NASIB dua kakak. beradik di bawah umur, Abdi, 10, dan Ubaid, 9, masih tidak menentu. Setelah dilepaskan dari lembaga pemasyarakatan oleh Pengadilan Tinggi Bali, kedua anak itu ternyata tidak luput dari hukuman. Pengadilan banding itu, akhir Agustus lalu, toh menjatuhkan hukuman 1 tahun 6 bulan penjara atas Abdi dan 1 tahun kepada Ubaid. Keduanya tetap dianggap terbukti melakukan kejahatan pencurian yang diikuti kekerasan. Kabar buruk itu sampai ke rumah bocah-bocah itu Senin dua pekan lalu. Abdi dan Ubaid, yang tengah menulangi pelajarannya di kelas V dan IV, hari itu kaget dan kontan menangis, melihat seorang tamu berpakaian dinas menghampiri rumahnya. Bayangan tentang LP Krobokan di Denpasar penjara buat penjahat dewasa - rupanya masih menghantui kedua anak itu. Ternyata, yang datang hanyalah panitera pengadilan, yang bertugas memberitahukan putusan banding itu. Adalah peristiwa sekitar tiga bulan lalu yang menakutkan Abdi dan Ubaid itu. Hari itu, 16 Juni, kedua bocah itu diputuskan hakim Pengadilan Negeri Denpasar, yang diketuai Toeti Amelia Sudjadi, terbukti bersalah membunuh kawan sepermainannya, Nurdian Wahidah, 4. Pembunuhan tersebut yang, menurut hakim, dilakukan kedua anak itu bersama temannya, Ni Luh (bukan nama sebenarnya) - kini tengah diadili - bermotifkan perampasan. Menurut berita acara pemeriksaan polisi, ketiga anak itu telah menyayat telinga Nurdian, hanya untuk mengambil anting-antingnya. Berdasarkan cerita seperti itulah, Majelis Hakim menghukum Abdi dan Ubaid, masing-masing 2 tahun dan 1 tahun penjara, dengan catatan segera masuk. Petugas segera menyeret anak-anak itu ke mobil tahanan tanpa peduli raung dan tangis mereka. Hari itu jua kedua anak tersebut menjalani putusan hakim di LP Krobokan. Keputusan hakim itu, belakangan, mendapat sorotan tajam dari para ahli hukum Jakarta. Mereka, seperti juga sikap pembela Abdi dan Ubaid - Gde Darmawan - menyangsikan keadilan keputusan hakim. Sebab, seperti terlihat di persidangan tertutup, anak-anak itu mencabut kembali pengakuan yang pernah mereka berikan kepada polisi. Alasan mereka, pengakuan itu diberikan karena bujukan dan paksaan pemeriksa. Ni Luh, 12, yang diajukan sebagai saksi dalam perkara Abdi dan Ubaid, mengaku dipukul polisi untuk mengakui tuduhan membunuh Nurdian. Nurdian, tetangga para tertuduh, hilang dari rumahnya di kompleks Monang-Maning, Denpasar, awal April tahun lalu. Penduduk yang mencari menemukannya dalam keadaan mati teraniaya. Polisi menuduh ketiga teman sepermainan korban itu sebagai pembunuhnya. Tapi, menurut Darmawan, "skenario" polisi itu lemah. Di persidangan terungkap banyak hal yang membuktikan bahwa anak-anak itu tidak bersalah. Bahkan berita acara itu bertentanan dengan visum kematian yan dibuat dokter. Pada visum, misalnya, tidak disebutkan bahwa korban mati karena dipukul dan kemudian disayat telinganya, seperti disebut dalam berita acara yang dibuat polisi (TEMPO, 21 Juli). Reaksi pengacara mendatangkan hasil. Juli lalu, atas perintah Pengadilan Tinggi, Abdi dan Ubaid dikeluarkan dari LP Krobokan, yang sudah dihuninya selama 38 hari. "Saya melepaskan anak-anak itu dari tahanan, karena mereka masih di bawah umur. Perkaranya sendiri akan diteliti kembali oleh majelis hakim tinggi," ujar ketua Pengadilan Tinggi Bali, Soenoe Prawoto. Waktu itu, Darmawan berharap majelis hakim Pengadilan Tinggi akan meneliti lagi kasus itu, misalnya denan memanggil kembali Abdi dan Ubaid pada pemeriksaan banding. Begitu pula para pemeriksa yang dituduh anak-anak itu melakukan pemaksaan di pemeriksaan. Ternyata, putusan majelis yang diketuai Soenoe Prawoto mencengangkan Darmawan. Memang, majelis hakim banding itu membebaskan Abdi dan Ubaid dari tuduhan membunuh, tapi - boleh jadi aneh, kedua anak itu dianggap terbukti melakukan pencurian yang didahului dengan kekerasan terhadap Nurdian. "Seharusnya, beitu tuduhan membunuh batal, tuduhan mencuri dengan kekerasan otomatis gugur," kata Darmawan. Yang lebih disesalkan Darmawan, Majelis Hakim mempercayai begitu saja berita acara yang dibuat polisi, meski sudah dibantah oleh kedua anak itu. Dalam pertimbangan Majelis, memang, disebutkan bahwa kedua anak itu memukul kepala Nurdian dengan kayu, dan kemudian memotong daun telinga korban, untuk memperoleh anting-antingnya. "Pertimbangan hakim itu benar-benar memalukan. Sebab, visum jelas menceritakan yang sebaliknya," kata Darmawan kesal. Darmawan menilai, Pengadilan Tinggi hanya berusaha menjaga hubungan baik dengan polisi di daerah itu. Sebab itu, ia bertekad akan "memperjuangkan keadilan" bagi Abdi dan Ubaid sampai ke Mahkamah Agung. Salah seorang anggota majelis hakim tinggi, Ida Bagus Wija, mengatakan bahwa pengadilan tidak merasa perlu memanggil kedua anak itu di persidangan banding. "Sebab, berita acaranya cukup jelas. Majelis baru akan memanggil terdakwa bila berita acara tidak jelas," ujar Ida Bagus Wija.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini