Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Kepentingan Umum yang Diragukan

Terbitnya Peraturan Presiden tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum terus menuai protes. Dinilai lebih represif.

4 Juli 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ENAM meja di sebuah ruang di lantai tiga kantor Wali Kota Jakarta Selatan itu disusun membentuk huruf U. Di depannya, 17 keluarga duduk santai. Tangan mereka masing-masing terlihat memegang secarik dokumen. Itulah dokumen tanah mereka, yang Selasa pekan lalu diperiksa oleh para petugas Badan Pertanahan Nasional.

Para warga itu tinggal di RW 08, Kelurahan Rorotan, Cilincing, Jakarta Utara. Tanah mereka terkena proyek Banjir Kanal Timur, sebuah proyek untuk menjinakkan banjir yang saban tahun hinggap di Ibu Kota. Jika dokumen dinyatakan sah, maka mereka berhak menerima pembayaran ganti rugi.

Sebagian warga yang terkena proyek Banjir Kanal belum tahu nilai ganti rugi yang bakal diterima. "Tanya ke Pak RW saja," ujar Maswaroh, 40 tahun, warga yang memiliki lahan 500 meter persegi kepada Tempo. Bukan hanya Maswaroh, beberapa warga lain juga tidak tahu nilai jual obyek pajak (NJOP) yang berlaku di daerahnya. Menurut warga, mereka hanya menuruti kemauan pemerintah. "Mau gimana lagi. Kalau sudah kebutuhan pemerintah, mau bilang apa," kata seorang warga lainnya.

Lain halnya dengan Sayuti. Kakek berumur 70 tahun ini memiliki hitungan sendiri soal ganti rugi yang bakal diterima. Lahan miliknya yang dibebaskan untuk proyek Banjir Kanal Timur seluas sekitar 10 ribu meter persegi. Dengan lahan seluas lapangan sepak bola itu, kata dia, kemungkinannya bakal memperoleh duit lebih dari Rp 2,5 miliar. "Tapi itu baru hitungan saya," ujar bapak enam anak itu. Ia belum mempunyai rencana untuk apa uang itu. "Saya bagai ketiban bulan," ujarnya sambil tersenyum. Menurut Ketua RW 08, Ahmad Fauzi, NJOP di wilayahnya sekitar Rp 335 ribu per meter persegi untuk tanah sawah dan Rp 394 ribu per meter persegi untuk tanah darat.

Pembayaran uang ganti rugi kepada 17 keluarga itu merupakan tahap pertama. Menurut Camat Cilincing, Tri Kurniadi, pembayaran perdana proyek Banjir Kanal dilakukan terhadap warga yang memiliki lahan sawah, sebab sebagian besar bukti kepemilikan tanah mereka berupa girik. Untuk tahap pertama proyek penanggulangan banjir itu, lahan yang dibebaskan seluas 7,3 hektare. "Biaya pembebasannya sekitar Rp 18 miliar," ujar Wali Kota Jakarta Utara, Effendi Anas.

Namun, proses pembebasan lahan tidak semudah yang diperkirakan. Effendi mengakui adanya spekulan tanah yang bermain di kawasan Rorotan dan Marunda, Cilincing. Antisipasinya, kata Effendi, pembayaran ganti rugi tanah harus menggunakan kartu tanda penduduk pemilik tanah. "Kalaupun terpaksa diwakilkan, harus ada surat kuasa, dan pemilik tanah hadir saat pembayaran," ujarnya.

Effendi menegaskan, pembayaran uang ganti rugi berdasarkan kelengkapan dokumen, bukan karena pendudukan atas sebuah wilayah tanah. "Jika dokumen lengkap, akan langsung dibayar," ujarnya. Jika belum lengkap atau masih dalam sengketa, Wali Kota memberi kesempatan kepada pemilik tanah yang bersengketa untuk melakukan musyawarah tiga kali. "Jika tidak berhasil, diselesaikan di pengadilan," kata Effendi.

Buat mencegah aksi para spekulan tanah, pemerintah juga telah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Dalam perpres yang berlaku sejak 3 Mei lalu itu ditetapkan antara lain batas waktu penyelesaian musyawarah ganti rugi selama 90 hari.

Jika musyawarah buntu, diselesaikan di pengadilan dan pemerintah akan menitipkan uang ganti rugi ke pengadilan. Apabila pemilik tanah tetap menolak dengan ganti rugi yang ditawarkan, pemerintah memiliki senjata andalan: berwenang mencabut hak kepemilikan tanah atas nama kepentingan umum.

Pemerintah menjamin Perpres No. 36 tak akan memberi kesempatan kepada siapa pun, apalagi swasta, untuk "bermain" sembari mengeduk keuntungan. "Presiden menegaskan, ini bukan alat untuk gusur-menggusur," ujar Menteri Pekerjaan Umum Joko Kirmanto. "Peraturan itu juga bukan untuk membangun mal atau apa pun bagi kepentingan swasta."

Menurut Joko, tanah yang akan dibebaskan adalah untuk proyek pembangunan yang masuk Rencana Umum Tata Ruang dan Wilayah masing-masing daerah. Karena itu, kata Menteri, Presiden mengingatkan para gubernur dan bupati agar tidak main-main dengan peraturan itu. "Masak, diperintah presiden, pelaksanaan di tingkat gubernur tidak jalan?" ujar Joko.

Menurut Joko, peraturan itu selain dipakai untuk melaksanakan pembangunan demi kepentingan umum, juga dipakai untuk menarik investor agar tidak takut berinvestasi di Indonesia. Tapi untuk proyek Banjir Kanal Timur, Joko mengatakan, tidak ada kaitannya dengan kepentingan investor. "Itu murni untuk kepentingan rakyat, yakni mencegah banjir," ujarnya.

Selain membayar uang ganti rugi, pemerintah juga bisa menyodorkan alternatif lain. " Pemerintah bisa memberi tempat baru bagi masyarakat yang lahannya terkena proyek," kata Joko. Pilihan yang lain lagi, memberikan bukti kepemilikan infrastruktur yang dibangun sesuai dengan nilai pengganti harga tanah. Bukti itu, kata dia, bisa berupa saham. "Cara seperti ini baru ada di aturan sekarang," ujarnya.

Kalangan LSM menilai batasan kepentingan umum dalam perpres itu sungguh longgar. Jangan-jangan, justru kepentingan investor yang sebenarnya hendak dilindungi. Di mata ahli hukum agraria dari Universitas Gadjah Mada, Ricardo Simarmata, subtansi Perpres 36 juga lebih represif dibandingkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 55 Tahun 1993 yang juga mengatur pencabutan hak atas tanah demi kepentingan umum. "Misalnya, tenggat 90 hari kepada pemilik tanah untuk penyelesaian atau bertambahnya pembangunan yang dikategorikan kepentingan umum," kata Ricardo.

Dalam Keppres 55 ada 14 jenis pembangunan yang dikategorikan kepentingan umum, sedangkan pada Perpres 36 bertambah menjadi 21 jenis. "Jadi, ini luar biasa menekan," ujarnya. Karena itu, kata Ricardo, wajar jika munculnya perpres ini mengejutkan banyak orang. Mengingat pertanahan merupakan persoalan lama, Ricardo mengusulkan agar persoalan sengketa masa lalu diselesaikan dulu.

Sukma N. Loppies, Ewo Raswa, Yophiandi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus