TATAPAN mata puluhan pengunjung tak mampu membendung air mata Nyonya Lisa Fransisca, 35 tahun. ''Saya terharu karena hakim mengabulkan gugatan kami,'' ucap Lisa terisak sambil menyalami satu per satu anggota majelis yang menyidangkan perkara almarhum suaminya. Ini terjadi sesaat setelah Hakim Ngakan Nyoman Rai mengetukkan palunya pada persidangan yang diliput jaringan televisi itu, Kamis pekan lalu, di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Yang dikabulkan hakim adalah sebagian gugatan atas perusahaan pelayaran Pali Hota Dayaka pemilik kapal Dayaka IV dan kapten kapal Dayaka IV, Gozali. Kedua tergugat itu dihukum membayar ganti rugi Rp 150 juta kepada keluarga almarhum Mardongan Halomoan Hutasoit. Kendati jumlah yang dikabulkan lebih kecil dari yang dituntut (Rp 300 juta), Lisa merasa puas. ''Dengan kemenangan ini, semoga arwah almarhum bisa lebih tenang,'' kata ibu satu anak itu. Gugatan Lisa, karyawan Departemen Pertanian, itu menyangkut tanggung jawab seorang kapten dan pemilik kapal terhadap anak buah kapal (ABK). Lisa, lewat Pengacara Omri Naibaho, mempersoalkan kematian Mardongan Halomoan Hutasoit di atas kapal motor Dayaka IV. Ia menyebut kematian Mardongan disebabkan oleh kelalaian dan kecerobohan pemilik dan kapten kapal. Mereka dituding tidak mematuhi peraturan pelayaran internasional. Mardongan, yang baru setengah tahun menjadi ABK Dayaka IV, meninggal pada 11 Januari 1990 di atas kapal yang tengah berlayar dari Nagoya menuju Singapura. Sebelumnya, di perairan Hong Kong, ia mengeluh sesak napas dan sakit kerongkongan. Karena itu, tatkala berlabuh di Hong Kong, Mardongan diperiksakan ke dokter setempat. Hasilnya, Mardongan dinyatakan terkena gangguan saluran pernapasan. Ia juga dinyatakan layak kerja, tak perlu masuk rumah sakit. Esoknya, kapal berlayar menuju Singapura. Mardongan kembali mengeluh sesak napas. Atas keluhan ini, Nakhoda Gozali memberikan obat gosok Vicks. Upaya ini tak menolong. Kondisi Mardongan kian memburuk, sementara pelabuhan masih jauh. Pagi 11 Januari 1990, Mardongan diketahui meninggal dalam keadaan tertelungkup dengan kaki terlipat di muka kamarnya. Baru esoknya kapal bisa merapat di Singapura. Berdasarkan hasil otopsi, Mardongan dinyatakan meninggal karena sakit bronchopneumonia (peradangan saluran pernapasan dan paru-paru). Sebagai bekas pelaut, Pengacara Omri Naibaho yakin bahwa kematian itu semata-mata disebabkan oleh kelalaian nakhoda. Katanya, ''Pada saat-saat kritis seperti itu, semestinya nakhoda segera mengontak stasiun pantai terdekat guna meminta petunjuk medis. Kebiasaan ini seharusnya sudah diketahui seorang kapten.'' Ketentuan itu, kata Naibaho di persidangan, sesuai dengan Konvensi Telekomunikasi Internasional 1982 yang ditetapkan di Nairobi (Indonesia termasuk anggota). Setelah mendapat pertolongan pertama melalui petunjuk medis tadi, korban bisa segera dibawa ke rumah sakit di pelabuhan terdekat. ''Dan kapten tak menjalankan ketentuan itu.'' Kuasa hukum tergugat, Daniel Z. Mertadiwangsa, menjawabbahwa kliennya tidak lalai. Ia telah cukup melakukan upaya pertolongan pertama, bahkan sampai membawa korban ke dokter di Hong Kong. ''Berdasarkan keterangan dokter, korban masih layak bekerja, dan korban juga telah diberi obat-obatan.'' Jika saja dokter menyarankan dirawat, kliennya pun, kata Daniel, pasti akan menurut. Bahwa setelah keluar dari Hong Kong korban kembali sakit, sementara nakhoda tak mengupayakan petunjuk medis melalui radio telegrafi, menurut Daniel, pertimbangannya karena keluhan Mardongan sama persis seperti saat diperiksa dokter Hong Kong. ''Andai diupayakan petunjuk medis pun, penyakit itu tak mungkin bisa diketahui hanya dengan diagnosa melalui radio,'' ujarnya. Tapi hakim rupanya sependapat dengan penggugat. Di persidangan pun terbukti bahwa tergugat lalai dan tidak menjalankan peraturan pelayaran yang ada. Daniel tak puas, langsung banding. ''Saya heran kenapa klien saya dinyatakan lalai, padahal kan sudah berusaha maksimal untuk menolong korban?'' katanya. Aries Margono dan Taufik T. Alwie
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini