Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi organisasi pegiat HAM, Jaringan Tolak Hukuman Mati (JATI), meminta pemerintah Indonesia juga melakukan evaluasi terhadap ratusan terpidana mati yang masih berada dalam deret tunggu eksekusi, buntut kesepakatan transfer of prisoner atau pemindahan tahanan Mary Jane Fiesta Veloso ke negara asalnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mereka berpendapat, peluang evaluasi dengan jaminan adanya komutasi perubahan hukuman mati menjadi hukuman lain perlu diberikan kepada para terpidana mati. “Paling tidak terhadap 114 orang yang sudah dalam deret tunggu eksekusi harus menjadi subjek evaluasi untuk komutasi,” demikian tertulis dalam keterangan resmi yang dikeluarkan JATI, dikutip Jumat, 22 November 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hal ini, tutur koalisi tersebut, perlu dilakukan segera sebagai mandat kebaruan aturan hukuman mati dalam Pasal 100 dan Pasal 101 Undang-Undang No. 1 tahun 2023 tentang KUHP (KUHP 2023). Dalam pasal tersebut tertuang bahwa pidana mati hanya menjadi pilihan terakhir atau pidana alternatif.
Kabar mengenai rencana kembalinya terpidana mati Mary Jane Veloso ke Filipina disampaikan oleh Presiden Ferdinand "Bongbong" Marcos Jr melalui akun media sosial resminya, pada Rabu, 20 November 2024.
“Mary Jane Veloso akan pulang,” demikian tulis Bongbong di akun X @bongbongmarcos.
Bongbong menyebut keputusan ini sebagai hasil diplomasi dan konsultasi yang panjang antara pemerintah Filipina dan Indonesia. “Kami berhasil menunda eksekusinya cukup lama hingga mencapai kesepakatan untuk akhirnya memulangkannya ke Filipina,” kata dia.
Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, menyatakan bahwa status pidana Mary Jane Fiesta Veloso usai pemindahan narapidana atau transfer of prisoner menjadi kewenangan pemerintah Filipina sepenuhnya. Rencananya, Mary Jane akan kembali ke negara asalnya untuk menjalani sisa hukuman pada Desember 2024 mendatang.
Yusril menyebut bahwa Presiden Prabowo Subianto tidak memberikan pengampunan kepada Mary Jane, tetapi dia dipindahkan ke Filipina untuk menjalani hukuman sesuai putusan pengadilan Indonesia di sana.
“Ada kemungkinan Presiden Marcos akan memberikan grasi, mengubah hukuman mati itu menjadi hukuman seumur hidup,” ucap Yusril ketika dihubungi Tempo melalui sambungan telepon, Kamis, 21 November 2024. Yusril pun memastikan pemberian grasi itu sepenuhnya menjadi kewenangan negara tersebut.
Namun, ia juga menegaskan bahwa pemerintah Indonesia akan memantau kelanjutan proses pidana Mary Jane Veloso di Filipina. “Begitu dipindah ke sana, dia tetap ditempatkan di penjara dan kami tetap punya akses untuk memantau,” ucapnya.
Adapun Mary Jane Veloso merupakan pekerja rumah tangga yang ditangkap Petugas Bea dan Cukai Banda Udara Adisutjipto Yogyakarta pada 25 April 2010. Ia kedapatan membawa 2,6 kilogram heroin dalam kopernya. Sejumlah organisasi pegiat HAM menilai Mary Jane sebagai korban sindikat narkoba dan tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Pasalnya, koper yang dibawanya itu diberikan oleh temannya, Maria Christina Sergio.
Enam bulan sejak penangkapan, pada 11 Oktober 2010, Pengadilan Negeri Sleman, Yogyakarta, menjatuhkan hukuman mati kepada Mary. Berbagai upaya hukum seperti permohonan banding dan Peninjauan Kembali (PK) telah dilalui. Pada 30 Desember 2014, permintaan grasi Mary ditolak oleh Presiden Joko Widodo.
Eksekusi mati terhadap Mary Jane rencananya dilaksanakan di Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah, pada 29 April 2015. Namun, pemerintah Indonesia menunda pelaksanaan eksekusi mati itu dengan alasan menunggu proses hukum di Filipina selesai.