Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Kerusuhan Ancaman Mati buat Provokator

Tiga orang pelaku kerusuhan Poso III dituntut hukuman mati. Hakim akan bersikap seperti jaksa karena khawatir dengan ancaman publik?

1 April 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SERAUT wajah Febianus Tibo, 56 tahun, memerah. Tubuh lelaki yang dijuluki sang Jagal Poso itu lunglai. Ia dan dua rekannya, Dominggus Da Silva, 37 tahun, serta Marinus Riwu, 43 tahun, dituntut hukuman mati oleh tim jaksa yang dikoordinasi oleh La Anatara. Di Pengadilan Negeri Palu, Sulawesi Tengah, jaksa menganggap ketiga terdakwa terbukti melakukan pembunuhan berencana dalam peristiwa Poso III, yang terjadi pada Mei dan Juni 2000. Tepuk tangan membahana terdengar dari arah sekitar 5.000 pengunjung sidang. Rupanya, mereka yang merasa yakin bahwa terdakwa adalah provokator setuju dengan tuntutan jaksa. Di sela-sela suara takbir pengunjung sidang, Kamis dua pekan lalu, beberapa pengunjung tampak bersujud syukur ala Islam. Seorang saksi korban, Nyonya Supiah, tak kuasa menahan air matanya. "So pantas itu (tuntutan mati)," ucapnya. Buat ketiga terdakwa, tentu saja tuntutan mati amat menyeramkan. Itu berarti jaksa menganggap tak ada hal yang meringankan pada terdakwa. Padahal, menurut Robert Bofe, pembela ketiga terdakwa, baik dari keterangan saksi maupun barang bukti, kliennya tak terbukti sebagai provokator. "Jaksa sekadar memenuhi tuntutan publik," kata Robert. Itu sebabnya Selasa pekan ini, melalui pembelaan setebal 200 halaman, Robert berupaya agar kliennya luput dari hukuman mati. Akankah majelis hakim berkeyakinan seperti jaksa? Sebagaimana ramai diberitakan, peristiwa Poso III adalah kerusuhan bernuansa agama yang melibatkan kelompok merah, yang diidentikkan sebagai orang Kristen, dan kelompok putih, yang diidentikkan sebagai kelompok muslim. Sebelumnya, peristiwa Poso meledak di kabupaten seluas 28 ribu kilometer persegi di Sulawesi Tengah itu sejak Desember 1998. Kerusuhan yang juga dipicu oleh konflik elite lokal gara-gara rebutan jabatan bupati itu seperti rembetan dari konflik berbau agama yang terjadi di Ambon. Dalam peristiwa Poso III, Tibo dan kawan-kawan dituduh melakukan pembunuhan be- rencana terhadap 138 orang, pembakaran ratusan rumah, dan penganiayaan ratusan orang. Selain menimbulkan korban jiwa, peristiwa yang meresahkan warga Poso itu mengakibatkan kerugian sekitar Rp 40 miliar. Bencana itu juga mengakibatkan ribuan orang kehilangan mata pencaharian dan macetnya roda pemerintahan serta perekonomian Poso. Berdasarkan keterangan 30 saksi dan bukti di persidangan, menurut salah seorang anggota tim jaksa, Iskandar Sukirman, ketiga terdakwa terbukti melakukan pembunuhan berencana, penganiayaan, dan pembakaran. Karenanya, jaksa berpendapat tiada timpalan lain bagi Tibo dan dua rekannya kecuali hukuman mati. Namun, Robert Bofe menyatakan bahwa tuntutan jaksa tidak tepat. Alasannya, jaksa ragu-ragu menyebut Tibo sebagai pemimpin kerusuhan. Jaksa hanya mengatakan bahwa Tibo adalah orang yang dituakan. Barang bukti yang diajukan juga cuma sebuah parang dan peluncur. "Ribuan senjata dan panah yang disebut-sebut jaksa tak pernah diperlihatkan sebagai barang bukti," kata Robert. Kini, Tibo dan dua kawannya tinggal menghitung hari untuk menyambut vonis hakim. Yang jelas, dari berbagai kasus kerusuhan massa yang selama ini terjadi, baru pada peradilan itulah sebutan provokator menjadi bermakna. Selama ini, provokator hanya santer disebut-sebut, apalagi sepanjang masa Orde Baru. Provokator tak pernah sampai ke pengadilan. Alhasil, provokator sekadar penggampangan urusan?kalaulah bukan semacam pelimpahan kemiskinan tanggung jawab pemerintah. Tapi, benarkah Tibo provokator? Tibo adalah lelaki kelahiran Flores, Nusatenggara Timur. Perawakannya sedang, rambutnya keriting. Perantau ini pernah menjadi petani palawija di Beteleme, Kabupaten Morowali, pecahan dari Kabupaten Poso, sejak 1978. Ia pernah tinggal di Ambon dan Kabupaten Luwuk-Banggai. Di Beteleme, ia dipenjara selama lima tahun akibat kasus pembunuhan. Tibo disegani masyarakat sekitarnya karena dinilai berwibawa dan punya ilmu kebal. Di tengah konflik yang berbau agama di Poso, Tibo sering mewakili kelompok merah untuk bernegosiasi dengan aparat. Bahkan, seorang pendeta lokal yang dihormati, Renaldy Damanik, menyatakan rasa hormatnya kepada Tibo. K.M.N., Darlis Muhammad (Palu)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus