Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LINA, yang berumur 5 tahun, hampir saja mengalami nasib seperti Arie Hanggara: tewas di tangan orangtua sendiri. Dari kereta api malam yang tengah melaju kencang, ia dicampakkan ke luar oleh ayahnya, Sawaluddin. Kebengisan itu diketahui karena korban ternyata selamat. Dua pekan lalu, Sawal, 28, ditangkap dan ditahan di Polres Asahan, Sumatera Utara. Kepada polisi, ia mengaku berniat melenyapkan Lina karena tak ingin hubungan dengan istri keduanya terganggu. "Istri saya, Lamsaidah, mengancam meminta cerai bila Lina masih terus bersama kami," tutur Sawal. Padahal, ia sangat mencintai wanita itu. Ibu Lina sendiri, istri pertama Sawal, sudah dicerai pada 1980 lalu - tak berapa lama setelah Lina lahir. Lamsaidah, 23, agaknya tak begitu menyukai anak tirinya. Ia meminta kepada suaminya agar Lina diungsikan ke tempat lain. Sawal, yang baru mengawini Lamsaidah Februari lalu, jadi pusing. Awal September lalu, lelaki itu mengajak Lina naik kereta api. Kepada istri dan tetangga, ia menyatakan akan menitipkan Lina di sebuah panti asuhan di Medan. Mereka naik dari stasiun Rantauprapat. Selepas Kota Kisaran, tepatnya di Dusun Sukbersari, Sawal membangunkan anaknya yang sedang tidur. Ia mengajak Lina berjalan ke dekat pintu. Secepat kilat, ia lalu melemparkan anak itu ke luar. Untuk menghindari kecurigaan penumpang lain, ia beralih tempat duduk. "Saya pikir dia sudah mati," ujar Sawal. Sungguh ajaib bahwa Lina ternyata selamat. Saat dilemparkan dari kereta api, anak itu terjatuh di atas rerumputan tebal yang sedikit digenangi air. Ia pingsan dan baru siuman esok harinya. Ia berjalan sepanjang rel dan tidak menyadari ada kereta api akan lewat. Di saat itulah, Supini, murid kelas V SD di desa tersebut, lewat. Lina ditarik ke tepi, dan tak lama kereta api lewat. Supini membawa Lina ke rumah kepala sekolah, Parluhutan Siahaan. Selama beberapa hari Lina tinggal di rumahnya. Dua pekan lalu, anak itu dibawa polisi ke hadapan Sawal di daerah Gunung Tua, yang menjadi terkejut setengah mati. Dengan iringan tangis Lamsaidah, Sawal dibawa untuk ditahan. "Aku lupa diri waktu itu. Ya, apa dosa anak itu?" katanya dari balik tahanan kepada TEMPO. Tapi ayah lain, yang juga menganiaya anaknya, Esra, 3, sampai menderita patah kaki, sampai kini belum bisa ditangkap. Dia adalah Dinus, 26, kernet bis yang tinggal di Pasar II, Medan. Penganiayaan yang dilakukannya terjadi pada saat yang sama dengan yang dilakukan Sawal terhadap Lina, Minggu malam, 1 September lalu. Malam itu, menurut Lina bori Situmorang, ibu Esra, korban ngompol dan mengenai bahu ayahnya. Dinus, yang sedikit mabuk, marah sekali. Esra dicampakkan ke lantai, diinjak perutnya, diangkat lagi, dan kemudian dibanting. Lina, yang sedang menggendong bayinya berumur dua bulan, tak bisa berbuat apa-apa karena takut. Begitu kerasnya bantingan itu hingga kaki kanan Esra patah. Ia kini dirawat di rumah sakit Pirngadi, Medan. Tahu bakal ditangkap polisi, Dinus lari, dan dinyatakan buron. Menurut penuturan tetangga, Dinus memang agak bengis terhadap anaknya. Esra sering dipukuli, dan pantatnya bahkan pernah disundut dengan api rokok. "Anak itu pernah minta ikut kepada saya, karena di rumah ia takut kepada ayahnya," tutur Ros, 21, yang pernah mengunjungi keluarga Dinus. Ada kabar, Dinus membenci Esra karena ia bukan anak kandungnya. Saat Dinus mengawini Lina - ibu Esra - wanita itu konon sudah hamil. Tetapi Lina membantah. la kawin dengan Dinus, katanya, "Setelah kami pacaran." Entahlah. Yang pasti, baik Lina maupun Esra lebih "beruntung" ketimbang Arie Hanggara, 7, yang tewas oleh ayahnya sendiri Machtino, 37. Anak kelas 1 SD Yayasan Perguruan Cikini, Jakarta Pusat, itu meninggal 8 November tahun lalu karena penderitaan yang tak tertahankan. Ia semalaman disuruh berdiri jongkok sampai pegal, dipukuli, dan tak diberi makan gara-gara dalam tasnya ditemukan uang Rp 8 ribu yang tak jelas asal usulnya. April lalu, Machtino divonis 5 tahun oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Sedangkan Santi, ibu tiri Arie, kena 2 tahun karena terbukti turut menganiaya. Keduanya kini tengah menanti putusan Mahkamah Agung, setelah pengadilan tinggi beberapa waktu lalu menguatkan hukuman terhadap Machtino, tetap 5 tahun. Sedangkan Santi dihukum lebih berat menjadi 3 tahun. Machtino kini ditempatkan di LP Paledang di Bogor. Sedangkan istrinya, Santi, yang ditahan di LP Pondok Bambu, Jakarta Timur, tengah berobat karena menderita kanker payudara. Machtino menilai perbuatan Sawal lebih sadistis ketimbang yang dilakukannya dulu. Meski korban tak sampai tewas, katanya, Sawal jelas memang berniat membunuh Lina. Sedangkan dia, menewaskan Arie semata karena kelewat keras dalam memberi didikan. Dia memang mengaku keras dalam mencoba menegakkan disiplin kepada anak-anaknya. Anggie, kakak Arie, pernah disuruh menanak nasi dan menyuapi ketiga adiknya karena Machtino dan Santi bekerja. Ibu anak-anak itu sendiri, Dahlia, sudah dicerai. "Ternyata, anak itu bisa," kata Machtino bangga. Kepada Arie, ia mengaku bersikap keras karena anak itu dinilainya sering membangkang. Tapi kini ia merasa menyesal. "Saya betul-betul merasa bersalah," katanya, pekan lalu, kepada TEMPO. Ia menilai vonis bagi dirinya terlalu lama. Bukan karena ia merasa terlalu berat, melainkan, "Dengan lama di penjara, waktu untuk mendidik anak jadi sedikit." Ia bertekad, sekeluar dari penjara akan membuktikan bahwa ia mampu dan bisa mendidik anak-anaknya. Ia berharap tidak ada lagi orangtua seperti dia. "Tariklah pelajaran dari saya. Jangan sampai ada lagi kasus serupa," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo