AKAN berakhirkah masa-masa gelap bagi pesakitan di tempat tahanan polisi dengan efektifnya hukum acara baru (KUHAP) sejak 1 Januari lalu? Sekurang-kurangnya, Menteri Kehakiman Ali Said mengumumkan tekadnya untuk itu, pada konperensi pers menyambut habisnya masa peralihan KUHAP, akhir tahun lalu. "Mulai tahun baru ini, segala sesuatu yang diatur KUHAP harus dilaksanakan," ujar Ali Said. Untuk melaksanakan semua ketentuan itu, menurut Ali Said, pihaknya bersama ketua Mahkamah Agung, Jaksa Agung, dan Kapolri telah menghitung semua hambatan yang timbul selama masa peralihan. Hasilnya: Menteri Kehakiman mengeluarkan Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP untuk melengkapi pedoman dan peraturan pelaksanaan yang sudah dlkeluarkan sebelumnya. Namun. tambahan pedoman itu pula yang kini, ternyata, mencemaskan para ahli hukum di "luaran". Salah satu hak asasi tersangka yang mendapat pengakuan penuh dalam KUHAP, yaitu hak untuk didampingi penasihat hukumnya setiap waktu, kini dibatasi. Menurut Ali Said, arti "setiap waktu" itu hendaknya diterjemahkan "pada jam kerja" saja. "Apa itu tidak berarti kita kembali ke zaman HIR?" komentar direktur Klinik Hukum Peradin, Rusdi Nurima, yang sering menangani kasus praperadllan. Alasan yang dikemukakan Rusdi, pihak penyidik atau polisi 'kan bebas memeriksa tersangka di luar jam kerja? Menurut Rusdi, seharusnya peraturan pelaksanaan atau tambahan pedoman yang dikeluarkan menteri menutup lubang-lubang pada KUHAP yang selama ini mengganggu dalam pelaksanaan. Misalnya kata Rusdi, selain pembatasan masa tahanan, jangka waktu polisi menyidik tersangka yang tidak ditahan juga perlu ditentukan. sebab, pengalaman selama dua tahun ini, menurut Rusdi lagi, banyak tersangka yang lebih menderita daripada yang ditahan. "Mereka diperiksa berbulan-bulan, tanpa tahu kapan perkaranya akan disidangkan," tutlr pengacara itu. Sekretaris jenderal Peradin, Maruli Simorangkir, juga keberatan dengan pengurangan hak tersangka untuk didampingi pembelanya itu. Maruli memahami kerepotan petugas kepolisian untuk menerima para penasihat hukum setiap waktu menemui kliennya. "Tapi, pemecahannya bukan dengan mengurangi hak tersangka itu melainkan menambah tenaga polisi," ujar Maruli. Maruli juga meragukan ke mampuan dan pengetahuar polisi sebagai penyelidik tunggal "Pengetahuan hukum mereka masih dangkal," ujar Maruli lagi. Buktinya? Satu saja: banyak perkara perdata yang ditanganl aparat negar itu sebagai perkara pidana. Memang ada lembaga pra pengadilan yang bisa dimanfaatkan tersangka yang merasa dirugikan. Hanya saja, lembaga yang berhak memeriksa kesalahan penahanan, penangkapan, dan penyidikan itu sampi kini belum berfungsi sepenuhnya. Salah satu penyebabnya, belum ada peraturan pelaksanaan dari menteri keuangan mengenai tata cara pembayaran ganti rugi akibat kesalahan para penegak hukum itu. Padahal, peraturan pelaksanaan yang dikeluarkan menteri kehakiman, misalnya bahwa ganti rugi Rp 3.000 sehari untuk setiap kesalahan penahanan, digantungkan pada peraturan lebih lanjut dari menteri keuangan. Sedangkan, penetapan ganti rugi sebesar Rp 3.000 saja, menurut Rusdi, sudah tidak memuaskan. "Seharusnya yang berhak menentukan ganti rugi itu adalah hakim yang mengadili. Sebab, mereka yang tahu berapa besar keruian setiap tersangka akibat penahanan tidak sah itu," ujar Rusdi. Soal lain yang terlupakan, menurut Rusdi adalah sanksi bagi polisi yang sudah dinyatakan bersalah oleh hakim praperadilan. "Salah seorang polisi yang kalah ketika saya gugat di praperadilan sekarang justru naik pangkat. Bagaimana mungkin ia akan Derhatl-hati - main tangkap dan tahan - diwaktu mendatang?" kata Rusdi yang mengaku pernah memenangkan tiga kali sidang praperadllan. Ketua Pos Bantuan Hukum (Posbakum) Peradin Jaya, Denny Kailimang, melihat kelemahan lain yang sampai kini tidak ditutupi: soal Denhentian Dendidikan. Banyak saksi pelapor yang mengeluh bahwa pengaduan mereKa tidak ditanggapi polisi. Untuk itu, sebenarnya, dalam KUHAP diberi wadah: mereka bisa menuntut melalui praperadilan. "Tetapi, ketika gugatan diajukan, polisi memberi alasan bahwa mereka masih melakukan penyidikan dan tidak benar telah menghentikannya," ujar Denny. "Sarmpai kapan? Itu yang tidak diatur lebih lanjut," kata Denny kesal. Namun, hampir semua penacara yang, banyak bergulat dalam perkara pidana mengakui, banyak kemajuan yang dicapai berkat adanya KUHAP. Rusdi punya contoh menarik untuk itu. Seorang kliennya ditangkap polisi, pukul 11 siang, 14 November lalu. Sesuai dengan KUHAP, polisi hanya berhak menahan tersangka yang ditangkap itu selama 2 4 jam, dan setelah itu harus meneluarkan surat perintah penahanan. Keesokan harinya, polisi pun membuat surat itu, tapi terlambat lima jam. Penahanan tidak sah selama lima jam itu dituntut Rusdi ke praperadilan. Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Endang Sutadi, menyatakan bahwa polisi bersalah. "Bayangkan, hanya lima jam. DuIu, berbulan-bulan orang ditahan tanpa surat, tidak ada yang menghukum polisi," ujar Rusdi. Kemajuan terbesar sejak KUHAP, menurut ketua Peradin Jaya, Yan Apul, adalah soal tersangka yang bisa didampingi penasihat hukumnya sejak pemeriksaan pendahuluan itu. "Dulu, izin mendampingi itu hanya didapat jika kita kenal baik denan polisinya. Sekarang, hak itu otomatis diberikan polisi," ujar Yan Apul. Dengan demikian, "Tersangka merasa aman, baik fisik maupun psikis, sementara pengacara bisa mengetahui suatu kasus sejak pemeriksaan awal," katanya. Sebab itu pula, semua pengacara memprotes Menteri Kehakiman yang mereka anggap mengurangi hak itu, dengan hanya memberi Izin penasihat hukum mendampingi kliennya pada jam kerja saja. Ketua Mahkamah Agung, Mudjono, yang ikut membidani lahirnya KUHAP, sependapat dengan para pengacara Kalau pengacara hanya boleh datang pada Jam kerja, pemeriksaan Juga hanya boleh dilakukan pada jam kerja," ujar Mudjono, yang mengaku belum membaca tambahan pedoman KUHAP itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini