Selain untuk kebutuhan fisik, biji-bijian punya fungsi emosi dan spiritual. Metafora biji dalam ayat suci yang menyugesti perilaku. CINTA bermula dari perut -- bukan dari mata lalu turun ke hati. Ini, orang Belanda bilang, "de liefde gaat dor de maag." Artinya, makanan yang menggiurkan selera suami serta anggota keluarga akan mempertebal kasih sayang dan menciptakan harmoni rumah tangga. Rupanya, dalam hati Prof.Dr. Titi Sudikno, peribahasa tua tadi bagai ruas ketemu buku. Ia kemudian memilih topik "Peranan Biji Dalam Kehidupan Dahulu, Sekarang, dan Masa Mendatang" untuk pidato pengukuhannya sebagai guru besar di Universitas Gadjah Mada (UGM), Senin pekan silam. Uraian dosen Fakultas Pertanian UGM di hadapan sidang senat universitas itu tentang hubungan biji-bijian dengan perilaku manusia memang menarik. Titi Sudikno, 64 tahun, menyatakan bahwa manusia, hewan, dan organisme lainnya punya hubungan yang sangat erat dengan biji. "Tanpa biji, kehidupan di bumi ini tidak bisa dipertahankan," katanya. Seperti kedatangan Belanda ke Indonesia ratusan tahun yang lalu, menurut dia, tak lain karena urusan biji-bijian ini. Orang Belanda membutuhkan merica, pala, dan ketumbar untuk menu harian di negerinya. Dalam memenuhi kebutuhan manusia, biji juga punya makna lebih luas lagi, yakni sebagai pelengkap utama, baik dalam religi, kebudayaan, praktek ritual dan tradisional, maupun emosi. "Jelas, ini memang sangat kompleks," katanya. Wanita kelahiran Solo itu menampilkan contoh. Misalnya, dalam upacara-upacara tradisional Jawa, biji-bijian sering disertakan sebagai bagian kelengkapan upacara. Lihat saja iring-iringan jenazah menuju pemakaman: di sepanjang jalan ada yang bertugas menebarkan beras kuning campur uang logam (sawur). Logikanya, menurut Titi, "Peziarah yang terlambat datang bisa mengikuti petunjuk beras kuning tadi." Masih dalam upacara kematian, jika ada yang meninggal di hari Sabtu atau Selasa, agar rohnya tak gentayangan lalu "dibujuk" dengan memasukkan sebungkus kacang tanah, kacang hijau, kedelai, dan padi yang di-gongseng, digoreng tanpa minyak. Biji yang dibungkus kain mori tadi kemudian dimasukkan dalam liang lahad, sambil diiringi pesan: "Kami semua rela kamu pergi. Kamu boleh kembali kalau biji-bijian itu tumbuh". Padahal, biji yang sudah gosong itu jelas tak mungkin tumbuh. Bahkan, untuk menangkal tuyul, masyarakat tradisional Jawa juga memakai kacang hijau dan kacang tolo, selain disertai cermin, jarum jahit, dan benang. Begitu pula seikat padi digantungkan di atas pintu masuk rumah, untuk menangkal bala -- di samping sebagai lambang kemakmuran. Sedangkan dalam upacara perkawinan di masyarakat Jawa, fungsi biji melambangkan jaminan pemberian nafkah dari pengantin pria kepada pengantin wanita. Mempelai pria menuangkan beras, kacang hijau, kedelai, dan jagung yang dibungkus jadi satu, ke pangkuan pengantin perempuan. Dan kaitannya dengan emosi, Titi menunjuk contoh permainan adu biji kemiri yang populer pada zaman pemerintahan Sultan Hamengku Buwono VIII. Pada waktu senggang, para petinggi Keraton Yogya, seperti sultan, pangeran, dan bendoro, berkumpul untuk main adu kemiri. Permainan yang disertai uang taruhan dalam jumlah kecil itu tidak lain untuk menghilangkan ketegangan. "Adu kemiri hanya mencari kepuasaan emosi," ujar Titi lagi. Dan biji ada pula ajaibnya, karena muncul dalam religi. Titi menelusuri bahwa sejak zaman prasejarah, orang sudah memahami peranan biji-bijian, sehingga kata "biji" mewarnai bahasa, kebiasaan, dan kebudayaan kuno serta religi. Orang Romawi Kuno, misalnya, melakukan pemujaan kepada Demeter yang dianggap Dewi Serealia, lambang sumber pangan utama mereka -- semacam Dewi Sri di Jawa. Juga terhadap Ceres, yang di tengah orang Yunani Kuno sebagai Dewi Gandum. Di Perjanjian Lama, muncul tulisan mengenai biji-bijian yang digunakan sebagai metaforik, fisiologis, dan agronomis. Untuk agronomis, misalnya, tercantum dalam salah satu doa berbunyi, "Berilah kita biji agar tetap hidup, tidak mati, dan agar tanah tidak menjadi gersang". Quran, dalam surat Al-Baqarah ayat 261, menyebut biji sebagai metafora: "Orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah dapat diumpamakan sebutir biji yang menumbuhkan tanaman dengan tujuh bulir, pada tiap bulirnya ada seratus biji". Dalam peribahasa pun muncul, seperti "Padi itu semakin berisi semakin merunduk". Ada lagi, "Kacang ora ninggal lanjaran" -- alias perangai anak tidak jauh beda dengan orangtuanya. Keduanya itu untuk melukiskan sikap rendah hati seseorang. Sebaliknya, terhadap yang pongah, biji punya ujaran: "Bagai kacang lupa kulitnya". Biji-bijian rasanya tidak hanya sekadar kebutuhan fisik. Menurut Dr. Ignatius Kuntoro, ketika seseorang yang percaya itu berhadapan dengan masalah yang berada di luar kekuatannya, lalu biji diperlakukan sebagai alat bantu untuk mencapai keselarasan antara dunia manusia dan dunia yang tidak nyata. Jadi, tradisi simbolis dalam biji-bijian itu merupakan kaitan dunia nyata dengan dunia kasatmata. "Orang akan gelisah atau merasakan ada sesuatu yang kurang, jika ia tak melakukannya," ujar Romo yang ahli kebudayaan Jawa di Fakultas Sastra UGM itu. Rustam F. Mandayun dan R. Fadjri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini