati mahasiswa ganjais di IKJ
tahun 1971-an kebanyakan drop out di tahun kedua. "Mereka juga
jadi tertutup dan merasa rendah diri," kata dosen yang dikenal
sebagai pembimbing korban narkotik itu.
Sulebar memang sedih melihat mahasiswa yang sampai terjerumus
menjadi ganjais. Apalagi kalau sampai berurusan dengan polisi
dan masuk penjara. Padahal, di penjara ganja juga bisa dibelil!
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini