Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Ketika Vonis Karen Agustiawan Seret Corpus Christi

KPK dinilai sulit mengembalikan kerugian negara dalam kasus korupsi Karen Agustiawan. Terganjal masalah yuridiksi. 

29 Juni 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Terdakwa Direktur Utama PT. Pertamina (Persero) periode 2009 - 2014, Galaila Karen Agustiawan, mengikuti sidang pembacaan surat amar putusan, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, 24 Juni 2024. TEMPO/Imam Sukamto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pengadilan Tipikor Jakarta membebankan penggantian kerugian negara kasus korupsi Karen Agustiawan kepada Corpus Christi Liquiefaction.

  • Vonis itu dinilai berbagai pakar hukum sulit dieksekusi.

  • KPK pun mengajukan banding.

GALAILA Karen Kardinah alias Karen Agustiawan memeluk anggota keluarganya satu per satu setelah sidang putusan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta Pusat, pada Senin, 24 Juni lalu. Majelis hakim menjatuhkan vonis 9 tahun penjara plus denda Rp 500 juta subsider 3 bulan kurungan kepada eks Direktur Utama PT Pertamina (Persero) tersebut. Karen meminta keluarganya tidak menangis. Tapi suaminya, Herman Agustiawan, tak kuasa menahan emosi. Sambil menitikkan air mata, Herman bahkan berteriak kepada jaksa penuntut umum, “Puas, ya!!!”

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Majelis hakim menilai Karen bersalah melakukan tindak pidana korupsi dalam kontrak jual-beli gas alam cair atau liquefied natural gas (LNG) antara PT Pertamina (Persero) dan perusahaan asal Amerika Serikat, Corpus Christi Liquefaction (CCL). “Menyatakan terdakwa Galaila Karen Kardinah atau Karen Agustiawan telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi," kata ketua majelis hakim Maryono.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Namun majelis hakim tak menjatuhkan hukuman tambahan berupa uang pengganti untuk mengembalikan kerugian negara sebesar US$ 113,84 juta atau sekitar Rp 1,77 triliun kepada Karen. Hukuman itu justru dibebankan kepada CCL. Pasalnya, menurut majelis hakim, dalam persidangan, terungkap bahwa uang yang dihitung sebagai kerugian negara tersebut mengalir ke CCL, bukan kepada Karen. "Sebagai harga pengadaan pembelian LNG yang tidak dilakukan pencairan oleh PT Pertamina,” ujar Maryono.

Sejumlah ahli hukum menilai putusan hakim yang menyeret CCL dalam vonis Karen janggal. Pakar hukum perdagangan internasional dari Universitas Airlangga, Iman Prihandono, mengatakan tidak mungkin Komisi Pemberantasan Korupsi mengeksekusi pengembalian kerugian negara tersebut. Penyebabnya, Corpus Christi bukanlah pihak yang diadili. KPK sejauh ini memang baru menyeret Karen dalam kasus ini. Kedua, menurut dia, anak perusahaan Cheniere Energy tersebut juga tak memiliki kegiatan operasional di Indonesia. CCL beroperasi di Amerika Serikat sehingga tidak tunduk pada hukum di Indonesia. 

Kalaupun KPK menyeret CCL ke meja hijau di Indonesia, menurut Imam, tak akan mudah mengembalikan kerugian negara. Pasalnya, dia menambahkan, Indonesia dan Amerika Serikat belum memiliki kerja sama internasional untuk mencegah dan memberantas kejahatan lintas negara atau mutual legal assistance in criminal matter. Bahkan dia menilai KPK juga tidak akan bisa mengajukan gugatan ke pengadilan Amerika Serikat jika CCL dinyatakan bersalah oleh pengadilan di Indonesia. "Mengajukan gugatan ke pengadilan AS juga tidak dimungkinkan karena mekanismenya tidak ada," katanya kepada Tempo, Jumat, 28 Juni 2024.

Pakar hukum perdagangan dari Universitas Gadjah Mada, Paripurna Sugarda, berpendapat sedikit berbeda. Meski sepakat bahwa putusan pengadilan di Indonesia tak bisa serta-merta memaksa CCL membayar uang pengganti, dia menilai KPK bisa mengajukan gugatan ke pengadilan AS. KPK, menurut dia, juga bisa meminta AS membekukan aset CCL untuk sementara dengan bekal putusan itu.

Namun Paripurna menyatakan hasil pengembalian kerugian negara itu akan sangat bergantung pada putusan pengadilan AS. Dia pun menilai gugatan KPK kemungkinan besar akan ditolak. "Karena tidak ada keterikatan pengadilan AS untuk melaksanakan putusan pengadilan Indonesia,” ucap guru besar hukum dagang UGM ini saat dihubungi secara terpisah.

Pakar hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia, Mudzakkir, menyatakan putusan Pengadilan Tipikor terhadap Karen yang membebankan kerugian negara kepada CCL tidak tepat dan aneh. Pasalnya, dalam kasus ini, CCL tidak memiliki posisi hukum. "Kalau tiba-tiba putusan pengadilan itu uang pengganti tersebut dibebankan kepada CCL, pihak CCL juga kaget barangkali," ucapnya saat ditanyai secara terpisah. "Orang enggak ada kesalahan, enggak ada apa-apa, tiba-tiba dibebani uang pengganti. Dasar hukumnya apa?" 

Mudzakkir juga menilai janggal jika dalam kasus ini dinilai ada kerugian negara. Menurut dia, hasil kontrak pengadaan LNG itu lebih tepat dianggap sebagai kerugian bisnis. Dengan begitu, menurut dia, beban pengembalian kerugian itu bisa dijatuhkan kepada PT Pertamina. "Pertamina harus fight (berjuang) mengembangkan bisnisnya agar bisa mengembalikan kerugian yang terjadi dalam kasus kerja sama dengan CCL ini," ucapnya.

Jaksa penuntut umum KPK yang menangani kasus ini, Wawan Yunarwanto, enggan menanggapi pertanyaan Tempo mengenai eksekusi terhadap pengganti kerugian negara tersebut.  "Mohon maaf, untuk informasi tentang ini satu pintu lewat Mas Tessa jubir (juru bicara) saja, ya," ujarnya lewat pesan melalui aplikasi WhatsApp.

Adapun juru bicara KPK, Tessa Mahardhika, tak mau menanggapi pertanyaan Tempo soal bagaimana langkah mereka untuk mengeksekusi putusan tersebut. Dia hanya mengatakan pihaknya sudah memutuskan untuk mengajukan banding.  

Salah satu alasan KPK mengajukan banding, menurut Tessa, adalah karena majelis hakim tak membebankan hukuman uang pengganti kepada Karen. "Banding yang diajukan masih terkait dengan uang pengganti yang tidak dikabulkan majelis hakim," katanya saat memberi keterangan pers di gedung KPK, Jakarta Selatan, Jumat kemarin.

Tessa menyatakan pihaknya masih mempelajari putusan tersebut sebelum mengajukan memori banding. Pasalnya, dia menuturkan, mereka baru akan menerima putusan itu dari Pengadilan Tipikor Jakarta. "Siang ini juga teman-teman jaksa penuntut umum menuju Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk mengambil salinan lengkap putusan pengadilan Karen. Untuk selanjutnya dipelajari dan diajukan memori bandingnya," ujarnya.

Tempo telah berupaya meminta konfirmasi soal putusan Karen itu kepada Cheniere Energy, induk perusahaan Corpus Christi Liquefaction. Namun Vice President Commercial Operations Cheniere Energy, Florian Pintgen, belum membalas e-mail yang dikirim Tempo hingga berita ini diturunkan. Hanya, juru bicara perusahaan yang berbasis di Houson, Texas, itu sempat menyatakan bahwa mereka mematuhi semua hukum yang berlaku. "Cheniere mematuhi semua hukum yang berlaku, baik domestik maupun internasional, serta standar etika tertinggi dalam kontrak dan bisnis sehari-hari kami," kata juru bicara Cheniere seperti dikutip dari Reuters.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Defara Dhanya Paramitha berkontribusi dalam artikel ini. 

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus