Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Pahlawan

Politik indonesia tahun 1960-an, kultus pribadi terhadap soekarno adalah usaha dalam meningkatkan keperluan akan pahlawan. dalam demokrasi, siapa saja bisa menjadi pahlawan.

25 Mei 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pahlawan DANIEL DHAKIDAE SJAHDAN, Galileo tidak tahan di depan pengadilan inkuisisi yang terdiri dari para kardinal di Vatikan. Murid-muridnya menunggu dengan penuh keyakinan bahwa tidak mungkin the age of reason bisa dikhianati oleh siapa pun, apalagi oleh Galileo. Ketika lonceng Santo Markus berdentam bertalu-talu, seorang juru pengumuman -- -seakan-akan mau menandingi dentaman lonceng gereja -- mengumumkan pengakuan sang guru besar: Saya, Galileo Galilei, profesor matematika dan fisika di Florence, dengan ini menarik kembali ajaran dan kesaksian saya bahwa matahari adalah pusat semesta dan tidak berputar tapi diam di tempatnya, dan bahwa bumi bukan pusat dan berputar di tempatnya. Dari hati yang tulus dan iman yang tak terguncangkan, saya menarik kembali, menghukum, dan membuang semua kekeliruan dan kesesatan ini, tak ubahnya seperti kalau saya melakukan kekhilafan dan memberikan pendapat yang bertentangan dengan Gereja yang Kudus. Para muridnya seperti disambar petir. Ketika Galileo menemui murid-muridnya sebagian lunglai patah semangat dan separuhnya ngamuk tak percaya telinganya sendiri sambil mencaci maki sang profesor sebagai "keranjang sampah, tukang makan cacing." Demi suatu zaman baru, yaitu zaman akal sehat, seorang tokoh harus dimunculkan. Seorang pahlawan mesti dilahirkan. Dalam keputusannya, Andrea -- - salah seorang murid -- berseru histeris: "Unhappy the land that has no heroes!" Si pendasar zaman baru -- tak lain dari Galileo sendiri -- tak percaya pada paham itu, dan tidak rela kepercayaan bahwa "celakalah suatu bangsa yang tidak punya pahlawan" itu disebarluaskan. Dalam ketenangannya, dia berujar: "No. Unhappy the land that needs a hero!" Tidak. Celakalah bangsa yang memerlukan pahlawan! Perlahan-lahan, layar menjulur turun mengecup bibir panggung. Babak dua belas drama Bertolt Brecht The Life of Galileo untuk sementara ditutup sambil menanti dua babak terakhir. * * * Soekarno sama dengan Galileo sebagai pendasar zaman baru. Tapi Soekarno tidak sama dengan Galileo. Konsentrasi kekuasaan yang dia bangun buat dirinya bersama dua golongan yang lain adalah usaha membangun kepercayaan bahwa seorang pahlawan bukan saja sudah dilahirkan. Ia harus tetap dikukuhkan sebagai pahlawan suatu revolusi yang tak kunjung selesai. Dalam perjalanan waktu memiliki pahlawan melahirkan rising demand-nya sendiri. Memiliki pahlawan saja tak cukup. Ia harus mampu merangsang suatu keperluan akan pahlawan. Dalam perjalanan waktu, keperluan akan pahlawan itu jauh lebih menguasai panggung politik. Yang disebut sebagai personality cult, atau kultus pribadi terhadap Soekarno di dalam politik Indonesia tahun 1960-an, tak lain sekadar usaha untuk terus menciptakan suasana untuk meningkatkan keperluan akan pahlawan. Bahwa kita kekurangan pahlawan atau kita menghadapi krisis kepahlawanan dan tidak ada jalan lain selain melihat yang sudah kita miliki, yaitu Soekarno. Tragedi di sana adalah proses politik memaksakan kita untuk menerima menyatunya yang "kita miliki" dan "kita perlukan". Yang kita perlukan sudah kita miliki dan yang kita miliki sungguh mati adalah yang kita perlukan. Tragedi itu lebih memilukan karena the rising demand akan pahlawan tidak melahirkan banyak pahlawan atau bahkan tidak boleh melahirkan lebih banyak pahlawan. Karena, satu-satunya yang diperkenankan adalah "pahlawan tunggal". Dengan demikian, yang terjadi adalah semacam konvolusi, yaitu proses politik dan ekonomi berputar kembali ke dalam karena tidak mampu menciptakan terobosan untuk memecahkan lingkaran tanpa-ujung-tanpa-pangkal antara "memerlukan" dan "memiliki" pahlawan. Hasilnya adalah yang disebut sebagai onmissbaarheid, tidak tergantikan. Struktur politik, struktur ekonomi tak bisa berbuat lain daripada mengumumkan Soekarno menjadi pahlawan seumur hidup dengan kewajiban mendiami tahta untuk waktu yang tak boleh ditentukan, justru karena revolusi "memerlukan" seorang pahlawan. * * * Demokrasi yang punya daya dukung adalah sistem yang tidak dimaksudkan untuk melahirkan pahlawan karena pranatanya memungkinkan siapa saja mampu muncul untuk bisa berperan, overyone his own hero. Karena itu, ketiadaan pahlawan tak akan membikin suatu bangsa terseret ke lembah duka. Tetapi kalau sekiranya itu tidak terjadi, yaitu sistemnya tidak bisa bekerja, semua orang mulai ramai-ramai memerlukan pahlawan. Ketika orang mulai merasa memerlukan pahlawan, status quo adalah sahabatnya yang paling karib. Kesimpulan lanjutnya adalah bahwa setiap pemimpin di lembaga apa saja, yang kecil dan yang besar, tak tergantikan. Kalau memang ini yang kita alami, maka Galileo-nya Bertolt Brecht akan mengusik kita dengan kata-katanya: "Celakalah bangsa yang memerlukan seorang pahlawan!"

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus