ADA yang berubah di telinga pendengar Radio Republik Indonesia (RRI) Purwokerto, Jawa Tengah, sejak awal tahun ini. Suara penyiar dan lagu yang diputar dari radio milik pemerintah itu makin bening saja. Kejernihan muncul karena RRI setempat baru mendapat tambahan alat baru bernama station transmission link (STL).
Hanya, di tengah kenyamanan, terembus pula kabar tak sedap: diduga ada korupsi di RRI. Peranti buatan Italia tersebut menurut versi RRI dibeli dengan harga Rp 250 juta. Padahal, di pasar, harganya jauh lebih murah, cuma sekitar Rp 68 juta.
Keganjilan itu segera diendus oleh Indonesia Corruption Watch (ICW). Tak cuma dalam pengadaan STL RRI Purwokerto, mark-up diduga juga terjadi dalam pembelian sejumlah pemancar di daerah (lihat Harga-Harga yang Digelembungkan). Tak tanggung-tanggung, total pembengkakan harga mencapai 74,6 persen. Ini membuat negara dirugikan sekitar Rp 23,5 miliar.
ICW kemudian melaporkan temuannya ke Dewan Perwakilan Rakyat, Rabu pekan lalu. Sebelumnya, mereka juga telah melaporkan kasus ini ke Komisi Pemberantasan Korupsi. Yang aneh, ”RRI memilih supplier yang bukan pemain yang terbiasa dalam penyediaan perlengkapan penyiaran,” kata Agus Sunaryanto, staf ICW yang melakukan investigasi kasus ini.
Dari hasil investigasi ICW, dana yang dibelanjakan berasal dari anggaran rutin 2003 dan anggaran belanja tambahan untuk kegiatan Pemilihan Umum 2004. Juli tahun lalu, Direktur Utama RRI Suryanta Saleh memang mengajukan penambahan alokasi anggaran sebesar Rp 27,7 miliar. Anggaran yang akan dipakai untuk pembelian berbagai macam peralatan penyiaran itu akhirnya disetujui Komisi I DPR yang membidangi penyiaran.
Pihak RRI membelanjakan dana tambahan itu untuk membeli antara lain penyejuk udara, mebel, komputer, dan pemancar. RRI daerah yang mendapat jatah pemancar baru di antaranya RRI Lampung, Bengkulu, dan Makassar. Hampir semua harga peralatan yang dibeli dilambungkan. Ambil contoh yang paling gampang pembelian penyejuk udara (AC) 2 PK yang dibagikan untuk tiga stasiun. Sebuah penyejuk udara dengan jenis dan merek serupa bisa di beli di toko-toko elektronik dengan harga Rp 5 juta hingga Rp 6 juta, sementara RRI mengajukan anggaran Rp 21 juta untuk satu penyejuk udara.
Dari anggaran tambahan, total uang yang dibelanjakan, menurut laporan pihak RRI, Rp 27,7 miliar. Semua barang yang dibeli lalu dicek oleh ICW di pasar. Hasilnya, diperkirakan hanya diperlukan dana sekitar Rp 7 miliar buat membeli semua barang itu. Jadi, ada mark-up Rp 20,7 miliar. Ini baru dari anggaran tambahan.
Anggaran rutin pun digerogoti. Dari anggaran rutin 2003, RRI membeli alat pemancar, komputer, dan tape recorder, serta membangun pemancar di wilayah Cimanggis, Depok. Sembilan suku cadang pemancar untuk Cimanggis ini di pasar bisa dibeli seharga Rp 1,936 miliar. Namun, dalam anggaran, harganya membengkak menjadi Rp 2,513 miliar. Kemudian barang yang paling umum, misalnya seperangkat komputer. Sebuah komputer Pentium 4 lengkap, di pasar elektronik, bisa dibeli dengan uang Rp 7 juta, sementara RRI mengajukan anggaran hingga Rp 13,6 juta.
Masih ada pembelian alat lain yang digelembungkan harganya. Jika dijumlahkan dengan penggerogotan terhadap anggaran tambahan, total mark-up menurut hitungan ICW mencapai Rp 23,5 miliar.
ICW juga mempertanyakan cara RRI mendapatkan barang tersebut, yang tidak menggunakan supplier atau agen penyedia barang yang umum dan memiliki kapasitas dalam memasok peralatan siaran. Misalnya, RRI memilih PT Balimatraman Permai untuk pengadaan suku cadang pemancar di Cimanggis. Ternyata perusahaan itu tidak terdaftar dalam asosiasi Kamar Dagang Indonesia.
Mengetahui kabar miring tersebut, dua pekan lalu sekitar 50 karyawan RRI berunjuk rasa di depan kantor stasiun radio itu di Jalan Merdeka Barat, Jakarta. Mereka menuntut direksi berdialog dengan karyawan untuk mengklarifikasi dugaan mark-up itu. Namun manajemen menolak tuntutan karyawan untuk berdialog langsung. Karyawan RRI akhirnya melanjutkan aksinya ke DPR. Menurut seorang karyawan yang ikut aksi tersebut, Komisi I DPR kaget dengan hasil temuan ICW. Sebab, biasanya hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap RRI baik-baik saja.
Merasa kecolongan, Komisi I DPR, setelah mendapat laporan dari ICW, akan melakukan pemeriksaan langsung ke tiga stasiun RRI di daerah. ”Kalau ditemukan penyimpangan, ada formula tindakan. Bisa sanksi administrasi, politis, atau tindakan hukum,” kata Djoko Susilo, Ketua Subkomisi Informasi DPR.
Dewan juga mengaku kurang jeli meneliti anggaran-anggaran seperti yang diajukan RRI. Apalagi nilainya jauh di bawah anggaran yang diajukan militer dan polisi yang juga menjadi urusan Komisi I. ”Kami tidak bisa mengecek materi yang kecil-kecil,” ujar Bambang Widyanto, anggota Komisi I DPR.
Siapa yang terlibat dalam dugaan korupsi tersebut? Kepala Stasiun RRI Purwokerto, Andar Kusnadi, menyatakan bahwa semua pengadaan barang selalu ditangani RRI pusat. Daerah juga tidak pernah diminta pertimbangan soal harga, kualitas, dan bentuk alat yang akan dikirim. Mengenai STL yang kini dipakai RRI Purwokerto, daerah memang membutuhkannya karena selama ini alat penerima yang ada modulasinya berisik. Peralatan baru bersistem digital itu berfungsi sebagai pengirim sinyal dari ruang siaran menuju pemancar yang terletak di Desa Jompo Kulon, yang berjarak 20 kilometer. ”Soal harga, itu urusan pusat. Kami sama sekali tidak tahu,” kata Andar.
Tatapan orang langsung mengarah pada Direktur Utama RRI Suryanta Saleh. Hanya, ia membantah telah terjadi mark-up dalam pembelian barang. Suryanta menyatakan bahwa pengadaan barang yang dilakukan RRI sudah melalui proses tender yang terbuka. Dia juga siap dicopot dari jabatannya jika terbukti bersalah. ”Bahkan saya siap bila ada tuntutan ganti rugi atau dianggap ada tindakan pidana,” katanya. Dia pun setuju ICW menuntut agar BPK melakukan audit terhadap stasiun radio yang memiliki 52 stasiun siaran di seluruh Indonesia ini.
Namun, sejak pekan lalu, Suryanta memilih bungkam. ”Kami masih menunggu hasil audit BPK,” ujarnya kepada TEMPO lewat jawaban tertulis.
Terbongkarnya kasus ini sempat menimbulkan pertanyaan tentang peran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Lembaga yang dibentuk untuk membongkar korupsi ini dianggap kalah cepat dari ICW. Namun Wakil Ketua KPK Erry Riyana Hardjapamekas menampik tudingan lambat dalam bekerja. Kalau akhirnya temuan ICW mendapat perhatian, ini karena lembaga itu mempublikasikannya lebih dulu. Saat ini KPK sedang menyiapkan bahan untuk prapenyidikan. Bahan yang terkumpul nantinya akan dijadikan alat bukti untuk diajukan secara hukum. ”Jangan buru-buru. Kita tunggulah prosesnya,” kata Erry.
Yang pasti, menurut Roes Aryawijaya, Deputi Menteri Negara BUMN, pemerintah akan mencopot direksi RRI jika terbukti melakukan penggelembungan anggaran. Selain itu, direksi harus mengembalikan seluruh dana yang digelapkannya. Namun, katanya, ”Semua itu harus dibuktikan dulu di pengadilan.”
Agung Rulianto, S.S. Kurniawan, Ari Aji (Purwokerto)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini