Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ahli Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada (UGM), Fatahilah Akbar, mengatakan perlu riset lebih jauh terhadap penerapan hukuman mati bagi pelaku tindak pidana narkotika. Sebab, selama ini, hukuman mati tidak efektif dalam menekan kasus peredaran narkotika di Tanah Air.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dia menilai, tidak efektifnya hukuman mati dalam menekan kasus peredaran narkoba karena dalam praktiknya, aparat penegak hukum hanya menjerat distributor atau pengedar narkoba kecil. Sedikit sekali bandar besar narkoba yang terjerat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Oleh karena itu, tidak menyelesaikan masalah narkotika," kata Fatahilah kepada Tempo, Jumat, 11 Oktober 2024.
Pakar hukum pidana UGM ini berkata kasus narkoba di Indonesia tinggi karena pengguna narkotika dikenakan pasal-pasal pengedar dan tidak mendapatkan rehabilitasi. Dengan tidak adanya program rehabilitasi, maka mereka yang pernah terpapar narkoba akan menggunakan lagi. Menurut dia, inilah yang menjadi penyebab penuntasan kasus narkoba di Indonesia tak kunjung berhasil apabila dibanding dengan Portugal.
"Kenapa Portugal bisa berhasil? Karena fokus merehab pengguna bahkan mendekriminalisasi bertahap terhadap pengguna," ujarnya.
Menurut dia, upaya penanganan tindak pidana narkoba yang efektif adalah melakukan rehabilitasi para pengguna dan tidak menjeratnya dengan pasal pengedar. Ia menggarisbawahi bahwa bandar-bandar dan produsen narkotika lah yang seharusnya dijerat pidana.
Fatahilah pun mencontohkan kasus narkoba Teddy Minahasa yang dijerat hukuman penjara seumur hidup, sedangkan Mary Jane korban TPPO justru pidana mati. "Oleh karena itu, kurangi disparitas, itu yang penting," ucap dia.
Sebelumnya, Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) mencatat vonis hukuman mati selama dua periode kepemimpinan Presiden Jokowi ada 518 vonis. Sebanyak 260 vonis pidana mati untuk kasus narkotika.
Untuk eksekusi mati, angkanya tidak setinggi itu, karena mayoritas para terpidana mati banyak yang masih ada di deret tunggu hukuman mati. Total terpidana mati saat ini dari 2017- 19 Oktober 2023 yang berada di deret tunggu eksekusi mati di Indonesia ada 509 orang. Ada sebanyak 351 terpidana mati di daftar deret tunggu untuk kasus narkotika.
ICJR pun dalam laporannya, April 2024, menyebut sepanjang 2023, terjadi penambahan dengan total 218 kasus pidana baru yang dituntut dan/atau divonis dengan pidana mati dengan jumlah terdakwa sebanyak 242 orang. Angka penambahan kasus pidana mati baru yang terkumpul pada periode pelaporan tahun 2023 memperlihatkan tren penambahan kasus yang terus meningkat selama lima tahun terakhir.
Tren penambahan kasus yang dituntut dan/atau divonis pidana mati pada 2023 masih didominasi oleh tindak pidana narkotika (89 persen). Bahkan dari penerapan kasus pidana mati di Indonesia secara umum, terdapat setidaknya 11 terdakwa yang sebelumnya pernah dituntut dan/atau divonis pidana mati kemudian kembali dituntut dan/atau divonis dengan pidana mati untuk kedua kalinya atau lebih.
Perihal jumlah seluruh orang dalam deret tunggu terpidana mati, sampai dengan Oktober 2023, terdapat penambahan sebanyak 81 orang (19 persen) yang berada di dalam deret tunggu pidana mati di Indonesia. Total terpidana mati per 19 Oktober 2023 yang berada di deret tunggu eksekusi mati di Indonesia ada 509 orang.
Kasus narkotika/psikotropika masih menduduki posisi tertinggi, yaitu sebanyak 351 (69 persen) terpidana mati. Sedangkan total terpidana mati yang telah berada dalam deret tunggu eksekusi lebih dari 10 tahun per Februari 2024 diperkirakan berjumlah 110 orang.