Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Abdullah Shidiq Muin duduk tanpa ekspresi di kursi pesakitan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pemimpin Pondok Pesantren At-Tauhid, Kediri, Jawa Timur, itu mungkin tak mengira urusannya dengan Hutomo Mandala Putra akan berkepanjangan seperti sekarang ini. Hidupnya, yang biasanya dipenuhi dengan berbagai urusan santri dan mengaji, kini harus diubah. Shidiq harus menyisihkan waktu dua pekan sekali ke Jakarta untuk menghadiri sidang pengadilan.
Jaksa Yunan Harja mendakwa Shidiq menipu dan menggelapkan uang milik Hutomo Mandala Putra—biasa disapa Tommy Soeharto—sebesar US$ 350 ribu atau sekitar Rp 2,9 miliar. Sidang kasus ini mulai digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Selasa dua pekan lalu. Pekan ini, Jaksa akan langsung menghadirkan putra kesayangan Soeharto itu dari tahanannya di Nusakambangan ke pengadilan sebagai saksi korban. Jika terbukti bersalah, Shidiq bisa dihukum penjara maksimal lima tahun.
Kasus ini bermula ketika Dodi Sumadi dan Syaifudin Darwis menawarkan jasa kepada Tommy untuk menyelesaikan masalah hukum yang dihadapinya. Melalui surat, Dodi dan Syaifudin berjanji akan mempertemukan Tommy dengan Abdurrahman Wahid, yang ketika itu masih menjadi Presiden Indonesia. Keduanya juga menjanjikan akan memenangkan peninjauan kembali (PK) perkara ruilslag Bulog-Goro Batara Sakti. Dalam kasus ini, Hutomo sudah dijatuhi hukuman 18 bulan penjara.
Tommy menyambut baik tawaran itu. Seperti sudah dijanjikan, Tommy bertemu dengan Abdurrahman di Hotel Borobudur pada 5 Oktober 2000. Pada saat itu, Abdurrahman ditemani Dodi dan Noer Iskandar. Keesokan harinya, Tommy kembali bertemu dengan bekas Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama ini di Hotel Regent, Kuningan, Jakarta Selatan. Kali ini, Abdurrahman Wahid ditemani istrinya, Shinta Nuriyah, dan anaknya, Alissa Qotrunnada, sementara Tommy membawa kakaknya, Siti Hardijanti Rukmana, serta dua temannya, Dion Hardi dan Sulaiman.
Dalam pertemuan kedua, kata Jaksa, Abdurrahman kerap menyebut nama Shidiq. Dia juga sempat mengatakan bahwa Shidiq bisa menghilang dan memasuki Istana tanpa diketahui petugas jaga. Shidiq juga diyakini mampu membereskan masalah Tommy. Bos Humpuss itu, yang sebelumnya pernah bertemu dengan Shidiq di Cendana, percaya. Setelah itu, Dodi dan Shidiq bertemu di Cendana pada 10 Oktober. Keduanya bersama Tommy dan dua temannya meneken surat pernyataan bahwa Dodi dan Shidiq akan memenangkan proses PK Tommy di Mahkamah Agung. Noer Iskandar hadir, tapi tak turut memberikan tanda tangan.
Sebagai imbalannya, pihak Tommy akan menyerahkan US$ 1,7 juta atau sekitar Rp 15 miliar. Sepertiga uang itu diserahkan untuk mengurus perkara di Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung, sepertiga lagi diserahkan ke sebuah yayasan, dan sisanya untuk pesantren Shidiq. Tapi, kata Jaksa, uang itu tidak diberikan ke yayasan atau untuk mengurus perkara. Sebagian besar justru masuk kantong Dodi dan Rp 2,9 miliar diserahkan ke Shidiq di Hotel Danau Sunter, Jakarta Utara, pada 18 Oktober. Kata Jaksa, Shidiq menggunakan uang itu untuk membeli tanah, membangun masjid, dan memperindah pesantren. Pendek kata, peluang Shidiq lolos lumayan kecil.
Meskipun demikian, pengacara Shidiq, Budi Santoso, tetap yakin bahwa kliennya akan bebas. Budi mengatakan bahwa kliennya tak meminta uang kepada Tommy, tapi memperolehnya dari Dodi. Jika mau taat pada pernyataan, seharusnya Tommy menyerahkan Rp 5 miliar. Budi juga mengatakan bahwa kliennya tak paham isi pernyataan yang ditandatanganinya. Semuanya terjadi begitu cepat dan Shidiq sekadar menandatangani surat itu. Soal peninjauan kembali, kata Budi, "Dia bukan juri, mana tahu tentang Mahkamah Agung?" Lebih dari itu, Tommy toh sudah memenangkan PK-nya.
Tentu saja semua itu ditolak oleh Yunan. Jika Shidiq menandatangani surat pernyataan itu, kata Yunan, sudah pasti dia memahami isinya. Susahnya, Shidiq kini tak bisa berkomunikasi dengan baik. "Tampaknya dia syok karena tak menyangka urusannya jadi panjang. Dia dipenjara dan pesantrennya disita polisi," kata Budi. Shidiq juga sudah lama tak berada di pesantrennya yang megah di Kediri. Para santrinya pun tak mengetahui ke mana sang Kiai pergi. Hidup Abdullah Shidiq Muin memang sudah berubah.
Endri Kurniawati, Dwidjo U. Maksum (Kediri)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo