Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Acara Musik Temu Idola Berbuah Petaka

Empat remaja putri tewas dalam jumpa penggemar boys band a1 di Mal Taman Anggrek. Tragedi semacam ini acap terjadi cuma karena kecerobohan penyelenggara.

1 April 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HATI remaja mana tak tergetar melihat pujaannya di depan mata? Udara pengap dan badan terimpit seperti tak bermakna. Begitu pula yang terjadi pada Ahad pekan lalu di lantai tiga Mal Taman Anggrek, Jakarta Barat. Sekitar 3.000 remaja, kebanyakan putri, rela berdesakan di Toko Tarra Megastore dan di lorong sekitarnya. Mereka tak sabar untuk bertemu langsung dengan personel a1, grup vokal baru yang digawangi empat cowok muda ganteng dari Inggris. Sebetulnya, acara yang digelar hanyalah penandatanganan album a1. Rupanya, personel a1 tertular antusiasme para fans sehingga mereka pun pamer kebolehan tarik suara secara a-cappella. Penggemar yang sejak awal dipenuhi rasa gemas pun kian histeris. Teriakan dari dalam Toko Tarra segera menyulut rasa penasaran mereka yang masih di luar. Tak mau ketinggalan tontonan, mereka yang di luar pun berebut maju. Tanpa bisa dicegah, desak-desakan hebat terjadi. Belasan orang terjatuh dan terinjak-injak. Empat remaja putri, yakni Laurentina Dharmawan, 16 tahun, Nurdianwali, 18 tahun, serta dua kakak-beradik Eka Wanti, 20 tahun, dan Rani Sintami, 13 tahun, akhirnya tewas. Sungguh tak terperi kedukaan orang tua korban. Namun, persoalan jadi panjang. Polisi segera menjadikan Sony Subagyo dan Agung Priambodo dari Tarra, masing-masing adalah project officer dan penanggung jawab acara, sebagai tersangka. Mereka dijaring dengan delik klasik Pasal 359 KUHP (kelalaian yang mengakibatkan matinya orang lain, yang berancaman lima tahun penjara). Menurut Kepala Dinas Penerangan Kepolisian Metro Jaya, Komisaris Besar Anton Bachrul Alam, panitia ceroboh karena tak berkoordinasi dengan kepolisian. "Mereka tak memikirkan keamanan pengunjung. Bagaimana bila yang jadi korban artisnya?" kata Anton. Memang, sikap panitia yang menggampangkan tak bisa dimungkiri. Berbekal pengalaman mulus menggelar acara serupa selama delapan kali, panitia tampaknya yakin bisa sukses pada acara a1. Mereka lupa bahwa kepadatan Mal Taman Anggrek di hari libur tanpa acara jumpa penggemar grup beken saja sudah luar biasa. Ibaratnya, sekadar jalan di lorong pun sulitnya minta ampun. Sebab itu, membuat acara yang menyedot ribuan pengunjung di satu toko sulit dipahami alasannya. Apalagi pengamanan dilakukan sekadarnya, dengan mengandalkan sekuriti mal. Namun, pembela kedua tersangka, Insan Budi Maulana, berpendapat bahwa kesalahan tak bisa hanya ditimpakan pada kliennya. Kata Insan, Tarra cuma penyedia tempat, sementara penggagas acara itu adalah perusahaan rekaman Sony Music. Semula, menurut Insan, Tarra memperkirakan penggemar yang datang berkisar 200 orang. Alasannya, a1 relatif belum ngetop ketimbang boys band lainnya seperti Westlife. Bila kemudian penggemar berjubel, tutur Insan, itu tak lain lantaran promosi gencar Sony Music di pelbagai media, termasuk pembagian selebaran di hari nahas tersebut. "Korban juga jatuh di luar toko. Jangan sampai pengusutan kasus ini jadi error in persona," ujar Insan. Akan halnya Sony Music, lewat juru bicaranya, Susanto Hartono, enggan berkomentar. Ia hanya menyesalkan tragedi itu. Sekalipun demikian, perusahaan itu jadi membatalkan rangkaian acara a1 di Indonesia. Sony Music juga menyatakan belasungkawa lewat surat kabar dan memberikan uang duka bagi keluarga korban. Dua hal ini dilakukan pula oleh Tarra. Persoalannya, bencana seperti di atas bukan kali ini terjadi. Pada November 2000, lima orang tewas dalam konser band asal Yogya, Sheila On 7, di Bandarlampung. Saat itu, gedung yang berkapasitas maksimum 4.000 orang dijubeli 10 ribu orang. Panitia mengaku hanya menjual 1.000 karcis. Kenyataannya, penonton berkarcis palsu ataupun tanpa karcis bisa masuk ke gedung. Buntut bencana itu, dua orang dijadikan tersangka. Keduanya adalah Yulius Witatukan, koordinator Pedes Production pusat, dan Zubaidah, koordinator Pedes Production Lampung. Sampai kini, berkas perkaranya masih bolak-balik antara kepolisian dan kejaksaan. Yang jelas, pelbagai grup luar negeri akan terus berdatangan. Band lokal pun tak mau ketinggalan menjumpai penggemarnya. Sementara itu, para remaja tentu ingin bergembira bersama idola mereka. Haruskah keriangan bersama itu kembali menelan korban cuma karena kecerobohan? Yusi A. Pareanom, Hendriko L. Wiremmer, dan Fadilasari (Lampung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus