Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Indonesia Police Watch (IPW) bersama Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) melaporkan dugaan tidak pidana korupsi pemotongan honorarium penanganan perkara (HPP) hakim agung ke KPK. Laporan itu didasari atas pemotongan honor sebanyak 25,95 persen untuk setiap hakim agung yang berhasil menuntaskan perkara kasasi dalam waktu 90 hari. Honor itu di luar gaji dan tunjangan hakim agung.
Ketua IPW Sugeng Teguh Santoso mengatakan, hakim agung yang berhasil menuntaskan perkara kasasi dalam waktu 90 hari kalender berhak mendapatkan HPP berdasarkan PP nomor 82 tahun 2021 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim Agung dan Hakim Konstitusi. Tapi dalam praktiknya, para hakim agung itu tak terima full honor tersebut.
“Hakim hanya terima 60 persen, 14,05 persen dibagikan kepada tim pendukung seperti asisten hakim agung dan panitera, nah 25,95 persen tidak jelas peruntukannya,” kata Sugeng di Gedung KPK, Rabu, 2 Oktober 2024.
Sugeng mengatakan, menurut informasi yang diterimanya, pemotongan itu dilakukan sejak 2021 berdasarkan kesepakatan bersama para hakim agung. “Nah ini dibenarkan enggak dalam sistem hukum kita. Kalau hak itu sudah diberikan bolehkah atas dasar kesepakatan diminta,” kata Sugeng.
Sugeng mengatakan, atas dasar itulah dirinya membuat laporan pengaduan masyarakat (dumas) ke KPK. Karena menurutnya, lembaga antirasuah itu memiliki kewenangan menyelidiki apakah ada unsur tindak pidana korupsi dalam pemotongan honor hakim agung tersebut.
“Kami minta ini didalami. Deliknya bisa masuk pemerasan dalam jabatan,” kata Sugeng.
Jika dikalkulasi, kata Sugeng, total potongan yang tidak jelas peruntukannya yakni sebanyak 25,95 persen dari total HPP hakim agung, selama tiga tahun mulai dari 2021 hingga saat ini nilainya mencapai kurang lebih Rp 90 miliar.
Berdasarkan salinan dokumen yang diterima Tempo, untuk pemotongan tersebut, hakim agung menandatangani dua surat. Pertama, surat pernyataan bersedia memberikan 40 persen HPP kepada tim pendukung penyelesaian perkara kasasi dan peninjauan kembali di Mahkamah Agung (MA). Kedua, surat kuasa kepada Bank Syariah Indonesia (BSI) untuk melakukan autodebet sebesar 40 persen dari honorarium tersebut.
Seorang sumber Tempo di lingkungan MA menyebut, seorang hakim agung bisa meraup honorarium penyelesaian perkara (HPP) sekitar Rp 100 juta per bulan. Jumlah itu setelah dipotong 40 persen.
Amelia Rahima Sari berkontribusi dalam pembuatan artikel ini.
Pilihan Editor: KPK Periksa 2 Saksi dari Sarana Jaya Kasus Dugaan Korupsi Pengadaan Tanah DP Nol Rupiah di Rorotan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini