Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Lima perempuan mengajukan uji materi soal pasal penculikan anak ke Mahkamah Konstitusi.
Gugatan itu diajukan setelah anak mereka dibawa kabur oleh mantan suaminya dan laporannya ditolak kepolisian.
Padahal mereka memiliki hak asuh sesuai dengan putusan pengadilan.
JAKARTA — Perkumpulan Pejuang Anak Indonesia (PPAI) mengajukan gugatan uji materi terhadap Pasal 330 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana soal penculikan anak ke Mahkamah Konstitusi (MK). Gugatan itu dilakukan untuk mempidanakan mantan suami atau istri yang tidak patuh terhadap putusan hak asuh anak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mereka mengajukan gugatan uji materi terhadap Pasal 330 ayat (1) KUHP yang berbunyi, ”Barang siapa dengan sengaja menarik seorang yang belum cukup umur dari kekuasaan yang menurut undang-undang ditentukan atas dirinya, atau dari pengawasan orang yang berwenang untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.”
Gugatan dengan nomor 140/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh lima perempuan, yakni Aelyn Halim, Shelvia, Nur, Angelia Susanto, dan Roshan Kaish Sadaranggani. Mereka adalah ibu yang memperoleh hak asuh atas anak setelah perceraian. Namun kelimanya tidak mendapat hak tersebut karena anak mereka diambil secara paksa oleh mantan suaminya, sementara laporan mereka ke kepolisian menggunakan Pasal 330 ayat (1) KUHP mendapatkan penolakan.
Kuasa hukum pemohon, Sisca Siagian, mengatakan polisi, berdalih tak bisa memproses laporan itu karena bunyi Pasal 330 KUHP itu tidak bisa mengakomodasinya. Polisi menilai tindakan para mantan suami itu bukan penculikan karena mereka memiliki hak sebagai ayah kandung dari si anak. “Kepolisian dan kejaksaan kurang komitmen dan konsisten dalam pengimplementasian normatifnya. Poin gol kami adalah kepastian hukum,” kata Sisca seusai sidang di MK, Rabu, 6 Maret 2024.
Sisca mencontohkan kasus yang dialami oleh Aelyn Halim. Putri Indonesia Favorit 2010 itu memegang hak asuh atas anaknya berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 708/Pdt.G/2020/PN Jkt.Sel. Putusan itu pun diperkuat di tingkat banding hingga kasasi.
Namun Aelyn kehilangan putrinya karena dibawa kabur mantan suaminya sejak 15 Agustus 2020. Saat itu, putrinya berusia 2 tahun 8 bulan dan masih sangat membutuhkan sosok seorang ibu. Hingga kini, menurut Sisca, Aelyn tak mengetahui keberadaan putrinya tersebut karena si mantan suami menutup semua akses komunikasi.
Contoh lain tidak adanya kepastian hukum atas hak asuh anak itu juga terjadi pada pemohon lainnya, Roshan Kaish Sadaranggani. Menurut Sisca, dua anak Roshan diculik oleh mantan suaminya sejak 21 Januari 2021. Padahal Roshan memegang hak asuh kedua anaknya itu berdasarkan keputusan PN Jakarta Utara Nomor 201/Pdt.G/2020/PN Jkt.Utr.
Upaya Roshan meminta PN Jakarta Utara melakukan eksekusi terhadap hak asuh itu pun mentok. PN Jakarta Utara menolaknya dengan alasan tidak ada aturan soal eksekusi hak asuh. Polisi pun menolak laporan Roshan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nasib lebih nahas dialami Nur, yang juga menjadi pemohon. Nur dan mantan suaminya memiliki dua anak. Si mantan suami menculik anak keduanya pada 9 Desember 2022. Penculikan itu membuat ketakutan mendalam terhadap anak pertamanya yang kemudian mengalami depresi sehingga sempat tak naik kelas. Laporan Nur ke Polda Metro Jaya sebenarnya sempat diterima pada 14 Desember 2022. Namun hingga kini laporan tersebut bak hilang ditelan bumi.
Virza Roy Hizzal, yang juga menjadi kuasa hukum pemohon, menilai ketidakpastian hukum itu tak lepas dari penafsiran berbeda-beda para aparat penegak hukum terhadap frasa 'barang siapa' dalam Pasal 330 ayat (1) KUHP. "Akibat ketidakpastian hukum dan multitafsir tersebut adalah proses hukum yang dialami para pemohon menjadi suatu kesesatan dalam bernegara hukum," kata Virza.
Sebagai contoh multi tafsir itu, Virza mengajukan sejumlah kasus seperti yang dialami para pemohon namun sempat diproses oleh kepolisian, bahkan hingga berkekuatan hukum tetap. Mereka merujuk pada putusan Pengadilan Negeri Gianyar yang memutus bersalah seorang ibu pada 2018 karena menculik anak kandungnya dari tangan mantan suami yang memegang hak asuh.
Ada juga perkara seorang ibu di Pengadilan Negeri Bandung yang divonis tak bersalah karena kasus itu dianggap masuk ke ranah perdata. “Dua putusan yang berbeda itu memperlihatkan adanya ketidakpastian hukum dan penafsiran yang berbeda-beda terhadap frasa ‘barang siapa’ dalam Pasal 330 ayat (1) KUHP,” timpal Sisca.
Karena itu, dalam gugatannya, para pemohon menilai frasa 'barang siapa' dalam Pasal 330 ayat (1) KUHP bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (3), Pasal 28B ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28F, Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28 J Undang-Undang Dasar 1945. Mereka meminta MK menyatakan frasa itu tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat kecuali dimaknai, ”Setiap orang tanpa terkecuali ayah dan ibu kandung dari anak.” Dengan kata lain, mereka meminta MK menetapkan bahwa ayah dan ibu kandung juga bisa diproses secara hukum karena dugaan penculikan.
Kuasa pemohon dari lima ibu, Virza Roy Hizzal, dalam sidang pengujian Pasal 330 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 1946 (KUHP 1946) di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 15 November 2023. mkri.id/Humas/Ifa.
Dalam sidang kemarin, Dirjen Peraturan Perundang-undangan Kemenkumham Asep Nana Mulyana, yang mewakili pemerintah, mengatakan permohonan pengujian Pasal 330 ayat (1) KUHP sejatinya tidak dapat diterima. Alasannya, bunyi pasal itu tidak berkaitan dengan inkonstitusionalitas. “Melainkan hanya perbedaan tataran praktik pada penegak hukum,” kata Asep.
Asep melanjutkan, frasa "barang siapa" yang dipersoalkan dalam gugatan itu pun juga tidak bertentangan dengan Pasal 28B ayat (1) dan 28D ayat (1) UUD 1945. Alasannya, frasa itu sejatinya melingkupi seluruh manusia tidak terkecuali jabatan dan kedudukan. “'Barang siapa' berarti pelakunya adalah siapa saja, yang dalam pembaruan KUHP, barang siapa ini diganti menjadi setiap orang,” kata Asep.
Asep menambahkan, soal keterangan para pemohon yang menyebutkan kepolisian menolak laporan, hal itu menjadi catatan bagi pemerintah. Seharusnya, menurut dia, kepolisian tidak boleh menolak laporan sebagai bentuk kehadiran negara menjamin kepastian hukum kepada setiap warganya. “Seharusnya pihak berwajib memberikan pelayanan terbaik. Laporan tetap harus ditindaklanjuti sebagai upaya negara melindungi anak,” kata Asep.
Anggota Komisi III DPR, Taufik Basari, yang juga didengarkan keterangannya dalam sidang kemarin, mengatakan pihaknya menyerahkan seluruh putusan kepada MK. Meski demikian, ia menegaskan bahwa frasa "barang siapa" itu sudah diganti dengan frasa "setiap orang" dalam UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terbaru. “Tidak ditindaklanjutinya laporan tersebut tak ada hubungan sebab-akibat dengan ketentuan pasal yang dimohonkan (Pasal 330 ayat 1 KUHP),” kata Taufik.
ADE RIDWAN YANDWIPUTRA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo