SEPERTI bayi yang terlahir dan keadaan sulit film Karmila yang
tersendat-sendat pembuatannya, diharapkan akan dapat mengeruk
kantong penonton. Harapan siapa? Eltahlah, karena siapa pemilik
kopi-kopi film itu belum lagi ketahuan. Nyonya Sevira Sudjarwo,
Direktris BT Citra Indah Film, produser, mengaku film itu dia
punya. Fihak lain, Drs. Ibrahim Syamsuddin, PT Madu Segara,
penangung keuangan pembiayaan film itu, juga merasa punya hak.
Sengketa yang menunggu diputus oleh pengadilan itu sementara
mereda. Bismar Siregar SH Ketua Pengadilan Negeri Jakarta
Utara Timur, yang memeriksa perkara itu, bulan lalu menyarankan
ditempuhnya jalan perdamaian. Maka untuk sementara ditetapkan
agar dua fihak yang bersengketa itu bersama-sama mengedarkan
novel Marga T yang sudah dilayar-perakkan itu. Hasilnya
bagi-bagilah menurut perjanjian yang bisa dicapai. Bismar
mengharap, "sambil menunggu keputusan saya, film boleh diputar
dan diambil manfaatnya bersama". Asal jangan timbul sengketa
baru lagi saja, begitu.
Metah-mentah
Yang memulai memperkarakan adalah Nyonya Sudjarwo. Ia mengajukan
gugatan kepada: Drs. Ibrahim. Pengurus Ekspedisi Union Ekspres,
Departemen Penerangan khususnya Direktur Pembinaan Film, dan
Japan Air Lines (JAL) Seksi Cargo. Dari kesemua tergugat itu.
nyonya ini mengharapkan mendapat berbagai ganti rugi sebesar Rp
200 juta lebih.
Bulan Oktober 1974 antara yonya Sudjarwo dan Ibrahim telah
terjadi sutu perjanjian kerja untuk membuat dan mengedarkan
film Karmila berdasarkan novel terkenal Marga T dan dengan
sutradara Ami Prijono. Film berwarna 35 milimeter itu harus
selesai dibuat oleh produsernya, Nyonya Sudjarwo, paling lambat
3 bulan dengan biaya dari Ibrahim sebesar Rp 45 juta. Dari hasil
peredarannya nanti, produser akan memperoleh 30% dan selebihnya
adalah hak yang punya uang.
Membuat film ternyata tidak gampang. Mula-mula timbul kericuhan
antara produser dengan sutradara. Di samping itu di sana-sini
muncul protes dari para artis serta para karyawan film lainnya
yang juga tidak puas dengan sihap si produser. Keluhan berkisar
-a(la keuangan yang seret. Dengan sutraara Ami Prijono,
persoalan kelambatan pembuatan film lebih diperuncing lagi oleh
Nyonya Sudjarwo: sang sutradara dipecat mentah-mentah. Nyonya
ini menuduh Ami terlalu lamban bekerja Ami tidak membantah, cuma
membela diri: ia memang sutradara baru, jadi maklum saja tidak
bisa secepat kerja sutradara Turino atau Nawi Ismail, misalnya
(TEMPO. 15 Pebruari 1975). Menurut Ibrahim, yang menyanggah
sulat gugtan: kericuhan antara produser dan anak buahnya
itulah penyebab kelamhatan pembuatan Karmila. Tapi tidak begitu
kata Nyonya Sudjarwo. Apa yang dianggpnya sebagai alasan yang
sebcnarnya. diuraikannya panjang lebar dalam surat gugatannya.
Uang Lembur
Bulan Desember 1974, Ibrahim menyuruh orangnya menemui Nyonya
Sudjarwo untuk meminjam msh-copy yang telah selesai 40%. Karena
alasan sekedar meminjam dan hanya untuk melihat lihat saja,
nyonya produser memberikannya. Tapi hingga selesai pembuatan
film itu, barang pinjaman itu menurut Nyonya Sudjarwo, tidak
pernah dikembalikan. Lalu bulan Januari tahun berikutnya,
sebagai produser, Nyonya Sudjarwo menyodorkan tagihan uang
lembur kepada Ibrahim. Namun penanggung pembiayaan ini keberatan
membayar. Kepada Nyonya Sudjarwo dimintakan agar -
mempertanggungjawabkan lebih dulu pengeluaran keuangan
sebelumnya. Belum lagi selesai tahap pertama sengketa ini,
muncul peristiwa baru: rush-copy kedua yang biasanya diterima
oleh produser dari perusahaan ekspedisi atas kiriman dari
perusahaan laboratorium di Jepang, ternyata telah berada di
tangan Ibrahim lagi. Nyonya Sudjarwo menuduh, dalam gugatannya.
Ibrahim telah mengambilnya dengan paksa dan "mengancam dengan
pisau" pada pegawai ekspedisi di lapangan terbang Halim Perdana
Kusuma. Dari peristiwa ini,- penggugat menyebutnya: "sejak
itulah terjadi opan clash alias perselisihan terbuka.
Akhir Januari berikutnya, produser menyodorkan penncian keuangan
yang harus dibayar oleh Ibrahim sekitar Rp 9 juta. Sebagai
"perincian anggaran biaya hooling terakhir", begitu disebut
dalam surat gugatan. Ibrahim juga tidak memenuhi tuntutan
produsernya. Ia mengundang agar persoalan Karmila itu di
selesaikan dengan musyawarah kembali, dengan mengambil tempat di
Kantor Direktorat Pembinaan Film. Produser menolak ajakan ini
dengan alasan: Ibahim yang dari PT Madu Segara itu ukan
pengusaha film sehingga tak ada sangkut-pautnya dengan
Departemen Penerangan. Karena itu tidak pada tempatnya mengu
ndangnya bertemu di Kantor Direktorat Pembinaan Film Deppen.
Malah berikutnya Nyonya Sudjarwo menyatakan dirinya: secara sah
menjadi pemilik Karmila karena Ibrahim sudah menyalahi
perjanjian kerja--tidak memenuhi kewajibannya membayar biaya
pengambilan adegan terakhir.
Campur Tangan
Dalam saat yang keruh itu Direktur Pembinaan Film, H. Johardin,
turun tangan. Melalui suratnya bulan Juni 1974, tegas-tegas
dinyatakannya: Karmila harus lanjutkan pembuatannya tanpa
campur tangan produsernya, PT Citra Indah Film. Nyonya Sudjarwo
menuluh instruksi Direktur Pembinaan Film ini sebagai campur
tangan yang memihak dan merugikan fihaknya.
Namun karena tangan Johardin itulah, maka Karmila selesai
dibuat. Merasa mendapat dukungan dari Johardin, PT Madu Segara
akan segera saja mengedarkan Karmila. Hampir saja terjadi
'sesuatu' ketika Karmi11a akan diputar perdana di Jakarta
Theatre, 21 Oktober tahun lalu. Hakim Bisrnar Siregar
memerintahkan agar pemutaran film itu dibatalkan, karena
pengadilan belum memutuskan siapa yang berhak memutarnya. Tentu
suli untuk menaati perintah Bismar, karena para undangan sudah
harus hadir dan perintahnya sungguh mendadak. Syukur Bismar bisa
mengerti keadaan ini. Hanya setelah pemutaran perdana, terpaksa
6 copy film (12 Trailer) disimpan dipengadilan. Bismar
mengharapkan: "Kalau bisa saya tidak usah memutuskan perkara
ini, asal perdamaian dapat tercapai secepatnya dan
sebaik-baiknya".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini