Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Pucuk Dicinta Ulam Dan Pajak Tiba

Paket 27 oktober 1988 adalah kebijaksanaan yang substansial sekali artinya bagi operasi bank, lembaga keuangan bukan bank, bank koperasi dan bank-bank pasar serta lumbung desa.

5 November 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PAKET deregulasi 27 Oktober 1988 mengandung hal yang konkret dan yang abstrak. Yang kongkret adalah dikenakannya pajak atas bunga deposito berjangka dengan tingkat 15% bagi semua deposan, berapa pun jumlah uang yang mereka taruh. Yang abstrak adalah deregulasi yang amat substansial sifatnya di bidang keuangan, moneter, dan perbankan. Ada baiknya pembahasan dimulai dengan yang kongkret, yaitu pajak atas bunga deposito berjangka yang saat ini mencapai Rp 10,7 trilyun. Pengenaan pajak dimulai sejak 14 November 1988. Jadi, bagi deposan yang memperoleh bunga sebelum 14 November, bunga deposito mereka tidak terkena pajak. Bila diasumsikan bahwa jumlah deposito berjangka yang terkena pajak berkisar pada Rp 18 trilyun (jadi kalau ada yang menarik depositonya jumlahnya tidak besar -- paling tinggi Rp 700 milyar), dan rata-rata bunga yang diperoleh untuk deposito berjangka 1,3, 6, dan 12 bulan adalah 18% atau 1,5% per bulan, maka total bunga deposito berjangka yang kena pajak dalam satu tahun besarnya Rp 3,24 trilyun. Pajak yang diperoleh pemerintah dengan adanya Paket 27 Oktober 1988 adalah 15% dari itu, atau lebih kurang Rp 486 milyar. Penerimaan pajak sebesar kurang dari Rp 0,5 trilyun itu cukup kecil dilihat dari APBN 1988-1989, yang menargetkan penerimaan pajak total Rp 9 trilyun lebih. Maka, keterangan Menko Ekuin bahwa dilihat dari penerimaan pemerintah, pajak atas bunga deposito berjangka itu kecil artinya, tampaknya bukan mengada-ada. Jumlah yang kurang dari 6% dari total target penerimaan pajak, dilihat dari pajak migas, nilainya lebih kecil dari perbedaan harga 1 dolar AS per barel dari asumsi harga minyak. Dilihat dari tingkat suku bunga, pajak atas bunga deposito berjangka menurunkan penerimaan deposan dari, katakan, 18% sebelum terkena pajak menjadi 15,3% netto setelah dikenai pajak. Tingkat netto 15,3% itu lebih tinggi lari tingkat suku bunga deposito dalam mata uang dolar di AS maupun di Indonesia. Kalau ada keinginan membandingkan tingkat suku bunga deposito rupiah setelah pajak atas deposito mulai berlaku, dengan deposito dalam mata uang lain, perbandingannya tidaklah atas tingkat suku bunga nominal, tetapi riil. Yaitu tingkat nominal dikurangi inflasi. Dari segi ini, tingkat suku bunga riil amat bergantung pada pengendalian inflasi. Bila inflasi di Indonesia sama dengan tahun-tahun sebelumnya, maka tingkat suku bunga riil deposito berjangka, dengan asumsi tingkat nominal 18%, adalah antara 7% dan 7,5% untuk satu tahun setelah dikenai pajak. Tingkat suku bunga riil ini pun jauh di atas tingkat suku bunga riil dolar AS, yen Jepang, dan DM. Maka, kalaupun ada orang atau badan yang mau memindahkan deposito berjangka rupiah mereka ke deposito mata uang lain di luar negeri, sebabnya hanyalah psikologis, terutama antisipasi tentang kemungkinan devaluasi. Isu devaluasi ini sebenarnya telah mulai mereda setelah paket deregulasi itu sendiri keluar tanggal 27 Oktober 1988. Bagaimana dengan hal yang lebih "abstrak"? Bagi pengusaha money changer, yang dulu sekali setahun harus meminta izin usaha Paket 27 Oktober 1988 amat konkret artinya. Kini dengan satu kali izin, ia dapat berusaha untuk seterusnya, sepanjang ia tidak melakukan penyimpangan. Bagi usaha jasa bank, paket ini juga amat konkret nilainya. Sebelum Paket 27 Oktober, usaha membuka bank tertutup, tapi kini terbuka luas. Ironis sekali jadinya pembelian bank baru-baru ini oleh PT Arta Pusara sebesar 30 milyar oleh Panin Bank, karena kini dengan modal yang disetor 10 milyar saja, sebuah bank umum dapat didirikan. Deregulasi 27 Oktober 1988 adalah kebijaksanaan yang substansial sekali artinya bagi operasi bank, lembaga keuangan bukan bank, bank koperasi, dan bank-bank pasar serta lumbung desa. Bukan saja izin-izin yang dipermudah, melainkan juga aturan permainan yang baru mulai tampak sosoknya. Dari segi izin, kini perluasan operasi bank asing dan bank campuran berikut cabang-cabang mereka di berbagai kota penting akan segera menjadi kenyataan. Tapi pemerintah cukup jeli dalam menghindari terjadinya capital flight dari daerah ke luar negeri. Bank-bank asing dan bank campuran (asing join dengan swasta nasional) harus mencapai 50% kredit ekspor dari todal kredit yang mereka berikan. Segi yang amat berani dari Paket 27 Oktober 1988 adalah penurunan likuiditas wajib minimum. Kini likuiditas yang wajib dipegang oleh bank (biasanya disebut reserve requirements) hanya 2% dari jumlah kewajiban kepada pihak ketiga (giro, deposito, dan tabungan). Dulunya, reserve requirements itu 15%, sehingga penurunan yang demikian tajam akan mempunyai dampak peningkatan kapasitas pemberian kredit dari bank. Akses kepada kredit bank akan melonjak secara amat cepat, hal yang bukan tidak mengandung bahaya inflasi. Masyarakat sendiri telah semakin meluas menggunakan uang. Rasio likuiditas nasional, yaitu rasio dari uang luas (uang kertas, giro, deposito berjangka tabungan) atau M-2 terhadap Produk Domestik Bruto terus meningkat dari di bawah 34% di akhir 1986 menjadi sekitar 44% untuk 1988. Rasio likuiditas nasional ini sering juga dijadikan ukuran tingkat monetisasi di masyarakat. Perubahan, dalam arti penurunan, reserve requirements akan mempunyai potensi untuk semakin memperluas monetisasi perekonomian. Soal yang paling crucial di sini ialah mengusahakan monetisasi tanpa meningkatkan inflasi. Meluasnya jumlah bank dan jumlah kredit akan semakin meningkatkan arus uang beredar dan percepatan sirkulasi uang (velocity of circulation). Inflasi bisa dihindari bila arus barang juga bergerak bebas tanpa hambatan-hambatan kuantitatif dan harga atau pungutan. Menko Ekuin Radius Prawiro telah menyatakan bahwa Paket 27 Oktober 1988 adalah langkah pertama dari rangkaian paket deregulasi selanjutnya. Paket yang akan datang, menurut Menko Ekuin, akan mencakup bidang-bidang perdagangan internasional, investasi modal, dan perusahaan-perusahaan negara. Tanpa paket deregulasi di sektor riil itu (perdagangan dalam dan luar negeri, investasi dan lembaga ekonomi seperti BUMN), maka betapapun paket deregulasi di sektor moneter (Paket 27 Oktober 1988), kita akan menghadapi masalah-masalah dan kesukaran-kesukaran baru yang amat gawat. Kita tetap harus ingat, uang minyak mulai sirna dan utang luar negeri amat berat. Paket 27 Oktober 1988 agak melegakan, tapi kita jangan terjebak dengan suasana euphoria. Persoalan ekonomi kita masih amat gawat dan memerlukan penanganan dan deregulasi yang terus-menerus di segala aspek ekonomi kita.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus