Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Kesaksian kaki busuk

Abdullah Sani yang mengaku bekas orang dekat Nur Usman memberikan kesaksian bahwa Nur Usman menyuap beberapa perwira polisi. Nur Usman membantah, berbalik menuduh Sani ingin memeras. (krim)

28 September 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NUR Usman, yang tengah diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, mendapat tonjokan telak. Abdullah Sani, S.H , yang mengaku bekas orang dekat terdakwa, pekan lalu memberi kesaksian yang sangat memberatkan. Saksi mengaku pernah dimintai tolong Nur Usman untuk menghubungi tujuh perwira polisi di Polres Jakarta Pusat, agar namanya tidak disangkutkan dalam kasus pembunuhan terhadap anak tirinya, Roy Bharya. "Tolong diatur agar saya jangan sampai ditahan polisi. Berapa pun dananya akan saya bayar," begitu konon kata Nur Usman. Sebagai informan Polda (di Medan disebut si "kaki busuk"), kebetulan pula ia orang sekampung dengan Nur Usman, Sani menyanggupi permintaan tersebut. Pada 30 Agustus 1984, katanya, ia melihat bekas pejabat Pertamina itu memasukkan sejumlah uang ke dalam tujuh buah amplop. Jumlahnya konon Rp 25 juta. Hari itu juga, ia mengantar Nur Usman membawa amplop-amplop tadi ke beberapa perwira di Polres Jakarta Pusat dan Polda Metro Jaya. Saksi juga menyatakan pernah melihat surat perintah penahanan terhadap Nur Usman, yang diduga terlibat dalam pembunuhan terhadap Roy oleh Jhoni Ayal dan kawan-kawan. Anehnya, kata saksi kepada majelis hakim pimpinan Oemar Sanusi, penahanan tak jadi dilakukan. Nur Usman bahkan bisa pulang bersama-sama dengannya dari kantor polisi ke rumah di Jalan Wahid Hasyim. Sani sekaligus menyatakan pernah mendengar langsung perkataan Nur Usman bahwa ia menyuruh Jhoni dan kawan-kawan memberi pelajaran dan menculik Roy. "Roy dianggap turut campur dalam soal rumah tangganya, yaitu hubungan antara dia dan istrinya, Athia Kirana, yang tak lain ibu kandung Roy. "Nur Usman menyatakan menyesal karena telah menuruti emosinya," ujar saksi. Kesaksian Sani itu, tak bisa tidak, sangat memberatkan Nur Usman, yang dituduh menyuruh menculik dan menganiaya Roy hingga menyebabkan kematian-nya. Roy, mahasiswa jurusan administrasi bisnis di University of Southern California, AS, yang tengah berlibur ke Indonesia, terbunuh pada 10 Agustus 1984. Ia diculik enam pemuda pimpinan Jhoni Ayal saat hendak menemui ayah kandungnya, Dokter M. Bharya, di rumah sakit Dharma Sakti, Jakarta Pusat. Setelah dianiaya dan ditusuk, Roy dibawa ke rumah sakit Sumber Waras, tapi jiwanya tak tertolong lagi. Para pelaku penganiayaan beberapa waktu lalu divonis antara 6 tahun 6 bulan dan 17 tahun penjara. Tinggal seorang lagi, Eddy S., yang sampai kini masih buron. Sumber TEMPO menyatakan, pada malam hari sebelum memberikan kesaksian, Sani didatangi utusan Nur Usman agar tidak memberi keterangan yang memberatkan. Beberapa waktu lalu, kata sebuah sumber, Sani juga pernah dihubungi agar ia menolak dijadikan saksi. Meski ditawari sejumlah imbalan, Sani tetap menolak. Nur Usman, yang sejak 6 Agustus lalu ditahan di rumah tahanan Salemba, membantah semua keterangan Sani. "Semua yang dikatakannya omong kosong belaka," katanya. Ia juga menyangkal bahwa Sani adalah bekas tangan kanan dan orang kepercayaannya. Ia mengaku baru mengenal Sani pada 10 Agustus 1984 sore - beberapa jam setelah Roy tewas terbunuh. Sejak itu, sampai kira-kira awal September 1984, Sani sering menghubunginya untuk meminta uang. "Ia mengaku berpangkat mayor dari bagian intel Polda Jakarta. Kenyataannya, ia cuma informan," katanya. Nur Usman, 55, juga merasa tak pernah memberikan amplop berisi uang kepada beberapa perwira polisi yang menangani kasus pembunuhan Roy Bharya. Saat itu, katanya, Sanilah yang mengatakan kepadanya bahwa para perwira itu meminta uang. Ia mengaku menyediakan tujuh amplop, tapi bukan berisi uang, melainkan arloji dan pulpen Parker. Namun, yang bersangkutan menolak, hingga ia membawa pulang barang-barang tersebut. Di waktu lain, Sani mengatakan bahwa bosnya, Letkol Legiman, kepala Bagian Intel Polda Metro Jaya (kini wakil kepala Ditserse), meminta uang. Lewat orang lain, Nur Usman memenuhi permintaan itu. Namun ketika uang disampaikan, "Beliau yang merasa tak pernah meminta apa-apa marah luar biasa." Ternyata, kata Nur Usman, uang itu tadinya akan dimakan sendiri oleh Sani. Karena itulah Nur Usman - pada Juni 1985 lalu - melaporkan Sani kepada Jaksa Agung Muda bidang Inteligen, Nugroho. Dalam laporan itu disebutkan pula bahwa informasi Sani, seolah-olah ia pernah menyogok Rp 100 juta serta memberikan mobil Honda Accord kepada beberapa perwira polisi, sama sekali tidak benar. Ia juga membantah seolah pernah mengganggu istri Sani - yang karena itu Sani membelot. Tak lupa ia menyatakan keraguannya terhadap gelar S.H. di belakang nama Sani. Sebab, Sani pernah menyatakan lulusan UI, tapi kepada orang lain mengatakan ia tamatan Universitas Jayabaya. Tentu, majelis hakim mempunyai penilaian tersendiri terhadap kesaksian Sani dan bantahan dari Nur Usman itu. Dan untuk menyimpulkan bersalah tidaknya terdakwa, keterangan beberapa saksi lain kini masih akan didengar. Sur Laporan Erlina AS. dan Bunga S. (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus