Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Asisten apoteker: sudah cukup

Dep-kes menginstruksikan 8 smf negeri membatasi jumlah penerimaan siswa baru. dikhawatirkan lulusan smf tidak tertampung. gp farmasi mengusulkan agar kurikulum diubah hingga orientasi lebih luas. (pdk)

10 Januari 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ANJURAN untuk memasuki sekolah-sekolah menengah kejuruan semakin lama semakin gencar saja. Bahkan Presiden Suharto, baik ketika meresmikan STM Pembangunan dan Pusat Latihan Pendidikan Teknoloi (PLPT) di Surabaya, 22 Mei, maupun ketika menyambut Kongres Taman Siswa di Yogyakarta, 16 Desember tahun lalu, ikut mengkampanyekan. "Dewasa ini masih sedikit di kalangan orang tua yang merasa kecil hati atau kurang terhormat apabila anaknya men1asuki Sekolah Kejuruan", begitu antara lain Presiden. Sikap yang keliru telah menaklatkan banyaknya anak yang memasuki sekolah Menengah Umum tanpa menghitung-hitung masa depan. Akibatnya, menurut Presiden lagi, bukan saja tidak seimbangnya jumlah sekolah dan jumlah murid sekolah-sekolah umum dan kejuruan, tapi juga bila karena berbagai sebab mereka tidak dapat meneruskan ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi, maka mereka sulit mendapat lapangan pekerjaan. Atau mereka tidak siap untuk berdiri sendiri. Tentu saja anjuran ditunjang oleh kenyataan bahwa kebutuhan tenaga teknik menengah memang tidak sedikit. Sampai akhir Pelita I, dari sejumlah 41.000 tenaga yang dibutuhkan ternyata hanya bisa dipenuhi 55 prosen saja (TEMPO, 7 Juni 1975) Tapi apakah sekolah kejuruan Farmasi (Sekolah Menengah Farmasi -SMF - atau Sekolah Asisten Apoteker - SAA) termasuk kejuruan yang juga dibutuhkan? Berbeda dengan lulusan STM atau kejuruan sejenis lainnya, lulusan kedua sekolah kejuruan yang ditangani Departemen Kesehatan itu nampaknya memang mengalami nasib sebaliknya. Bahkan mulai tahun pelajaran 1976 ini baik kepada SMF Negeri maupun swasta sudah dianjurkan agar tidak menambah murid baru. Untuk mencegah kesukaran penempatan tenaga lulusan Sekolah Menengah Farmasi, yang saat ini dianggap telah menutup kebutuhan, maka sambil menunggu keputusan selanjutnya dengan ini diinstruksikan agar mulai tahun 1976 tidah menerima siswa baru. Begitu bunyi instruksi yang diteken oleh dr Wiryawan Djojosugito MPH, Kepala Pusat Pendidikan dan Latihan Pegawai Departemen Kesehatan, ditujukan kepada delapan SMF negeri yang terdapat di Banda Aceh, Bandung, Jakarta, Medan, Yogyakarta, Surabaya, Palembang dan Ujung Pandang. Sementara itu kepada SMF-SMF swasta yang seluruhnya berjumlah 29 buah, surat Wiryawan yang nadanya hampir serupa tak urung dilayangkan juga. Pokoknya, menurut surat edaran itu, SMFSMF swasta mulai tahun ajaran 1976 diharapkan membatasi penerimaan siswa baru sebanyak-banyaknya untuk satu kelas saja. Sebagaimana surat instruksi kepada SMF negeri, maka surat edaran kepada SMF swasta pun berisi alasan untuk menghindarkan kekecewaan para lulusan SMF, sebab tenaga serupa itu dianggap sudah memenuhi kebutuhan. Bagi SMF negeri, keputusan Departemen Kesehatan itu merupakan instruksi dan tentu saja bersifat mau tidak mau. Tapi tidak bagi SMF swasta. "Apa sih maksud pemerintah? Mau membunuh?" ucap Drs Sukri Kimin, Kepala Sekolah SMF Tunas Bangsa. Terus terang menurut Sukri kelangsungan pendidikan di sekolahnya diandalkan kepada dana yang diperoleh dari para murid. Sehingga bila penerimaan siswa dibatasi sampai hanya satu kelas saja (sekitar 36 anak), dana yang diperoleh akan berkurang--dan pengajaran yang dilakukan oleh 20 orang guru akan tidak efektif. Akibatnya uang sekolah sebesar Rp 3 ribu sebulan dan uang praktek Rp 30 ribu setahun, terpaksa naik. "Ini pasti akan membuat ngeri mereka yang akan masuk", ujar Sukri. Karena itu Sukri punya usul lain: "Rubah saja kurikulum SMF ini". Maksudnya, seperti yang juga diusulkan Drs I. Zulkarnaen SP? Ketua Bidang Apotik dari gabungan Pengusaha Farmasi Indonesia Cabang Jakarta, "rubah saja kurikulum, sehingga orientasi mereka tidak hanya ke apotik tapi juga ke pabrik-pabrik farmasi". Apa lagi menurut Sukri maupun Zulkarnaen, kurikuIum SMF sekarang masih merupakan warisan Belanda. Didirikan dengan tujuan untuk menggantikan tenaga-tenaga asisten apoteker Belanda, Sekolah Menengah Farmasi sekitar tahun 1945 hanya memiliki murid bangsa Indonesia sebanyak 80 orang. Waktu itu lama pendidikan hanya dua tahun (sekarang tiga tahun). Tapi siapa yang akan menyangka kalau sejak awal 1970 terjadi peledakan lulusan SMF? Sekitar tahun itu seluruh siswa SMF baik yang negeri maupun swasta berjumlah 3 ribu orang. Padahal setahun sebelumnya cuma tercatat 2 ribu murid. Sedang tahun 1974 kemarin jumlah tersebut sudah tercatat sebanyak 3115 orang (jumlah pelajar tahun yang sama 4939 orang). Pada 1960, jumlah lulusan itu baru 3 ratus orang saja (jumlah pelajar 1200 orang). Berdasar angka-angka itu akhirnya Zulkarnaen memaklumi keputusa pemerintah. "Memang daripada menimbulkan banyak krisis bagi lulusan SMF, di mana penawaran lebih banyak dari kebutuhan", ujar Zulkarnaen, "kebijaksanaan itu sudah cukup tepat". Kwalitas Tapi betulkah kebutuhan tenaga lulusan SMF sudah cukup? Tahun 1945, jumlah apotik hanya delapan buah. Sekarang menurut Zulkarnaen sudah tercatat 300 buah. Kalau masing-masing apotik menyedot tenaga asisten apoteker sebanyak 10 orang (biasanya terbagi dalam dua rombongan kerja, pagi dan malam) maka untuk melayani seluruh apotik diperlukan sebanyak 3 ribu tenaga. Tapi sementara itu tidak semua lulusan SMF bekerja di apotik. Karcna misalnya faktor kwalitas para lulusan juga ikut mempengaruhi. "Umumnya lulusan SMF itu masih memerlukan waktu dua tahun lagi untuk belajar di apotik, untuk bekerja sebagai kwalitas asisten apoteker", ujar Zulkarnaen. "Para lulusan SMF dari jenis semacam itu, apotik tidak bisa menampung". Kabarnya, walaupun tidak semuanya, lulusan dengan kwalitas sernacam itu banyak ditelurkan oleh SMF-SMF swasta. "Makanya saya cenderung menerima lulusan dari SMF negeri saja", ujar Zulkarnaen yang juga pemilik apotik Dharma Pharma di bilangan Tanah Abang. Terhadap makin sempitnya daya tampung untuk para lulusan SMF, bukan tidak ada saran-saran pemecahan. Misalnya dari Gabungan Pengusaha (GP) Farmasi. Antara lain pada 1965, ketika sudah dirasakan bakal ada peledakan lulusan sekolah kejuruan itu, GP Farmasi (kemudian diperkuat oleh Departemen Kesehatan) mewajibkan setiap pedagang besar farmasi, toko-toko obat yang memiliki izin, dilayani oleh tenaga lulusan SMF. Bahkan pemerintah kini sudah merencanakan agar setiap Puskesmas bisa menampung 2 tenaga asisten apoteker. Walaupun usaha ke arah itu belum berjalan sepenuhnya karena jumlah lulusan juga ditentukan oleh jumlah SMF yang makin banyak, soal nya kini kenapa lahirnya SMF-SMF terutama yang swasta itu sampai tidak terkendalikan oleh pemerintah. "Meman ini akibat tidak adanya pecencanaan yang betul", ujar seorang pejabat Departemen Kesehatan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus