NAMANYA Andreas Sweintek alias Muhammad Daud. Warga negara Jerman Barat itu -- yang telah masuk Islam, dan dikenal masyarakat Aceh Timur karena rajin berkhotbah -- Rabu dua pekan lalu, ditangkap polisi. "Ternyata ia buron Polres Aceh Timur, maka kami kirimkan ke sana," kata Kapolres Aceh Utara Letkol. Soetardjo, yang menangkap Sweintek. Buron? Ya. Bekas sersan AD Jerman Barat, pemegang paspor F. 6874445, itu diduga terlibat berbagai kejahatan. Konon, ia dokter spesialis orthopedi, masuk ke Indonesia pada 1982. Kabarnya, ia lari ke sini akibat desersi setelah menembak mati atasannya di Jerman Barat. Di sini, Daud, 33 tahun, yang kini sudah mahir berbahasa Indonesia di samping bahasa Aceh, belajar di pesantren. Belakangan, malah ia diangkat sebagai mubaligh. Karena isi ceramahnya keras dan tegas, ia disebut-sebut sebagai penyulut kerusuhan pembakaran kantor Polsek Idi Cut, April 1988. Atas dasar itu, polisi menyidiknya. Ternyata, menurut penyidikan polisi, Andreas Sweintek alias Irawan Yusuf alias Muhammad Daud itu, hanya terbukti sebagai imigran gelap dan bekerja tanpa izin. "Yang lainnya tidak terbukti," kata Kapolres Aceh Timur Letkol Oemar Isa. Kisah Daud di tanah rencong cukup panjang. Ia datang ke Medan melalui Singapura dengan visa turis. Layaknya pelancong, ia keluyuran ke pelosok-pelosok di Sumatera Utara dan Aceh. Di Aceh, pada 1983, ia bertemu dengan pimpinan pesantren Balai Tempat Menuntut (BTM) Idi Cut, Achmad Dewy. Tak lama kemudian Sweintek diislamkan dan berganti nama menjadi Irawan Yusuf. Irawan, yang belakangan lebih dikenal dengan Muhammad Daud, agaknya tak main-main. Ia, konon, rajin memperdalam ilmu agamanya di pesantren Bustanul Ulum, Langsa. Ia juga membantu beberapa penelitian di Institut Agama Islam Zawiyah, Cot Kala, Aceh Timur. Merasa betah di Indonesia, awal Januari 1984, Daud menyampaikan permohonan menjadi WNI kepada Bupati Aceh Timur Ismail. Entah bagaimana, sebelum permohonan itu dikabulkan, Daud dinyatakan overstay, dan harus meninggalkan Indonesia selambat-lambatnya 7 Mei 1984. Tapi sebelum batas waktu itu terlampaui, Daud lenyap. Tahu-tahu Daud yang, kabarnya, di Jerman punya istri dan seorang anak itu, ditangkap di Bagansiapi-api, Riau. Ia dipenjarakan di sana selama enam bulan. Keluar dari penjara, ia memohon visa -- lewat Kedubes RI di Kuala Lumpur - -untuk kembali ke Indonesia. Di Jakarta diam-diam ia sudah menjadi figuran film Komando Samber Nyawa dan Idola Remaja. Tapi Jakarta membuatnya tak betah. Belakangan ia kembali ke Aceh untuk mengajar di Bustanul Ulum dengan gaji Rp 25 ribu sebulan. Petualangan Daud agak terganggu karena peristiwa pembakaran kantor Polsek Idi Cut. Bersama-sama dengan Achmad Dewy, Daud dicurigai menyulut kemarahan massa. Takut dituduh yang bukan-bukan, ia kabur, dan berbulan-bulan bersembunyi di gua di kaki Gunung Geureudong. Tak tahan "bertapa", Daud keluar dari gua, dan menetap di Aceh Utara sebagai tukang kayu. Di situlah ia ditangkap polisi. Sejauh mana kebenaran bahwa warga Jerman Barat itu pernah membunuh atasannya? Counselor Kedutaan Besar Jerman Barat Gunter R. Kniess belum bisa memastikannya. "Kami belum mendapatkan identifikasi orang itu, dan belum bisa mencocokkan dengan data yang ada pada kedutaan kami," kata Gunter R. Kniess. Senin pekan ini, Daud dikirim ke Jakarta dengan kapal laut. Kepada Achmad, sahabatnya, ia mengeluh tentang polisi Aceh Timur yang pernah memukulinya dan mengambil cincinnya. Achmad mengaku mencoba membesarkan hati kawannya itu. "Ini ujian buatmu. Kau kan bekas militer, jangan goyah dan jangan lupa kepada Tuhan," kata Achmad. Daud, konon, mengangguk. Matanya berkaca-kaca.WY dan Mukhlizardy Mukhtar (Biro Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini