ANJURAN untuk memasuki sekolah-sekolah menengah kejuruan
semakin lama semakin gencar saja. Bahkan Presiden Suharto, baik
ketika meresmikan STM Pembangunan dan Pusat Latihan Pendidikan
Teknoloi (PLPT) di Surabaya, 22 Mei, maupun ketika menyambut
Kongres Taman Siswa di Yogyakarta, 16 Desember tahun lalu, ikut
mengkampanyekan. "Dewasa ini masih sedikit di kalangan orang tua
yang merasa kecil hati atau kurang terhormat apabila anaknya
men1asuki Sekolah Kejuruan", begitu antara lain Presiden. Sikap
yang keliru telah menaklatkan banyaknya anak yang memasuki
sekolah Menengah Umum tanpa menghitung-hitung masa depan.
Akibatnya, menurut Presiden lagi, bukan saja tidak seimbangnya
jumlah sekolah dan jumlah murid sekolah-sekolah umum dan
kejuruan, tapi juga bila karena berbagai sebab mereka tidak
dapat meneruskan ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi, maka
mereka sulit mendapat lapangan pekerjaan. Atau mereka tidak siap
untuk berdiri sendiri. Tentu saja anjuran ditunjang oleh
kenyataan bahwa kebutuhan tenaga teknik menengah memang tidak
sedikit. Sampai akhir Pelita I, dari sejumlah 41.000 tenaga yang
dibutuhkan ternyata hanya bisa dipenuhi 55 prosen saja (TEMPO, 7
Juni 1975)
Tapi apakah sekolah kejuruan Farmasi (Sekolah Menengah Farmasi
-SMF - atau Sekolah Asisten Apoteker - SAA) termasuk kejuruan
yang juga dibutuhkan? Berbeda dengan lulusan STM atau kejuruan
sejenis lainnya, lulusan kedua sekolah kejuruan yang ditangani
Departemen Kesehatan itu nampaknya memang mengalami nasib
sebaliknya. Bahkan mulai tahun pelajaran 1976 ini baik kepada
SMF Negeri maupun swasta sudah dianjurkan agar tidak menambah
murid baru. Untuk mencegah kesukaran penempatan tenaga lulusan
Sekolah Menengah Farmasi, yang saat ini dianggap telah menutup
kebutuhan, maka sambil menunggu keputusan selanjutnya dengan ini
diinstruksikan agar mulai tahun 1976 tidah menerima siswa baru.
Begitu bunyi instruksi yang diteken oleh dr Wiryawan Djojosugito
MPH, Kepala Pusat Pendidikan dan Latihan Pegawai Departemen
Kesehatan, ditujukan kepada delapan SMF negeri yang terdapat di
Banda Aceh, Bandung, Jakarta, Medan, Yogyakarta, Surabaya,
Palembang dan Ujung Pandang.
Sementara itu kepada SMF-SMF swasta yang seluruhnya berjumlah 29
buah, surat Wiryawan yang nadanya hampir serupa tak urung
dilayangkan juga. Pokoknya, menurut surat edaran itu, SMFSMF
swasta mulai tahun ajaran 1976 diharapkan membatasi penerimaan
siswa baru sebanyak-banyaknya untuk satu kelas saja. Sebagaimana
surat instruksi kepada SMF negeri, maka surat edaran kepada SMF
swasta pun berisi alasan untuk menghindarkan kekecewaan para
lulusan SMF, sebab tenaga serupa itu dianggap sudah memenuhi
kebutuhan.
Bagi SMF negeri, keputusan Departemen Kesehatan itu merupakan
instruksi dan tentu saja bersifat mau tidak mau. Tapi tidak bagi
SMF swasta. "Apa sih maksud pemerintah? Mau membunuh?" ucap Drs
Sukri Kimin, Kepala Sekolah SMF Tunas Bangsa. Terus terang
menurut Sukri kelangsungan pendidikan di sekolahnya diandalkan
kepada dana yang diperoleh dari para murid. Sehingga bila
penerimaan siswa dibatasi sampai hanya satu kelas saja (sekitar
36 anak), dana yang diperoleh akan berkurang--dan pengajaran
yang dilakukan oleh 20 orang guru akan tidak efektif. Akibatnya
uang sekolah sebesar Rp 3 ribu sebulan dan uang praktek Rp 30
ribu setahun, terpaksa naik. "Ini pasti akan membuat ngeri
mereka yang akan masuk", ujar Sukri. Karena itu Sukri punya usul
lain: "Rubah saja kurikulum SMF ini". Maksudnya, seperti yang
juga diusulkan Drs I. Zulkarnaen SP? Ketua Bidang Apotik dari
gabungan Pengusaha Farmasi Indonesia Cabang Jakarta, "rubah
saja kurikulum, sehingga orientasi mereka tidak hanya ke apotik
tapi juga ke pabrik-pabrik farmasi". Apa lagi menurut Sukri
maupun Zulkarnaen, kurikuIum SMF sekarang masih merupakan
warisan Belanda.
Didirikan dengan tujuan untuk menggantikan tenaga-tenaga asisten
apoteker Belanda, Sekolah Menengah Farmasi sekitar tahun 1945
hanya memiliki murid bangsa Indonesia sebanyak 80 orang. Waktu
itu lama pendidikan hanya dua tahun (sekarang tiga tahun). Tapi
siapa yang akan menyangka kalau sejak awal 1970 terjadi
peledakan lulusan SMF?
Sekitar tahun itu seluruh siswa SMF baik yang negeri maupun
swasta berjumlah 3 ribu orang. Padahal setahun sebelumnya cuma
tercatat 2 ribu murid. Sedang tahun 1974 kemarin jumlah tersebut
sudah tercatat sebanyak 3115 orang (jumlah pelajar tahun yang
sama 4939 orang). Pada 1960, jumlah lulusan itu baru 3 ratus
orang saja (jumlah pelajar 1200 orang). Berdasar angka-angka itu
akhirnya Zulkarnaen memaklumi keputusa pemerintah. "Memang
daripada menimbulkan banyak krisis bagi lulusan SMF, di mana
penawaran lebih banyak dari kebutuhan", ujar Zulkarnaen,
"kebijaksanaan itu sudah cukup tepat".
Kwalitas
Tapi betulkah kebutuhan tenaga lulusan SMF sudah cukup? Tahun
1945, jumlah apotik hanya delapan buah. Sekarang menurut
Zulkarnaen sudah tercatat 300 buah. Kalau masing-masing apotik
menyedot tenaga asisten apoteker sebanyak 10 orang (biasanya
terbagi dalam dua rombongan kerja, pagi dan malam) maka untuk
melayani seluruh apotik diperlukan sebanyak 3 ribu tenaga. Tapi
sementara itu tidak semua lulusan SMF bekerja di apotik. Karcna
misalnya faktor kwalitas para lulusan juga ikut mempengaruhi.
"Umumnya lulusan SMF itu masih memerlukan waktu dua tahun lagi
untuk belajar di apotik, untuk bekerja sebagai kwalitas asisten
apoteker", ujar Zulkarnaen. "Para lulusan SMF dari jenis semacam
itu, apotik tidak bisa menampung". Kabarnya, walaupun tidak
semuanya, lulusan dengan kwalitas sernacam itu banyak ditelurkan
oleh SMF-SMF swasta. "Makanya saya cenderung menerima lulusan
dari SMF negeri saja", ujar Zulkarnaen yang juga pemilik apotik
Dharma Pharma di bilangan Tanah Abang.
Terhadap makin sempitnya daya tampung untuk para lulusan SMF,
bukan tidak ada saran-saran pemecahan. Misalnya dari Gabungan
Pengusaha (GP) Farmasi. Antara lain pada 1965, ketika sudah
dirasakan bakal ada peledakan lulusan sekolah kejuruan itu, GP
Farmasi (kemudian diperkuat oleh Departemen Kesehatan)
mewajibkan setiap pedagang besar farmasi, toko-toko obat yang
memiliki izin, dilayani oleh tenaga lulusan SMF. Bahkan
pemerintah kini sudah merencanakan agar setiap Puskesmas bisa
menampung 2 tenaga asisten apoteker. Walaupun usaha ke arah itu
belum berjalan sepenuhnya karena jumlah lulusan juga ditentukan
oleh jumlah SMF yang makin banyak, soal nya kini kenapa lahirnya
SMF-SMF terutama yang swasta itu sampai tidak terkendalikan oleh
pemerintah. "Meman ini akibat tidak adanya pecencanaan yang
betul", ujar seorang pejabat Departemen Kesehatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini